Friday, March 25, 2005

18 Maret 2005
Meulaboh …
Harusnya tanggal 14 Maret 2005 saya harus sudah berangkat ke Meulaboh sesuai dengan kontrak, tetapi karena transportasi udara penuh saat itu dari Medan ke Meulaboh, saya memilih berangkat dari Banda Aceh. Ros, Administration staff CRS Medan menelepon Oxfam Banda Aceh untuk mencari tumpangan helicopter dari Banda Aceh ke Meulaboh. Waktunya adalah hari Jumat, tanggal 18 Maret. Tidak ada masalah, datang jawaban dari Oxfam. Heli pengangkut barang bantuan akan berangkat jam 9:00 pagi dari Bandara Iskandar Muda pada tanggal tersebut. Saya harus berada di sana paling lambat jam 08:00 untuk check in.
Tanggal 17 Maret saya ke kantor CRS Banda Aceh untuk melapor. Petugas administrasi di sana kembali menelepon kantor Oxfam untuk konfirmasi. Petugas yang bertanggung jawab mengenai hal tersebut sedang tidak berada ditempat. Saya harus mengurus sendiri mengenai keberangkaran ke kantor Oxfam, yang menumpang di Hotel Regina di Jalan T. Nyak Arif. Menunggu selama tiga jam sejak jam dua siang, petugas yang mengurus hal tersebut belum masuk-masuk juga. Info yang didapat dari petugas resepsionis kantor Oxfam, dia lagi ke dokter untuk pemeriksaan kehamilan. Kebetulan dia lagi hamil tua. Tidak jelas kapan dia akan kembali, bisa juga kemungkinan dia akan langsung pulang. Sementara kantor Oxfam akan tutup sekitar jam lima sore. Wah, bisa batal keberangkatan saya ke Meulaboh. Saya minta untuk bertemu dengan atasan petugas yang lagi keluar tersebut. Wah, bisa rumit, jawab resepsionis tersebut. Atasan langsung dia adalah seorang asing berkewarganegaraan Inggris. Baik, saya akan menunggu sedikit lebih lama lagi.
Lewat jam lima, belum ada tanda-tanda kedatangan si petugas. Saya bertanya lagi dimana kantor si bule tersebut. Resepsionis tersebut mengantar saya ke sebuah ruangan, mengetuk pintu, dan kemudian meninggalkan saya sendirian. Di dalam ruangan tersebut hanya ada seorang, orang asing dengan wajah ramah menyenangkan. Saya memperkenalkan diri sebagai staff dari CRS.
“Anything I can do for you, Sir?” logat Inggrisnya terdengar sangat kental. Saya mengatakan ingin menumpang helicopter Oxfam yang akan berangkat ke Meulaboh besok pagi. Tidak ada masalah, katanya. Seharusnya nama saya sudah ada dalam daftar penumpang. Nama saya tidak ada dalam daftar, katanya. Tidak ada masalah, tambahnya. Isikan sendiri nama, alamat, lembaga, dan tujuan perjalanan. Hanya itu saja. Tidak lebih dari lima menit. Dia memberi saya nomor telepon genggam pilot heli untuk memastikan dimana lokasi take off. Suara yang ramah diujung telepon mengatakan take off adalah dari lanud Auri, berdekatan dengan lapangan udara komersial. Saya harus ada di sana besok pagi paling lambat jam 8:30. Helikopternya adalah “Hevilift”, jika saya kesulitan untuk mencarinya, katanya.
Semuanya berlangsung dengan lancar. Jam 07:00 pagi tanggal 18 Maret saya sudah berada di kantor CRS Banda Aceh, dimana sebuah Ford Ranger sudah menunggu. Kami langsung berangkat, setelah dua bule Australia yang juga akan berangkat ke Meulaboh pagi itu datang. Yang seorang berpostur tinggi kurus, Loren Lockwood – nama yang agak asing, bahkan bagi saya. Yang seorang lagi memperkenalkan diri sebagai Dave. Keduanya adalah Carpenter yang akan mengawasi pembangunan perumahan nantinya di Meulaboh. Keren sekali, batin saya, tukang kayu saja harus diimpor dari Australia.
Ternyata sulit untuk menemui heli tumpangan kami di bandara. Setelah bertanya ke sana sini – kebanyakan bule-bule yang berkantor di sana, akhirnya berjumpa juga. Letaknya tersembunyi dibalik sebuah pesawat yang sedang diperbaiki. Sebuah heli barang yang besar, yang disesaki dengan berbagai barang keperluan darurat seperti kompor minyak tanah, selimut, kelambu, tenda dan juga berbagai makanan instant. Pilotnya sendiri berasal dari Cheko. Barang-barang tersebut akan diturunkan di Lhong sebagian, sebagian lagi di Lamno, Calang dan Teunom, katanya. Daerah-daerah tersebut masih terisolir untuk transportasi darat, pengiriman barang bantuan hanya mungkin dari udara atau dari laut. Jam sembilan lebih sedikit kami take off.
Ini adalah pengalaman pertama saya naik helicopter. Suasana dalam kabin sangat berisik, tidak mungkin untuk bercakap-cakap. Manuver heli membuat perut mual. Saya mencoba menikmati pemandangan dari heli untuk melupakan rasa mual yang menyerang.
Dari atas nampak jelas kerusakan yang melanda Banda Aceh. Daerah-daerah yang dulunya saya kenal sebagai daerah yang padat, kini melompong dengan satu dua bangunan yang tersisa. Di daerah sekitar Lhoknya, nampak jelas hanya ada satu bangunan Mesjid yang tegak. Sekelilingnya, kosong melompong, bahkan pepohonanpun nyaris tidak ada. Sekeliling mesjid nampak tenda-tenda darurat berwarna biru. Bekas jangkauan air laut pada saat tsunami nampak jelas dari jejak yang ditinggalkan. Jembatan-jembatan yang hilang, jalan aspal yang sekarang menuju ke laut lepas, sisa-sisa bangunan yang hancur… Laut biru tenang berkilat, nyaris tanpa ombak. Lima belas menit kemudian kami mendarat di Lhoong.
Tenda-tenda darurat untuk penduduk yang selamat dari tsunami didirikan di lapangan di antara kebun-kebun kelapa. Penduduk berlarian mendekat. Kamipun ikut turun. Seorang pemuda berlari-lari mendekat, memperkenalkan diri sebagai petugas Oxfam setempat dengan bahasa Inggris yang patah-patah. Dengan senang hati saya membantu dia menerjemahkan apa yang ingin disampaikannya kepada pilot tersebut. Pilot ingin berjumpa dengan petugas Oxfam yang sebenarnya, bukan dengan anak muda tersebut. Sayang sekali, petugas tersebut sedang tidak ditempat, kata pemuda tersebut. “It’s OK, we’ll unload the cargo on our way back from Meulaboh”, kata pilot, “We’ve got schedule to keep”. Barang-barang tidak jadi diturunkan sekarang, harus menunggu petugas Oxfam dulu. Mungkin nanti pada perjalanan pulang dari Meulaboh. Kamipun take off kembali.
Rencana berubah. Pilot mengumumkan bahwa heli akan ke Meulaboh dulu, baru kemudian kembali untuk mengantar muatan. Tidak jadi masalah bagi kami, walaupun sebenarnya saya ingin menyaksikan dari dekat kondisi Calang, Lamno dan Teunom yang kabarnya hancur total.
Sekitar jam sebelas siang kami memasuki daerah Meulaboh. Dari udara, kehancuran kota nampak jelas. Sepanjang pesisir nampak melompong, semen lantai bekas-rekas rumah berwarna kontras dengan tanah yang menghitam. Separuh kota Meulaboh mengalami kehancuran yang luar biasa, kalau tidak mau dikatakan secara total. Ujong Karang nampak bersih sama sekali, hanya bangunan militer berlantai tiga dengan warna atap hijau mencolok dari udara yang berdiri, nyaris tanpa kerusakan yang berarti. Kami terbang melewati daerah ini. Tumpukan kenderaan polisi yang hancur bencampur aduk dengan segala macam sampah, puing bangunan, truk tentara yang compang camping, mobil pribadi. Sampai bulan lalu, daerah ini tertutup bagi umum, karena banyak senjata yang hilang dan belum semuanya ditemukan.
Alun-alun T. Umar nampang lenggang. Kami mendarat, helicopter tidak dimatikan mesinnya. Rupanya setelah menurunkan kami, mereka langsung balik ke Calang. Kami mengucapkan terima kasih dengan berteriak, mencoba mengalahkan raungan mesin yang bising. Pilot mengacungkan jempolnya, kami membalas dengan lambaian, dan merekapun berangkat kembali. Inilah Meulaboh. Ini adalah kali kedua saya berada di sini. Dulu, beberapa hari sehabis tsunami, saya, Han dan seorang sepupu saya menghabiskan beberapa hari dalam usaha putus asa mencari saudara yang hilang. Kali ini saya akan berada di sini dalam waktu yang lama, rencananya setahun.
Jemputan kami adalah sebuah Daihatsu Espass, dikemudikan oleh Adi yang ramah. Sepanjang jalan kami bercakap-cakap dalam bahasa Aceh, sekali-sekali disela oleh kedua bule lain yang juga sekenderaan dengan saya. Mereka diturunkan di mess CRS no 4 (mereka menyebutnya Guest House), sedangkan saya langsung ke kantor CRS. Kantornya merupakan sebuah rumah besar berlantai dua yang megah, dengan sedikit retak-retak bekas gempa. Bekas air tsunami sudah hilang, temboknya baru saja di cat kembali dengan warna putih, sedangkan tiangnya diberi sentuhan warna hitam yang kontras. Rumah ini milik seorang juragan tembakau yang kaya raya, yang berasal dari daerah Nagan Raya. Sewanya mencapai ratusan juta rupiah. Yang punya rumah dan keluarganya menyingkir kerumah petak mereka di bagian belakang rumah.
Suasana kantor CRS seperti di kantor kelurahan. Orang-orang lalu lalang dengan santai, tidak ada yang dikejar. Beberapa orang duduk menghadapi computer, beberapa orang yang lainnya nampak sibuk dengan sesuatu di laptopnya. Seorang menyambut saya dengan wajah ramah dan berseri-seri. “Anang Setyargo”, katanya. Panggil saja saya Anang. Dia satu Department dengan saya, Water and Sanitation Department. Kami berjabatan tangan, dan dia membawa saya keliling untuk diperkenalkan dengan orang-orang lainnya. Field Office Director Meulaboh, Amy Hildeblue, dengan ramah menyambut saya di kantornya, sebuah kamar yang disesaki dengan segala macam barang, mulai dari kelambu sampai dengan lampu emergensi. Dia mengucapkan selamat datang. Ross Tomlinson, boss saya, katanya belum kembali dari Medan untuk suatu urusan. Jadi saya dipersilahkan mengikuti Anang untuk sementara ini, sambil menunggu Ross kembali. Kemudian Anang membawa saya ke bagian Administrasi, untuk mengurus tempat tinggal. Semua Guess House penuh, jadi saya harus rela membagi kamar dengan seorang kawan, yang akan datang hari itu juga dari Medan. Tidak masalah.
Hari sudah siang, dan orang-orang nampaknya bersiap untuk ke mesjid untuk shalat Jumat. Kenderaan-kenderaan disiapkan, dan saya ikut dengan salah satu kenderaan menuju ke Mesjid Agung Melaboh. Anang tidak ikut, karena dia adalah seorang Khatolik. Ramai sekali di mesjid, jamaah shalat Jumat nyaris tidak tertampung. Selama khutbah berlangsung, orang-orang yang tidak kebagian tempat duduk dengan rela berdiri menunggu. Khutbahnya menarik, dalam bahasa Aceh logat Meulaboh bercampur degan bahasa Indonesia. Orang-orang yang shalat di sini saat ini berasal dari berbagai suku bangsa, bahkan ada yang dari luar negeri, jadi saya tidak yakin mengerti sepenuhnya akan isi khutbah tersebut.
Balik ke kantor, makanan sudah menunggu. Rupanya, selama masa darurat, makan siang disediakan oleh kantor. Tukang masak dari pagi sudah berbelanja, dan pulang dari pasar mereka langsung sibuk menyiapkan makanan untuk beberapa puluh orang. Sayapun bergabung dengan orang-orang lainnya menuju ke dapur, mengambil makan siang. Nasi terletak dalam baskom besar, beragam lauk pauk memenuhi meja makan. Ikan, sayur, kerupuk, ayam dan lain-lain. Kami mengambil sendiri apa yang kami suka. Ini adalah hari pertama saya di sini, jadi saya harus bersikap santun, apalagi dalam hal makanan. Jadi saya antri dengan tertib, dengan muka manis menunggu giliran.
Jam dua siang, tiga orang kawan baru di Department Water and Sanitation tiba dengan pesawat dari Medan. Yang seorang bertubuh kurus kering, dengan wajah tirus penuh semangat. Dia memperkenalkan diri dengan nama Juanto Haloho. Dua orang lagi bertubuh gemuk, Agus Sebayang dan Alfiandro Tarigan. Mereka semuanya ramah dan menyenangkan, dan hanya perlu waktu singkat untuk mencairkan suasana dan menjadi akrab satu dengan yang lainnya.
Tidak ada yang kami lakukan pada hari pertama ini. Jadi, kami Cuma duduk di ruang tamu (yang fungsinya tetap dipertahankan, lengkap dengan kursi tamunya), mengobrol tentang segala hal. Jam lima sore, orang-orang bersiap-siap untuk pulang. Kami diantar dengan mobil menuju ke Guest House no 3, yang akan menjadi tempat sementara kami. Saya memilih sekamar dengan Juanto, Agus dengan Alfiandro.
Guest House no 3 adalah sebuah rumah milik pegawai negeri. Sewanya puluhan juta rupiah. Berkamar empat, dengan tiga kamar mandi, dan ruang-ruang terbuka yang luas. Pemilih rumah menyingkir ke garasi, di mana mereka akan menghabiskan waktu mereka selama setahun ke depan. Istri pemilik rumah yang berwajah lancip sehingga menimbulkan citra licik, juga bekerja menjadi pegawai CRS, menjadi tukang masak bagi penghuni Guest House no 3 ini. Masakannya pada hari pertama saya di sini cukup mengerikan: ikan sarden kalengan yang diolah seadanya. Pendampingnya adalah telur dadar tebal berminyak yang sudah dipotong-potong menjadi dua belas bagian. Sayur kangkung rebus terletak disebelahnya dalam baskom. Nasi diletakkan dikursi dalam sebuah termos es. Piring-piring bersih ditumpukkan di kursi yang lainnya, bersebelahan dengan sendok dan garpu.
Ada sembilan orang yang menghuni Guest House no 3 saat ini, semuanya local. Ada yang berasal dari Aceh, dari Medan, dari Jawa. Tidak ada bule. Mereka yang lebih senior – artinya lebih dulu bergabung dibandingkan dengan kami – jelas-jelas memahami arti kesenioran mereka. Mereka menjaga jarak dengan ketat. Pertanyaan-pertanyaan sopan kami dijawab dengan tegas dan tepat guna, atau lebih pas kalau diistilahkan dengan ketus. Pertanyaan saya dalam bahasa Aceh dijawah dengan dengusan melecehkan. Peraturan-peraturan dijelaskan mereka dengan gaya seorang pemimpin sejati yang tidak akan pernah tumbang.
Hal yang saya sadari nantinya, bahwa pada masa darurat tersebut, bekerja pada sebuah NGO merupakan suatu kebanggaan yang sangat besar. Bekerja berdampingan dengan bule, berbicara bahasa Inggris seadanya, memberikan perasaan berbeda. Jadi, kami yang mereka anggap junior ini, harus menghormati mereka. Mereka lebih dulu bergabung dengan CRS sekitar tiga minggu. Ya, hanya tiga minggu saja.
“Setelah makan piring-piring harus dikembalikan ke dapur”, kata salah satu peghuni senior. Tanpa menjawab saya dan Juanto mengangkat piring makan kami ke dapur. Tidak disuruhpun, kami akan lakukan hal tersebut.
Pagi jam delapan sebuah Kijang sudah menunggu di depan untuk mengantarkan penghuni mess ke kantor CRS. Perlu dua mobil untuk mengangkut semuanya, tetapi hari ini hanya tersedia satu mobil, karena yang satunya lagi menjemput seseorang ke bandara. Jadi, mobil ini akan kembali lagi menjemput sisanya setelah ke kantor CRS. Kami memilih untuk menunggu.