Wednesday, June 15, 2005

Boss kami Ross Tomlinson lagi cuti dua minggu ke Vietnam. Dua hari kemudian saya pulang ke Banda Aceh. Sebelum saya balik ke Meulaboh, kawan saya satu tim Juanto Haloho menghilang selama seminggu ke Medan Rekan yang lain pulang ke Jawa, dan balik ke Meulaboh tanggal 21 Juni 2005. Tanggal 18 Juni, dua orang lagi berangkat ke Jawa untuk liburan, diikuti oleh seorang lagi ke Medan. Jamie berangkat ke Singapura selama dua hari untuk mengurus Visa. Akhirnya, di Watsan Department hanya tinggal saya dan seorang rekan.Wow! Dulu sudah kami minta supaya yang liburan diatur secara bertahap (dapat liburan yang ongkornya dibayari setiap tiga bulan sekali), tetapi ditolak karena dianggap belum tiga bulan. Sekarang, setelah tiga bulan, semuanya berkeras untuk mengambil liburan, dan tidak bisa ditolak. Saya sendiri rencananya mengambil liburan selama 8 hari (4 hari liburan, 4 hari perjalanan) pada awal Juli nanti.
Orang-orang asing berdatangan dan pergi. Sepertinya hanya selintasan saja mereka berada di Meulaboh. Hari ini mereka muncul, beredar beberapa hari, kemudian menghilang. Sering sekali begitu.

Tuesday, June 07, 2005

Pagi ini saya pulang ke Banda Aceh dengan menumpang rombongan Palang Merah Denmark (Danish Red Cross) yang mau berangkat ke Lamno dari Meulaboh. Mereka mengikuti pelatihan penanganan trauma pasca bencana yang diselanggarakan oleh Komite Palang Merah Internasional dan Bulan Sabit Merah di Meulaboh. Terdiri dari dua kenderaan L-300, rombongan yang berjumlah sekitar 16 orang itu berangkat jam 10:30 dari Meulaboh melewati Geumpang. Jalan sepi, tidak ada lagi pos-pos pemeriksaan militer di sepanjang jalan Meulaboh-Beureunuen. Semenjak tertib sipil diiberlakukan, pos-pos tentara dikosongkan dari jalur Meulaboh-Geumpang. Suasana jalan sepi dan mencekam. Kami sampai di Banda Aceh jam 10:00 malam. Perjalanan lambat, sering berhenti di jalan. Rombongan tersebut meneruskan perjalanan ke Lamno, yang masih butuh waktu sekitar empat jam lagi.
Mengenai organisasi Bulan Sabit Merah (Red Crescent), ada ceritanya sendiri (info ini berasal dari PAk Dodiet, senior di CRS). Dulu, Palang Merah merupakan organisasi kemanusiaan yang berada di bawah naungan pemerintah. Setiap negara yang merupakan anggota PBB diharuskan mempunyai organisasi tersebut. Kemudian, seiring dengan perkembangan waktu, palang merah menjadi lepas dari pemerintah (sumber informasi ini tidak bisa menjelaskan kenapa) dan menjadi LSM yang berdiri sendiri, sehingga tetap netral seandainya ada konflik antara pemerintah dan rakyatnya. Negara-negara Muslim menolak aturan ini, karena lambang palang merah adalah “cross” atau salib, yang secara simbolik mewakili agama tertentu. Sebagai ganti palang merah, negara-negara Muslim membentuk organisasi yang secara asas dan fungsi adalah sama dengan palang merah, tetapi simbol dan lambangnya berbeda. Terbentuklah bulan sabit merah (red crescent), yang lambangnya diwakili oleh bulan sabit (kenapa Islam memakai simbol bulan sabit dan bintang? Sampai hari ini saya belum mendapat jawaban yang masuk akal mengenai hal tersebut). Organisasi bulan sabit merah ini diakui PBB sebagai palang merahnya negara-negara muslim. Secara internasional kedua organisasi ini dibawah naungan ICRC (International Commitee of Red Cross, kalau tidak salah), yang merupakan organisasi kemanusiaan terbesar di dunia. Organisasi kemanusiaan nomor dua terbesar didunia adalah Oxfam, kemudian diikuti oleh CRS.
Saya menghabiskan waktu seminggu di Banda Aceh, yang saya isi dengan jalan-jalan kepelosok-pelosok Balik ke Meulaboh pada tanggal 13 Juni 2005, sampai di Tangse kami menjumpai banyak kenderaan penumpang yang parkir. Hal ini adalah tidak biasa. Ternyata, malam sebelumnya terjadi kontak senjata antara Gempang dan Tutut. Mereka takut berangkat sendiri-sendiri, dan menunggu untuk konvoi (kali ini kami mengikuti kendereaan tentara). Seorang kenalan saya yang menjadi supir L-300 jurusan Meulaboh bercerita tentang kejadian tersebut. “Seperti biasa, kami melewati jalan yang sepi dengan pelan, karena banyak tikungan dan jalan yang mendaki. Entah dari mana, tiba-tiba beberapa orang berpakaian loreng tegak ditengah jalan, kira-kira lima puluh meter dimuka. Saya langsung bisa menduga, ini adalah kelompok lelaki (di Aceh, panggilan untuk GAM adalah kaum lelaki). Disamping saya di bangku depan, duduk seorang Brimob yang berangkat dari Tutut ke Geumpang. Menyadari situasi yang dihadapi, Brimob tersebut nampak pucat dan gemetaran. Tancap gas, bang! Tabrak saja! Katanya. Nggak mungkin, jawab saya. Jika kita lari, kita pasti akan diberondong, bahkan sebelum kita sempat menabrak mereka. Kamipun berhenti. Syukur, mereka tidak melakukan sweeping. Mereka minta duit dari supir, dan juga mengambili hand phone para penumpang. Kamipun berangkat lagi. Brimob yang duduk di depan sudah bisa bernapas lega sekarang”. Dua jam kedian, kelompok tersebut kepergok dengan tentara yang sedang patroli. Kontakpun terjadi. Tidak ada informasi mengenai apakah ada korban atau tidak.