Saturday, July 30, 2005

Training Design Septic Tank

Hari ini Jamie Ashe mengadakan training tidak resmi mengenai prinsip dasar perancangan septic tank, baik untuk rumah tangga ataupun komunal. Trainingnya menarik untuk diikuti, apalagi bagi saya hal ini merupakan sesuatu yang sama sekali baru. Selama dua jam yang sesekali diisi dengan canda dan juga snack, training berlangsung lancar dan berakhir pada jam 12:00.

Friday, July 29, 2005

Analisa Arsen di Lapangan

Jumat, 29 Juli 2005. Kandungan Arsen dalam air di daerah Aceh Barat menjadi isu serius akhir-akhir ini. Beberapa sample ditemukan kandungan Arsennya sangat tinggi (101 ppb). Setelah dilakukan tes pembanding ke laboratorium BTKL di Medan yang hasilnya lebih kurang mirip (93 ppb, karena waktu pengambilan sampelnya berbeda), diambil keputusan untuk melakukan tes Arsen langsung di lapangan pada setiap hari Jumat. Jam 08:40 saya berangkat, hanya berdua dengan supir. Tujuan kami adalah wilayah kecamatan Johan Pahlawan dan kecamatan Meurebo yang saling berdekatan. Sampai jam 12:00 siang saya bisa menyelesaikan lima sampel dari lima lokasi yang berbeda.
Setelah makan siang dan mengikuti Salat Jumat di Mesjid Pasi Pinang (Meureubo) yang rusak parah (kami melakukan salat di ruangan darurat), perjalanan dilanjutkan. Di daerah Alue Penyareng pada kamp pengungsi, salah satu sumur bor yang ada level Arsennya ternyata tidak berubah, 100 ppb. Sementara sumur bor yang dibangun oleh salah satu NGO asing yang hanya berjarak sekitar 200 m level Arsennya adalah 0 ppb. Mungkin tidak ada pilihan lain bagi Dinas Kesehatan Aceh Barat: menyuruh NGO yang membangun sumur bor tersebut untuk memasang Arsen treatment atau menutup sumur tersebut dan menggali sumur lain yang kandungan Arsennya diharapkan lebih rendah atau tidak ada sama sekali. Atau memasang pengumuman bahwa sumur tersebut mengandung arsen dan tidak layak untuk diminum.

Analisa Arsen diapangan dengan menggunakan Arsenator dari Wagtech


Warna yang semakin pekat menunjukkan Arsen yang tinggi. Warna putih menunjukkan tidak ada Arsen. Bacaan akhir ditunjukkan secara digital pada alat Arsenator (prinsip analisa adalah photometri)

Wednesday, July 27, 2005

27 Juli 2005

Tadi pagi saya mengikuti meeting dengan Bagian Kesehatan Lingkungan di Dinas Kesehatan Aceh Barat, bersama dengan Ross. Unicef turut hadir pada meeting tersebut (Eka Setiawan dan orang Malaysia keturunan India Cyril Chandrapala). Kami membahas mengenai berbagai hal, terutama mengenai isu arsen (sumber-sumber air di Aceh Barat sekitar Meulaboh ada yang mengandung arsen, kasus terburuk kandungan arsennya adalah 101 ppb. Standar pemerintah Indonesia adalah 10 ppb). Disepakati untuk tidak menggunakan lagi air yang mengandung arsen diatas yang diperbolehkan pemerintah. Dengan kata lain, sumur bor yang digali NGO yang jelas mengandung arsen harus ditutup dan mereka dipersilahkan membuat sumur baru.
Setelah dua jam berdiskusi ngalor ngidul (sampai topik utama meeting terlupakan: pengadaan alat lab untuk Dinkes Aceh Barat, training staff Dinkes, manajemen data dsb), disepakati meeting berikutnya akan diadakan hari Rabu dua Minggu yang akan datang. Inilah meeting gaya India, kata saya kepada Ross. Hasil meeting kali ini adalah menentukan kapan dan dimana meeting yang akan datang dilaksanakan. "Tidak sepenuhnya juga", jawab Ross. "Paling tidak kita mendapatkan beberapa hal yang kita perlukan dari pembicaraan tadi". Ya juga, seperti kami mendapat info nama staff Dinkes yang akan bekerja bersama kami nantinya. Rencananya, dalam minggu ini staff tersebut akan tiba di Meulaboh dari Woyla.
Jadwal pengambilan sampel air yang baru sudah ditentukan. Tiap NGO diperbolehkan mengantar 5 sample setiap dua minggu pada saat padat, atau delapan sampel dalam dua minggu kalau tidak terlalu banyak sampel yang harus dianalisa. Analisa secara kimia akan dilakukan setiap hari Senin, Selasa dan Rabu. Analisa bakteri akan dilakukan pada hari Kamis. Sedangkan untuk hari Jumat, saya harus berkeliling untuk melakukan analisa arsenik langsun di tempat. Hari Sabtu, kerja administrasi: mempersiapkan laporan dan sebagainya. Walaupun jadwalnya sudah ditentukan, ada juga NGO yang mengantar sample sesuka mereka saja. Tanpa menelepon dulu untuk konfirmasi, tiba-tiba sudah ada yang muncul membawa selusin sampel untuk dianalisa. Untuk ditolak, nggak tega juga. Akhirnya sample-sample tersebut disimpan di kulkas menunggu waktu untuk dianalisa.


Analisa bakteri dalam sample air di laboratorium alanisa air CRS Meulaboh

Tuesday, July 26, 2005

Senja di Suak Ribee

Ini adalah foto saya yang pertama yang berhasil menggambarkan matahari tenggelam di laut. Setelah puluhan kali mencoba (dan gagal), inilah yang memberi hasil seperti yang saya harapkan.

Monday, July 25, 2005

Blang Pidie
Foto kota Blang Pidie, sekitar dua jam dari Meulaboh ke arah Medan. Dibandingkan dengan Meulaboh yang harga-harganya menggila, harga barang di Blang Pidie jauh lebih murah. Masyarakat Aceh Barat dan sekitarnya lebih memilih belanja ke Blang Pidie (dalam partai besar) daripada ke Meulaboh. Foto-foto berikut diambil pada saat saya dan beberapa orang kawan berjalan-jalan ke sana pada hari Minggu di bulan Mei 2005 lalu.

Sungai di Babah Rot

Jembatan Sungai Babah Rot

Kota Blang Pidie

Pemandangan di Blang Pidie

Pantai di Blang Pidie

Sunday, July 24, 2005

Wajah Indo Warga Lamno

Selama ini, saya cuma mendengar keberadaan orang-orang keturunan Eropa di daerah Lamno, Aceh Jaya. Saya belum pernah melihat secara langsung. Pada acara Piasan Raya (Pesta Besar) yang diadakan Mercy Corps di Meulaboh tanggal 25 - 26 Juni 2005, kami berjumpa dengan satu keluarga kecil. Saya curi-curi mengambil foto mereka (foto suaminya saya hilangkan dari gambar).



Berikut ini adalah kutipan dari Koran Pikiran Rakyat tentang melacak warga lamno keturunan Portugis sehabis Tsunami.

Jejak Porto Ratusan Tahun Disikat Tsunami
KEHADIRAN orang Portugis di daerah Aceh, ratusan tahun yang lalu, hingga sekarang masih meninggalkan bekasnya. Tepatnya di daerah Lamno, Kabupaten Aceh Jaya atau kurang lebih 81 km dari Banda Aceh ke sebelah barat. Peninggalan orang Porto (begitu panggilannya-red) di Lamno yakni gadis cantik yang bermata biru, hidung mancung, kulih putih dengan perawakan yang tinggi di atas rata-rata warga Aceh lainnya.
Gadis-gadis cantik itu bak bule tadi adalah keturunan dari pedagang Porto yang singgah di Lamno beberapa abad yang lalu. Di antara pedagang Porto ini ada yang menetap lama di Lamno dan meminang perempuan setempat. Keturunan mereka hingga sekarang masih ada, dengan ciri fisik sebagaimana orang-orang Eropa.
Budayawan Lamno M. Yunus mengemukakan orang Portugis masuk ke Lamno sekira tahun 1492. Waktu itu, di Lamno ada kerajaan kecil yang kaya dengan rempah-rempah, seperti lada dan lainnya. Di bawah Raja Pahlawan Syah (Sultan Alaidin Riayah Syah II) atau lebih dikenal dengan nama Marhum Daya, Kerajaan Lamno berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan orang Portugis.
Kerajaan Lamno ini berpusat di Keluang atau Kuala Daya daerah pinggir pantai. Di lokasi itu juga dulu dibangun pelabuhan laut Lamno sebagai tempat berlabuh kapal laut dari luar daerah. Karena memiliki pelabuhan yang memadai dan strategis di Samudra Hindia, perdagangan antara Portugis dengan Lamno berjalan dengan baik. Sistem perdagangan waktu itu masih menggunakan barter. Orang-orang Porto itu membawa lada dan tembakau dari Lamno.
Karena hubungan perdagangan itu, ada di antara pedagang Portugis yang tertarik dengan gadis asal Lamno. Akhirnya di antara mereka ada yang meminang gadis setempat, dan menetap tinggal di daerah Kuala Daya dan di Lamso, masih masuk ke daerah Lamno. Saat itulah secara turun-temurun lahir keturunan orang Portugis di Lamno.
Selain orang Portugis di Lamno, sebenarnya masuk juga pedagang dari Cina, India, Arab, hingga VOC sendiri. Bahkan konon ACEH adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan (India). Maka pada zaman itu, Aceh benar-benar merupakan sebuah daerah kosmopolitan.
Itu dibuktikan dengan ditemukannya mata uang kuno di Lamno. Yunus menunjukkan delapan mata uang kuno, yang di temukan di sekitar pelabuhan. Mata uang itu, diyakini mata uang VOC karena berlambangkan atau bertuliskan VOC, Arab (ada tulisan Arabnya), Cina (bahasa Cina), dan India.
Dengan adanya mata uang itu, kemungkinan besar pelabuhan di Lamno ini dulu sangat ramai sebagai pusat perdagangan. "Makanya, saat ini selain ada keturunan Portugis, ada juga keturunan Arab maupun India di daerah Lamno ini," papar Yunus kepada "PR". Keturunan Arab juga dimungkinkan adalah yang menyebarkan Islam di daerah ini, termasuk keturunan Portugis juga beragama Islam.
Hanya, kejayaan Lamno mulai pudar, itu terjadi saat Raja Alaidin Riayah Syah II yang merupakan putra dari Raja Inayatsyah meninggal pada 1508. Setelah raja Alaidin ini meninggal, Kerajaan Lamno masuk menjadi bagian wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Hal itu terjadi karena Putri Alaidin yakni putri Hur (pewaris takhta) menikah dengan Raja Sultan Halim Murayat Syah (Raja Aceh Darussalam). Sejak itu, pelabuhan Lamno menjadi sepi, karena pusat perdaganan dialihkan oleh raja baru ke Sabang dan Banda Aceh.
Para pedagang dari Portugis maupun India saat itu juga tidak lagi masuk ke Lamno. Namun, orang Portugis yang sudah berkeluarga di daerah itu menetap untuk selamanya. Mereka bekerja sebagaimana warga setempat yaitu melaut dan bertani. Karena pelabuhan sepi, lambat laun usaha lada dan tembakau mulai ditinggalkan oleh warga setempat.
Alasannya, karena untuk menjualnya menjadi sulit dan harga murah. Nama Lamno sebagai penghasil lada dan tembakau pun sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional akhirnya meredup dari tahun ke tahun. Bahkan, kini sangat jarang sekali tanaman lada atau usaha tembakau digeluti oleh warga daerah ini. Julukan kota perdagangan untuk Lamno pun akhirnya memudar.
Julukan kota perdagangan serta penghasil rempah-rempah boleh saja pudar. Tapi, satu julukan yang akhirnya tak pernah pudar untuk daerah Lamno adalah sebagai tempat lahirnya gadis si mata biru. Karena kecantikan gadis yang tetap bersinar dari abad ke abad, akhirnya membuat daerah Lamno masih terkenal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), hingga sekarang. Menyebut nama Lamno, di Aceh sepertinya sudah identik dengan gadis keturunan Porto yang jelita.
Menurut Burhanudin (58), warga Lamno yang masih keturunan Portugis, kepada masalah kecantikan keturunan Portugis, sudah lama dikenal di Aceh. Bahkan, kalau ada perayaan Marhum Daya, banyak orang berdatangan ke Lamno. Perayaan pada hari Lebaran Iduladha itu dapat dipastikan gadis-gadis Porto yang ada di daerah Lamno kumpul. Baik yang ada di Lamno maupun di luar daerah ini. "Itu orang banyak memperhatikan kecantikan gadis-gadis Lamno yang keturunan Portugis," paparnya.
Burhanudin yang mengaku generasi kelima asal Porto, memaparkan, keluarga yang masih keturunan Portugis itu, sebagian besar tinggal di Kuala Daya dan Lamso. Diperkirakan jumlahnya kurang lebih 150 orang (sebelum tsunami). Keluarga asal darah Porto ini bekerja sebagai nelayan dan bertani sawah atau kebun, sebagaimana umumnya warga sekitar.
"Kehidupannya juga tidak jauh atau sama dengan warga sekitar. Ada yang istimewa dari keluarga keturunan Porto, seperti kami ini. Karena hanya fisik saja yang beda, lainnya mulai dari bahasa, budaya, dan pekerjaan sama saja," jelasnya.

Syukur, Masih Ada Penerus Gen Portugis
LALU bagaimana nasib keturunan Portugis di Lamno, setelah terjadi bencana tsunami menerjang daerah itu?
Daerah Lamno, yang berada di Aceh Jaya atau pesisir pantai barat Aceh, tidak luput juga dari gempa dan badai tsunami. Akibatnya, jalur darat antara Banda Aceh-Lamno sepanjang 81 km putus total, sehingga pada awal-awal terjadi gempa, daerah ini sempat terisolasi. Sebelum putus, Banda Aceh ke Lamno bisa ditempuh dua jam dengan kendaraan pribadi, menelusuri pinggir pantai. Sedangkan angkutan umum tarifnya Rp 15 ribu, dari Banda Aceh ke Lamno.
Pada Minggu (30/1), bersama Abang Aa, warga Banda Aceh, saya mencoba masuk ke Lamno menggunakan sepeda motor atau berusaha untuk menebus jalur darat. Dari Banda Aceh-lewat Lhoknga, lalu masuk ke Kec. Leupung. Untuk jalur Lhoknga-Leupung sudah bisa dilalui karena jembatan darurat yang dibangun Zeni TNI AD sudah beres.
Di Leupung, TNI AD juga membuat jalan sementara/darurat untuk mengganti jalan utama yang hancur. Sepanjang 15 km jalur di Leupung made in tentara ini harus dilalui dengan susah payah, karena jalannya masih labil, licin, dan bergelombang. Ketika akan masuk Lhok Seudu-Pulut, terpaksa sepeda motor diangkut dengan rakit karena jembatan yang menghubungkan dua daerah itu belum selesai dibangun oleh TNI AD.
Sebenarnya setelah masuk Pulut hanya tinggal menembus dua daerah lagi agar bisa masuk ke Lamno, yaitu Layeun dan Lung atau kurang lebih 40 km. Namun perjalanan selanjutnya mesti melewati bukit dengan jalan darurat buatan masyarakat. Lebar jalannya hanya satu meter. Jalur ini banyak dihuni tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena itu, atas pertimbangan warga setempat, kami putuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.
Saat itu juga kami balik lagi ke Banda Aceh. Harapan untuk bisa ke Lamno pun buyar. Cara yang memungkinkan untuk ke Lamno adalah menggunakan speed boat atau heli. Namun untuk naik speed boat, ongkos carternya mahal hingga Rp 700 ribu/hari. Padahal kalau menggunakannya mesti menempuh waktu dua hari. Berangkat pagi dengan menempuh perjalanan lima hingga enam jam. Perahu baru bisa balik lagi besok harinya waktu pagi hari. "Siang tidak berani, karena angin kencang sangat bahaya," kata Bukhori, pemilik speed boat.
Setelah dipertimbangkan, untuk menggunakan perahu adalah alternatif terakhir. Karena ada cara yang belum dicoba yaitu heli dari Lapangan Udara Iskandar Muda, Banda Aceh. Hari Senin (31/1) pagi hari, akhirnya saya berangkat ke bandara karena ada informasi WFP (World Food Program) akan berangkat ke Lamno dengan menggunakan heli. Mereka membawa wartawan asing untuk meninjau Lamno. Begitu di Lanud Iskadar Muda, saya berusaha menghubungi pihak WFP Chesy yang mengatur perjalanan ke Lamno.
Kepada WFP, saya berusaha meminta tolong untuk ikut ke Lamno. Hanya, mereka secara halus menolak. Alasannya, wartawan asing yang ikut sudah daftar sehari sebelumnya. Lalu kapasitas tempat duduk heli juga terbatas.
Jawaban WFP tidak membuat saya patah arang. Di hadapan dia, saya mengangguk seolah bisa menerima penjelasannya. Namun saat heli itu dihidupkan untuk berangkat ke Lamno, saya segera lari masuk ke dalam heli. Waktu itu pihak yang mengurus keberangkatan ke Lamno masih berada di tendanya sehingga tak melihat saya masuk ke heli. Tak lama kemudian sejumlah wartawan asing masuk ke heli dengan mengambil tempat duduk.
Agar di pesawat tidak langsung kelihatan oleh pihak yang mengurus keberangkatan ke Lamno, saya duduk di kursi ujung belakang. Beberapa detik saat pesawat akan mengudara, Chesy masuk ke dalam pesawat dan langsung duduk belakang pilot dekat pintu pesawat.
Sesaat sudah di udara untuk menuju perjalanan ke Lamno, akhirnya dia melihat saya. Saat itu akhirnya kami saling bersitatap. Saya segera melambaikan tangan kanan. Orang WFP ini membalasnya, sambil tersenyum, entah kesal atau bisa menerimanya.
Pesawat heli inilah yang akhirnya sampai ke Lamno. Dari udara terlihat jelas, bahwa kota itu telah hancur. Hanya beberapa desa yang kelihatan masih utuh, yaitu di pusat kotanya. Turun dari pesawat, langsung menuju ke arah pengungsian untuk mencari jejak si "mata biru". Sedangkan rombongan wartawan asing, berkunjung bersama dari WFP juga ke pengungsian, namun lokasinya berbeda.
Sempat beberapa kali menanyakan tentang keberadaan si bule kepada warga sekitar. Jawabannya beragam. Ada yang mengatakan bahwa daerah yang selama ini dihuni mereka, yaitu Kuala Daya dan Lamso sudah rata dengan tanah karena lokasinya dekat dengan pantai. Akan sulit untuk bisa menemukan orang-orang keturunan Portugis itu. Kuala Daya dan Lamso adalah desa yang paling hancur. "Kemungkinan besar keturunan Portugis sudah banyak yang meninggal," kata Sulaeman, penduduk Lamno.
Berkat informasi seorang guru sekolah dasar, akhirnya saya bisa menemukan beberapa orang bule di daerah pengungsian. Di belakang pasar Lamno, ada keturunan Portugis yang memang namanya adalah Bule (80). Sebelum tsunami, dia tinggal di Kuala Daya. Ketika ditemui, ternyata wajah ibu dua anak ini mirip dengan orang bule. Hidungnya mancung, kulit putih, dan badannya tinggi kira-kira lebih 170 cm.
Menurut Bule, keturunan Portugis di Kuala Daya sebagian besar telah meninggal disapu tsunami. Ia juga sempat digulung ombak, tapi akhirnya selamat. Ia sendiri tidak bisa memastikan, berapa orang lagi keturunan langsung dari darah Portugis yang kini masih tersisa. "Saya tidak bisa menyebut jumlahnya, tapi jelas sangat sedikit," katanya.
Di pengungsian itu, saya juga bertemu dengan keturunan Portugis lainnya seperti dua gadis bernama Dahlia (26) dan Marlina (20). Satunya lagi ibu beranak satu bernama Maulizar (27). Di SMU Lamno, juga ada tiga orang gadis yang keturunan Portugis, di antaranya Tina. Menurut Marlina, gadis-gadis keturunan Portugis yang ada saat ini kira-kira di bawah sepuluh orang karena sudah banyak yang menjadi korban tsunami.
Di antara para pengungsi, keberadaan gadis ini memang terlihat lain yaitu tetap cantik. Namun sifatnya pemalu. Mereka jarang berkomunikasi dengan orang luar, kecuali yang dikenalnya. Menurut Tina, dia sebenarnya sama dengan warga Aceh atau Lamno lainnya. Kalaupun ciri fisik yang berbeda, itu karena ibu dan bapaknya adalah keturunan Portugis. Kadang ia sendiri merasa malu, karena ciri fisik yang berbeda. Namun ia tidak tahu, siapa nenek moyangnya yang asal Portugis itu. "Kita yang seperti orang barat ini karena ada keturunan asing. Ayah saya saja tidak tahu siapa orang Portugis yang datang ke Lamno ini," jelasnya.
Dalam keseharian, kata Dahlia, tak ada perbedaan antara mereka yang keturunan Portugis dengan lainnya. Baik di sekolah maupun di pergaulan sehari-hari, tetap tampil seperti biasa tanpa mendapat perlakuan khusus. Bahkan, sebelumnya di antara mereka tidak mengetahui kalau mereka keturunan Portugis.
Nenek Bule juga mengemukakan hal sama. Dalam kehidupan sehari-hari, antara dirinya dengan warga Lamno lainnya tidak ada yang berbeda. Mata pencaharian juga sama yaitu nelayan atau bertani. Seperti di Kuala Daya, keluarga keturunan Portugis seperti Sehrani pekerjaannya nelayan. Keluarga Agam Lambeso, juga nelayan. Teungku M. Amin adalah seorang nelayan dan Basyah Peti adalah petani. Anggota keluarga mereka banyak juga yang hilang akibat tsunami.
Selama ini, kata Marlina, tidak ada gadis keturunan Lamno Portugis yang menjadi artis. Biasanya mereka menikah dengan warga setempat. Jika suaminya sama berasal dari keturunan Portugis, biasanya ciri Portugis pada anak-anak mereka tampak kuat. Anak mereka benar-benar seperti bule, berhidung mancung, bermata biru, dan kulit putih.
Sebaliknya, kalau perempuannya yang keturunan Portugis menikah dengan laki-laki asli setempat, ciri fisik seperti orang Eropa mulai pudar. Bola matanya, juga jadi kecokelat-cokelatan, tidak biru lagi. Namun biasanya hidungnya mancung, dan warna kulitnya menjadi sawo matang.
Kini gadis-gadis cantik keturunan Portugis yang ada di pengungsian, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, sepertinya akan tetap menjadi penerus jejak Portugis yang pernah masuk ke Lamno. Di antara mereka ada yang bercita-cita jadi perawat, dan juga menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tapi, yang jelas mereka sendiri bingung dengan masa depannya karena orang tua atau keluarga mereka telah tiada.
Termasuk untuk pulang pun bingung karena rumahnya sudah rata dengan tanah. "Sekarang bersabar dan berdoa. Semoga Allah menunjukkan jalan yang baik bagi kami yang selamat," kata Maulizar. Tentu semua berharap ”mutiara Lamno” itu harus tetap tegar untuk menjalani kehidupan yang akan datang. Agar Lamno kembali bersinar. (Undang Sudrajat/"Pikiran Rakyat")

Artikel Kompas Sabtu, 6 Oktober 2001 tentang keberadaan warga Lamno yang bermata biru dan berkulit putih.

Pesona Mata Biru di Lamno

Kompas/basri daham
ACEH di ujung utara Pulau Sumatera identik dengan Aceh sebagai Serambi Mekah. Wilayah itu merupakan tanah bekas kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dengan perdagangan yang maju serta angkatan perangnya yang jaya pada abad-abad ke-8 sampai ke-19. Daerah ini juga dikaruniai Tuhan dengan kekayaan dan keindahan alam serta budayanya yang maju. Profil dan letak geografis daerahnya menguntungkan karena terapit di antara Samudera Indonesia dan Selat Sumatera sehingga menjadikan pantainya seperti untaian zamrud.
Keindahan alamnya yang mempesona hampir dijumpai di setiap jengkal tanah, gunung, dan pantainya. Aceh sebagaimana daerah lainnya, sudah sejak lama dikenal sebagai daerah tujuan wisata (DTW) karena menyimpan banyak kekayaan budaya dan keindahan alamnya yang belum banyak tersingkap atau diketahui umum.
Misalnya, potensi wisata yang masih terpendam ini terletak di kawasan sepanjang 600 km bagian pantai barat Aceh. Mulai dari atas Geureutee (daerah pegunungan) pantai barat ini sampai ke bawah yang atau dari Desa Daya/Unga sampai Kuala Dhou Legeun (sekitar 85 km dari Banda Aceh arah ke Meulaboh), sekarang dikenal sebagai Kecamatan Lamno. Terhampar pantai berpasir putih yang indah berkilauan dan di kaki Geureutee ini, terdapat sebuah kawasan indah bekas Kerajaan Islam Daya, yang pernah jaya dan kuat.
Yang menarik sekarang dibekas Kerajaan Daya ini terdapat beberapa desa dengan penduduk bermata biru, berkulit putih, berambut pirang dengan tubuh profil Eropa. Mereka adalah warga asli Lamno yang menurut sejarah adalah turunan Portugis. Sebuah kapal perang Portugis yang kalah perang dengan Belanda di Melaka/Singapura. Dalam perjalannya dari Singapura ke negaranya mengalami kerusakan dan terdampar di daratan Kerajaan Daya, pada abad ke-15.
Raja Daya tidak membiarkan begitu saja kapal perang Portugis yang lari dari Perang Malaka dan Singapura itu bersembunyi di daratan Daya. Tentara Daya menembaki kapal itu dengan meriam-meriam besar hingga kapalnya tenggelam. Semua awak kapal dan tentara Portugis menyerah dan minta perlindungan dari Raja Daya, sambil menunggu datangnya kapal Portugis datang menjemput mereka.
Seluruh awak dan tentara Angkatan Laut Portugis tersebut kemudian ditawan oleh Raja Daya dan dikurung dalam suatu kawasan yang berpagar tinggi. Mereka menunggu bantuan, tetapi komunikasi sulit dan bantuan tak pernah datang. Akhirnya mereka menyerah kepada Raja Daya dan menyatakan masuk agama Islam. Setelah itu mereka pun dibebaskan dari tempat tawanannya. Mereka kemudian diajar bertani, diajar bahasa, adat istiadat dan kebudayaan Aceh, dan belajar menjadi orang Aceh. Dan jadilah mereka penduduk Aceh hingga sekarang.
Kalau melihat warga Lamno yang bermata biru atau coklat dan berprofil Eropa ini, tak salah kalau pakar sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Muhammad Gade, mengatakan ejaan lama kata "ATJEH" mempunyai makna, Arab (A), Tjina (Tj), Eropa (E), dan Hindustan/India (H). Maka orang Aceh yang sekarang, sebagian besar adalah keturunan Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan.
Kerajaan Islam pertama adalah Pasai (Pase) berdiri pada abad ke- 9. Pase yang sekarang tepatnya berada di kawasan pantai Samudera Gedong, sekitar 25 km dari Lhok Seumawe arah ke Medan. Di sini masih dapat disaksikan bekas-bekas bandar besar dan sebuah kompleks makam besar keluarga Sultan Pase (Sultan Malikussaleh). Tanah sekitar Bandar Pase ini hingga sekarang banyak mengandung pecahan keramik kuno Cina yang diperkirakan dibawa oleh kapal-kapal Cina yang kemudian juga terlibat perang dengan Kerajaan Pase.
Kerajaan Pase, Daya dan Pedir (Pidie), dan Lamuri kemudian bersatu menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1513 di bawah Raja Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Lamuri. Ketika Kerajaan Pase diperintah Sultan Zainal Abidin (tahun 1511), tentara Portugal sebelum berperang melawan Kerajaan Melaka, sempat menyerang Kerajaan Pase.
Menurut Ali Akbar, Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Cabang Kabupaten Aceh Utara, semua peristiwa itu masih dapat dibaca tertulis dalam aksara Babilonia, Arab, dan Turki kuno pada beberapa batu nisan besar Kompleks Makam Sultan Malikussaleh, Raja Pasai (Pase).
***
TIDAK heran kalau orang yang pernah datang ke kawasan Daya Lamno ini akan bertemu dengan banyak sekali wajah-wajah cantik pria dan wanitanya. Mereka bermata biru atau coklat, berkulit putih, berambut pirang, hidung mancung dengan profil jangkung tubuh Eropa. Membuat mereka berbeda dengan orang Aceh lainnya.
Perbedaan menyolok ini membuat warga turunan Portugis di Lamno Aceh Barat, terutama wanitanya menjadi pemalu. Padahal mereka adalah orang Aceh juga, menggunakan bahasa Aceh yang pasih, dan juga pemeluk Islam yang taat beribadat. Namun, mereka bukanlah warga yang sombong, sikap malu hanya muncul jika mereka didatangi oleh orang asing yang belum mereka kenal saja.
Oleh karena itu, adalah sulit sekali mengajak mereka berbicara, kalau tidak didampingi oleh salah seorang tokoh desanya. Jarang sekali bisa mendapat kesempatan untuk memotret wajah-wajah gadis Lamno yang cantik itu. Mereka selalu lari menghindar jika ada yang hendak mengambil foto dirinya.
Menurut cerita begitu pemalunya warga Lamno bermata biru turunan Portugis ini hingga mereka hanya bergaul dalam kelompok mereka atau dengan orang desa yang mereka kenal saja. Perkawinan pun hanya terjadi sesama turunan Portugis. Tetapi, belakangan ini karakter malu itu mulai berobah karena akhirnya mereka menyadari bahwa mereka adalah orang Aceh juga.
Hingga ada juga satu atau dua gadisnya yang mau menikah dengan warga Lamno lainnya, dan bahkan banyak juga yang berhasil diboyong orang Aceh lainnya. Memang hingga sekarang sulit sekali mempersunting gadis Lamno ini dan mereka memang wanita-wanita berwajah cantik yang taat sekali beribadat, dan kebanyakan mereka belajar di sekolah-sekolah Agama Islam atau Pesantren dan kemudian melanjutkan kuliahnya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Banda Aceh.
Adat istiadat warga Lamno bermata biru ini tak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Bahasa Aceh mereka, logat, maupun aksen, serta pengucapannya sama dengan bahasa Aceh biasa dan berlogat Aceh Barat. Menu makanan, dan makanan khasnya adalah makanan khas Aceh, seperti kari, dan masakan Aceh lainnya. Dan nasi merupakan makanan utamanya.
Seorang pemilik rumah penginapan di Lamno menceritakan pada hari-hari pasar mingguan, wanita dan pria bermata biru ini datang ke Pasar Lamno untuk belanja. "Kalau mau melihat mereka, saat itulah," kata pemilik Losmen Lamno. Tapi jarang yang mau difoto. Maka untuk mendekati pria atau gadis Lamno bermata biru sebaiknya melalui kepala desa atau tokoh-tokoh Desa Daya yang biasanya lebih terbuka dengan masyarakat luar.
Di Desa Daya juga terdapat sebuah bukit kompleks Makam Marhum Daya. Di batu-batu Nisannya terdapat catatan-catatan sejarah yang tertulis dalam aksara Babilonia dan Arab. Kompleks Makam Marhum Daya ini terpelihara dengan baik dan selalu ada yang berziarah dan membaca ayat-ayat suci Al Quran. Juga banyak yang datang karena tertarik pada sejarah kebesaran Kerajaan Daya.
***
ADA tradisi yang cukup menarik dalam masyarakat Daya yang juga diikuti oleh warganya yang bermata biru, yaitu perayaan adat Seumeulueng (suguhan makanan) untuk raja dan juga semua rakyat Daya. Perayaan Seumeulueng ini berlangsung pada setiap Hari Raya kedua Idul Adha.
Pada hari tersebut, seluruh rakyat Daya dengan dikawal oleh 17 pengawal yang berpakaian unik yakni, jubah hitam dengan kepala dan wajah tertutup oleh kerudung hitam sampai ke dada bagian atas, hanya berlubang pada bagian mata untuk melihat. Jubah itu bergaris-garis merah, dan pasukan pengawal kerajaan itu semuanya mengenakan pedang.
Rakyat yang berjalan dibelakangnya membawa hidangan makanan untuk raja. Tempat upacaranya berada di atas sebuah bukit tak jauh dari kompleks Makam Marhum Daya. Karena Raja Daya tidak ada lagi, maka yang menerima hidangan itu adalah salah seorang dari tokoh masyarakat Daya atau bisa juga salah seorang pejabat Kabupaten Aceh Barat yang dihormati rakyatnya.
Hari itu semua warga Daya keluar dari rumahnya dan mereka mengenakan pakaian yang baru yang indah-indah sebagai tanda ikut merayakan hari Seumeulueng. Upacara ini selalu ramai karena masyarakat Lamno, Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, dan juga dari Banda Aceh, datang untuk menyaksikan acara langka dan unik itu.
Semua kegiatan adat Seumeulueng itu jika dikemas dalam satu paket wisata, ditambah dengan situs Kerajaan Daya yang masih tersisa, termasuk Kompleks Makam Marhum Daya yang penuh relief beraksara Babylonia, Turki, dan Arab kuno, akan menjadi daya tarik tersendiri.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Aceh Ramli Dahlan, setiap tahun ada turis dari Eropa, di antaranya banyak dari Portugal yang datang ke Lamno sebagai turis. Mereka datang ke bekas Kerajaan Daya itu untuk menyaksikan orang-orang Aceh bermata biru di sana. Di antaranya terdapat peneliti sejarah yang telah mendapat izin dari Pemda Aceh untuk mengadakan penelitian.
Pemda Aceh Barat memang berupaya menghidupkan daerah Lamno sampai Lageun menjadi daerah tujuan wisata (DTW) Aceh Barat. Di Lageun bahkan telah dibangun rumah-rumah panggung bergaya Aceh untuk disewakan kepada wisatawan mancanegara. Selain rumah-rumah panggung yang dilengkapi dengan ruang tidur, ruang tamu, dan dapur, juga di kompleks pantai Lageun itu telah dibangun sebuah restoran besar bergaya Aceh. Pemda Aceh Barat juga berniat mencari investor membangun sebuah hotel berbintang di kawasan pantai antara Kuala Daya sampai Lageun.
Menurut catatan sejarah yang ada di Pusat Dokumentasi Induk Aceh (PDIA), Marco Polo dalam petualangan pelayaran keliling dunianya tahun 1292-1295 pernah singgah di Kerajaan Daya. Marco Polo kemudian menuliskan kebesaran Kerajaan Daya itu dalam bukunya Far East yang menceritakan tentang kebudayaan bangsa Indo Cina, Lamno Aceh, dan orang-orang Banda Maluku Tengah. (Basri Daham)

Saturday, July 23, 2005

Perayaan Maulid Nabi

Rata-rata, kebanyakan penduduk Aceh di Pidie makan daging beberapa kali dalam setahun: “meugang” sebanyak tiga kali, yaitu memasuki bulan suci Ramadhan, sehari sebelum hari raya Idul Fitri, sehari sebelum hari raya Idul Adha. Kemudian daging hewan kurban (biasanya yang ini tidak semuanya mendapat bagian) dan pada saat perayaan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid di Aceh hampir selamanya meriah. Di Pidie, di desa-desa biasanya persiapan sudah dilakukan menjelang bulan Rabiulawal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Rapat digelar di Meunasah, mendata penduduk yang akan ikut mengadakan kenduri Maulid, “Kanduri Meulod”, kata orang Aceh, berapa “idang” – pasangan nasi dan lauk-pauknya – untuk setiap rumah, sesuai dengan kemampuan. Hal ini adalah sukarela, tidak ditentukan jumlahnya. Biasanya, hampir setiap warga akan ikut melaksanakan. Si anu menyanggupi dua “idang”, yang lainnya lima “idang”. “Idang” disini adalah dua talam besar, yang satu berisi nasi bungkus “bu kulah” dan talam lainnya berisi lauk-pauk. Dari data yang ada, diputuskan apakan akan memotong kerbau atau sapi, atau masing-masing membeli daging sendiri. Sepanjang ingatan saya, selamanya memotong hewan. Pemotongannya dilakukan pada waktu pagi, biasanya sehabis shalat subuh, dan dikerjakan secara bergotong royong oleh penduduk desa. Sekitar jam tujuh atau jam delapan semuanya selesai. Dagingnya dibagi menjadi tumpukan-tumpukan – jumlahnya sesuai dengan kesepakatan pada saat rapat – kemudian dibagikan sesuai dengan data yang ada. Satu tumpuk daging – yang tercampur dengan jeroan dan tulang serta kulit, semuanya dibagi rata – dihargai sesuai dengan harga sapi dibagi dengan jumlah tumpuknya. Biasanya jauh lebih murah dibandingkan dengan membeli di pasar daging.
Di dapur, kaum ibu sibuk memasak, dibantu oleh saudara dan kerabat yang diundang. Kaum laki-laki, setelah mengantar daging pulang kerumah, biasanya menghilang lagi ke meunasah, melakukan persiapan untuk menerima tamu-tamu yang diundang. Suasana ramai, penduduk laki-laki berkumpul di meunasah dan pos jaga. Orang-orang desa ini yang tinggalnya ditempat lain yang berdekatan juga pulang kampung.
Tamu-tamu yang diundang adalah desa-desa yang berdekatan, biasanya tamu abadi yang sudah menjadi langganan. Desa kami memiliki hubungan “undangan maulid” dengan beberapa desa yang berdekatan, yang setiap tahun mengundang dan diundang. Seluruh penduduk desa tersebut yang laki-laki, tua dan muda, bahkan akan-anak kecil, yang tidak berhalangan, akan datang memenuhi undangan. Jumlahnya sampai puluhan. Undangan utama, dari sebuah desa yang sudah ditentukan, akan melantunkan Dalain Khairat sebagai acara pembuka. Undangan lainnya biasanya tokoh-tokoh masyarakat, unsur pimpinan pemerintahan daerah kemukiman dan kecamatan, juga santri dari pondok pesantren yang ada di lingkungan desa kami.
Di rumah, acara persiapan makanan mencapai puncaknya. Nasi yang mengepul-ngepul dibungkus dengan daun pisang yang sudah diasapi, membentuk piramid, “bu kulah”, begitu orang Aceh menyebutnya. Setelah dibungkus, disusun dalam talam dan ditutup dengan “sange”, semacam tudung saji dengan hiasan berwarna-warni. Isinya beberapa puluh bungkus nasi setiap talamnya. Kemudian dibungkus lagi dengan kain, biasanya kain batik panjang. Lauknya, berupa gulai daging, gulai ayam, bebek, ikan (biasanya tongkol, bandeng udang) disiapkan dalam piring-piring kecil dan kemudian disusun dalam talam sebagaimana halnya nasi “kulah” tadi. Setelah ditutup dengan “sange” dan dibungkus dengan kain batik panjang, makanan tersebut siap untuk diantarkan ke meunasah. Satu rumah mengantarkan satu atau beberapa pasang “idang” tersebut ke meunasah, sesuai dengan kemampuannya. Menjelang jam sebelas siang, kaum laki-laki pulang kerumah untuk menjemput “idang” dan membawanya ke meunasah. Iring-iringan pembawa “idang” memasuki meunasah memberikan pemandangan yang unik.
Sekitar jam sebelas, tamu mulai berdatangan. Yang pertama sekali datang adalah undangan utama yang akan melantunkan Dalail Khairat. Mereka disamput Keuchik dan pemuka masyarakat lannya, dan langsung diantarkan ketempat yang disediakan. Jumlah mereka beberapa puluh orang, tua dan muda. Mereke membentuk kelompok yang berkeliling. Buku-buku Dalail Khairat dibagikan, dan merekapun bersiap untuk melantunkannya.
Dalail Khairat dilagukan orang di Aceh pada kesempatan maulid nabi dan pada hari ketujuh orang meninggal. Iramanya khas, mulai dari pelan, semakin lama semakin cepat, hingga mencapai puncaknya secara gegap gempita, dan kemudian berakhir secara tiba-tiba. Isinya adalah Nama-nama Allah SWT, Asmaul Husna dan salawat Nabi Muhammad SAW. Hampir semua penduduk desa yang laki-laki – termasuk anak-anak – bisa melagukan Dalail Khairat. Di meunasah-meunasah, secara berkala Dalail Khairat dipelajari oleh kaum laki-laki.
Selesai Dalail Khairat dilagukan, “idang” diangkat ke tengah kelompok tadi. Beberapa “idang” diatur, kemudian tuan rumah mempersilahkan tamunya untuk membuka “idang”. Beberapa orang dewasa bertindak sebagai jurubagi bergegas membuka “idang”. Nasi kulah dibagikan, seorang bisa mendapat dua atau tiga bungkus. Anak-anak duduk dengan tertib, khawatir dan segan kepada yang lebih dewasa. Nasi kulah dibuka, nasinya digemburkan untuk menunggu pembagian lauk. Sementara itu, jurubagi selesai membuka “idang” lauk pauk. Sebuah piring kecil berisi gulai daging, dibagikan sepotong seorang. Pembagiannya tidak menggunakan sendok, langsung dengan tangan. Karena tidak mencukupi, disambung dengan gulai ayam, yang karena jumlahnya juga terbatas terpaksa dicabik menjadi potongan kecil. Kemudian menyusul sambal goreng, kerupuk, dan lain-lainnya. Kadang ada juga yang menyisipkan gado-gado sebagai tambahan dalam “idang” lauk. Anak-anak saling mengintip dan membandingkan siapa saja yang mendapat cabikan gulai ayam yang lebih besar.
Setelah semua makanan yang ada dalam “idang” dibagi merata – biasanya jurubagi mendapat porsi yang lebih istimewa – merekapun makan dengan nikmat. Nasi menggunung, ditutupi lauk yang juga menggunung, tidak akan sanggup dihabiskan sekaligus. Jadi, setelah makan beberapa suap, nasipun dibungkus kembali dan dimasukkan kedalam kantong plastik yang sengaja sudah disiapkan dari rumah. “Bu meulod” begitu orang Aceh menyebutnya, akan dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga. Tempat yang kosong yang ditinggalkan rombongan pertama dengan segera diisi oleh rombongan dari desa lain yang sudah menunggu.
Ada yang istimewa dengan “bu meulod” ini. Walaupun dibagi dengan tangan – yang pasti sudah tercemari dengan berbagai bakteri pembusuk – nasi campur aduk itu rasanya sungguh enak dan tahan lama. Tidak akan basi walaupun disimpan berjam-jam. Seringkali kami waktu kecil dulu, jatah “bu meulod” yang tidak habis kami makan kami simpan lagi untuk makan malam, dan tidak akan basi.
Menjelang lohor biasanya semua tamu sudah habis. Sejumlah “idang” sengaja disisihkan untuk penduduk desa. Jadi yang ikut melaksanakan “kanduri meulod” ataupun tidak melaksanakannya karena tidak mampu pada saat itu bisa bersama-sama menikmati makan enak. Semua warga desa yang laki-laki, tua dan muda masuk ke dalam meunasah dan duduk dengan tertib. Nasi dibagikan, diikuti dengan lauknya. Kemudian semuanya makan. Sama juga halnya seperti tamu-tamu dari desa lain, tradisi membawa pulang bungkusan “bu meulod” juga dilakukan oleh penduduk desa yang melaksanakan acara Maulid tersebut. Jadi kami tidak menghabiskan semua makanan, melainkan membungkusnya dan membawa pulang ke rumah masing-masing. Walaupun di rumah sudah ada nasi dan lauk pauknya – yang disiapkan untuk perayaan Maulid – nasi campur aduk itu tetap lebih enak rasanya bagi kami.
Sudah disepakati oleh semua penduduk desa, bahwa perayaan Maulid Nabi kali ini dilanjutkan pada malam hari, yaitu memanggil Teungku untuk melakukan dakwah Islamiah. Selama konflik bersenjata di Aceh, hal-hal seperti ini sudah terlupakan. Tidak ada yang berani melaksanakan keramaian di malam hari, karena resikonya sangat besar. Teungku – yang namanya terkenal sebagai juru dakwah ulung - sudah diundang dan bersedia memenuhi undangan kami. Acaranya akan dimuali selepas isya dan akan berakhir tengah malam. Jadi, sehabis shalat lohor yang dilakukan berjamaah di meunasah, kegiatan dilanjutkan lagi di meunasah. Remaja-remaja menghias meunasah dengan berbagai macam hiasan, kebanyakan yang berwarna dan bermotif norak. Yang lebih tua melakukan apa saja, mulai dari membersihkan halaman meunasah, memasang lampu-lampu untuk penerangan, dan menyiapkan panggung tempat sang Teungku akan berpidato nanti malam, mengangkati balok-balok kayu yang akan dipakai sebagai tempat duduk pengunjung nanti malam. Tidak ada kaum hawa yang ikut dalam kegiatan ini. Sementara itu pengeras rsuara yang dipasang dipuncak menara meunasah mengeluarkan berbagai bunyi-bunyian yang berisik: pengumuman-pengumunan, lagu-lagu arab dan nasyid. Anak-anak berlarian ke sana kemari, ditingkahi hardikan orang-orang dewasa yang merasa terganggu oleh keributan yang mereka timbulkan.
Menjelang asar, persiapan sudah selesai. Sebuah pikup sudah disiapkan untuk membuat pengumuman ke desa-desa sekitar desa kami dengan pengeras suara. Anak-anak berebut mengisi bak belakang pikup. Supir pikup sudah duduk dibelakang setir, disebelahnya juga sudah siap orang dengan mikropon di tangannya. Pelan-pelan pikup bergerak keluar dari pekarangan meunasah, ditimpali dengan sorak anak-anak yang tidak kebagian tempat di bak pelakang pikup.
Sehabis magrib, warga desa kembali menuju ke meunasah. Meunasah terang benderang oleh cahaya lampu listrik. Sama seperti kegiatan tadi pagi, kaum ibu tidak ada yang terlibat langsung. Anak-anak berlarian kesana kemari, dalam kelompok-kelompok kecil.
Orang-orang berdatangan. Kaum perempuan, ibu-ibu dan anak-anak kecil mengambil tempat duduk di pekarangan meunasah, di atas balok-balok kayu yang disusun bernaris-baris untuk tempat duduk. Gadis-gadis lebih suka mengambil tempat yang terpisah. Yang laki-laki lebih suka bergerombol di luar pekarangan meunasah. Pedagang-pedagang mulai menggelar dagangan dibawah cahaya temaram lampu minyak, pedagang jagung rebus dan jagung bakar, kacang goreng dan kacang rebus, buah-buahan, kue-kue, es dan lain-lain. Pedagang asongan bergerak diantara pengunjung sambil meneriakkan dagangan yang dibawanya. Pemuda-pemuda desa setempat berkeliling untuk menjaga keamanan.
Sementara itu, tamu-tamu kehormatan sedang menikmati makan malam – dengan menu yang sama dengan tadi siang – di atas meunasah. Mereka makan pelan-pelan, menikmati setiap suap nasi yang dihidangkan – tetap “bu kulah” dan lauk-pauknya. Minumnya beragam, dan yang paling mewah menurut ukuran kami di desa – ceret-ceret yang berisi susu yang sedang dituangkan ke dalam gelas-gelas yang tersusun rapi.
Selepas shalat Isya, acara dimulai. Seorang warga desa yang bertindak sebagai pembawa acara berjalan menuju podium dengan langkah pelan dan pasti, ditangannya selembar kertas yang berisi susunan acara. Dengan mantap dia mengetukkan mikropon beberapa kali, memastikan semuanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kemudian, dengan suara pelan dia mengucapkan salam kepada semua pengunjung yang hadir.
Bergantian ketua panitia, Keuchik, unsur pimpinan kecamatan memberikan kata sambutan. Hampir semuanya menekankan pada pentingnya berlaku tertib dan menjaga keamanan selama acara berlangsung untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah itu, acara hiburan. Santri-santri perempuan yang berasal dari pondok pengajian, “dayah” kami menyebutnya, akan membawakan nasyid, tanpa iringan musik.
Acar puncak, ceramah agama dilakukan sekitar jam sembilan malam. Selama hampir tiga jam, sang Teungku akan berpidato dengan penuh semangat, menyiarkan syiar Islam. Pengunjung mendengarkan dengan khidmat – untuk itulah mereka datang kesini malam ini. Kadang kadang Teungku menyisipkan humor yang disambut penonton dengan tawa yang gemuruh. Pengunjung hanyut dalam cerita yang dibawakan Teungku – cerita kelahiran Sang Rasul ratusan tahun yang lalu di daerah yang berjarak ribuan kilometer dari desa kami – manusia utama di jagad raya ini.
Tengah malam acara berakhir. Pengunjung beranjak pulang. Pedagang-pedagang menutup dagangannya. Anak-anak kecil yang tertidur digendong orang-tuanya. Di desa-desa seperti desa kami di mana hiburan merupakan suatu kemewahan, acara-acara seperti ini merupakan sesuatu yang sangat dinantikan, apalagi setelah terhenti sekian lama karena konflik bersenjata yang melanda Aceh. Jadi, semuanya kembali pulang dengan rasa puas di hati, sambil saling bercerita tentang isi ceramah Sang Teungku, sambil menanam harapan, sampai jumpa lagi pada acara yang sama di desa lain ...

Friday, July 22, 2005

Uleele, Banda Aceh

Uleele merupakan titik paling ujung dari Pulau Sumatera, yang luluh lantak ditanda tsunami tanggal 26 Desember 2004. Hanya ada satu bangunan dan sebatang pohon yang tersisa pada titik yang terdekat dengan pantai. Yang tampak hanya kerusakan yang luar biasa. Wilayah yang dulunya merupakan pemukinam sekarang sudah menjadi laut. Sehabis bencana, hanya sekitar 10% penduduk yang selamat. Dulunya, daerah ini merupakan salah satu tujuan wisata penduduk Banda Aceh dan sekitarnya, karena pantainya yang bersih dan kebanyakan berpasir putih. Setiap sore, terutama Sabtu sore sampai Minggu pagi, pantai Uleele penuh dengan pengunjung. Sekarangpun, sekitar enam bulan setelah tsunami, masih banyak pengunjung yang ke Uleele pada sore hari.
Foto-foto berikut ini diambil pada pertengahan Juni 2005




Geumpang


Pemandangan di Geumpang

Geumpang, suatu kota Kecamatan di Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Merupakan dataran tinggi yang sejuk, dengan ikan sungai yang khas "keureulieng". Setelah tsunami melanda Aceh, jalur ini merupakan jalur darat alternatif dari Medan/Sigli ke Meulaboh melewati kota Beureunuen (karena jalur barat Banda Aceh - Meulaboh rusak total. Dengan menggunakan minibus L-300, perlu waktu sekitar 8 jam dari Banda Aceh ke Meulaboh, dan bisa lebih lama jikalau hari hujan. Harga tiket dari Banda Aceh ke Meulaboh sekarang Rp. 100.000 (sehabis tsunami pernah mencapai Rp 250.000). Banyak pemandangan khas pedesaan sepanjang perjalanan (sawah, sungai berbatu, bukit dan pegunungan). Dari Beruenuen, kenderaan akan melewati beberapa kota kecil seperti Kotabakti, Keumala, Tangse, Geumpang, Tutut sebelum akhirnya mencapai Meulaboh. Kondisi di jalan relatif aman (dalam artian kami selama melintasi jalan tersebut belum pernah ada gangguan). Ada beberapa pos TNI dan Brimob ditempat-tempat sepi sepanjang jalan.


Pemandangan di Kota Tangse

Pemandangan di Kemala

Thursday, July 21, 2005

Meulaboh, Mei 2005
Akhirnya pembangunan rumah di Meulaboh mulai dilaksanakan. Pertengahan Mei 2005, sudah ada beberapa rumah yang mulai tegak di daerah Kutapadang. Daerah tersebut sesuai dengan perjanjian dengan pemerintah ditangani oleh sebuah NGO. Awalnya, kami pikir, rumah-rumah tersebut merupakan rumah sementara yang dibangun sendiri oleh penduduk setempat. Setelah kami lihat ada plang nama di lokasi pembangunan tersebut, baru kami mengetahui siapa yang mempunyai proyek tersebut. Kualitas rumah-rumah tersebut menyedihkan, walaupun dibuat permanen tetapi terkesan asal jadi. Temboknya hanya sampai seketinggian dinding, sementara untuk menutup kekosongan antara dinding dengan atap dipergunakan tripleks. Tata ruangpun tidak diperhatikan. Arah muka rumah simpang siur dan tidak beraturan. Kualitas pintu dan kusen tidak standar. Belum lagi ditempati, pintu sudah ada yang mengkerut sehingga menjadi renggang. Kabarnya, karena kualitas rumah tersebut yang sangat tidak standar, pemilik tanah (otomatis menjadi pemilik rumah tersebut) menjadi tidak suka dan melakukan protes melalui kepala desa dan camat. Kepala desa setempat menjadi sangat terpukul dengan kasus ini dan dengar-dengar dia ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Isu lain yang beredar di kalangan NGO: rumah-rumah tersebut akan dibongkar dan dibangun ulang.

Rumah yang dibangun di daerah Kuta Padang

Rumah-rumah yang dibangun di daerah Suak Ribee jauh lebih baik. Dengan tipe sekitar 45-an, rumah-rumah tersebut dibangun mengikuti standar rumah tumbuh. Rumahnya terkesan mungil.

Sementara itu, CRS belum lagi mulai membangun.
*********
Tim kami bertambah lagi, seorang Inggris yang berasal dari lokasi Wales. Namanya Jamie Ashe, asli Irlandia dengan logat Wales kental yang sangat sulit dimengerti (bagi yang sudah menonton film “Devils Own” yang dibintangi Harrison Ford dan Brad Pitt mungkin mengetahui tentang logat Wales). Setiap hari dia selalu keringatan, tidak perduli kapanpun. Kayaknya dia masih sulit unutk menyesuaikan diri dengan cuaca panas Meulaboh. Orangnya cukup kocak, dengan joke-joke Irlandianya yang cukup lucu. Sekali saya mengawani dia sekaligus menjadi penerjemah di lapangan. Dia cepat akrab dengan penduduk, tidak sungkan untuk berbaur dengan mereka. Dalam hal pekerjaan, dia sangat teliti. Kami pernah berdiskusi seru mengenai pemasangan pompa kecil untuk lokasi barak pengungsi. Perdebatan merembet ke soal efisiensi pompa, titik operasi optimum pompa, konsumsi listrik yang paling hemat, dan ukuran pipa yang sesuai, segala hal yang kita kerjakan kalau ada pemasangan pompa baru di WTD. Dia mengeluarkan buku tentang pompa yang cukup tebal, saya mengeluarkan segala yang saya punya, termasuk segala macam rumus yang sengaja saya simpan di komputer saya. Dia mengatakan supaya flownya optimum, ukuran pipa harus diganti. Saya bertahan dengan pendapat saya, untuk mengatur flow tidak perlu mengganti pipa, cukup dengan memasang keran pada output pompa dan sebuah pressure gauge. Dengan mengatur keran dan mengamati tekanan, berdasarkan grafik performa pompa, kita bisa mendapatkan flow dan tekanan yang optimum. Sementara kami berdebat seru, dua orang kawan saya yang lain sudah selesai memasang pompanya dan menghidupkan pompa tersebut. Ternyata kemudian di lapangan tidak ada masalah apa-apa dengan ukuran pipa yang disarankan pada manual pompa tersebut, karena memang itulah titik optimum operasi pompa tersebut.
Sekali waktu saya bertanya padanya, kenapa dia mau ke Aceh jauh dari keluarganya untuk menjadi pekerja sosial, padahal dia bisa bekerja di Inggris dengan penghasilan yang jauh lebih baik (dia master hidro-geologi). Jawabannya bahwa di Inggris walaupun gajinya jauh lebih besar dibandingkan di sini, pengeluarannyapun sangat besar. Pajak menghabiskan sampai 40% gajinya. Belum lagi yang lain-lainnya. Di sini, semua CRS yang membayari, jadi penghasilannya tersimpan semua. Nah!

Jamie Ashe


Meeting-meeting internal CRS terkesan menggelikan. Ada sekali waktu diumumkan bahwa nanti sore ada meeting umum, dan semua yang bergabung dengan CRS harus ikut, tanpa kecuali. Tahunya, hanya seorang pembesar CRS datang dari Bangkok (direktur program Asia Tenggara) yang ingin menguncapkan Halo untuk semua staf. 5 menit, selesai. Cuma itu. Meeting departemen kami (Water and Sanitation) lebih konyol lagi. Meeting berlangsung dari jam delapan pagi, diketuai oleh manager department, Ross Tomlinson. Sampai jam dua belas belum ada tanda tanda-tanda bahwa meeting akan selesai, sementara kesimpulan meeting belum diketahui. Semua sudah pada gelisah karena lapar. Setelah sedikit protes, diputuskan bahwa meeting akan dilanjutkan besoknya pada jam yang sama untuk membahas apa-apa yang belum dibahas (padahal isi meeting cuma omong kosong tentang segala sesuatu yang tidak terkait dengan agenda meeting). 4 jam terbuang sia-sia tanpa ada hasil. Esoknya juga berlangsung hal yang sama. Cuma, kali ini kami lebih siap. Kami membawa segala macam makanan ringan yang bisa kami ambil dari dapur, dan bergelas-gelas minuman segar. Setelah selesai berpidato tentang proyek jangka panjang dan jangka pendek, dibukalah bagian tanya jawab. Pertanyaan dari anggota tim kebanyakan menjurus kepada protes kebijakan-kebijakan atasan kami tersebut. Tentang ketidak transparan mengenai anggaran, fleksibilitas kerja, segala keputusan harus melalui dia (pernah ada yang menanyakan jam berapa kepada kawan saya. Oleh kawan saya dijawab tanya si Ross saja, karena semua keputusan ada di tangan dia). Kawan saya dari tim Water Quality Monitoring protes keras: ceritanya CRS merekrut orang dari berbagai disiplin ilmu untuk menjadi sebuah tim. Tetapi kenapa kami diperlakukan seperti orang yang tidak tahu apa-apa? Kenapa kerja kami dari awal sampai selesai harus selalu harus begini, selalu harus begitu? Bukankan cukup kami dikasih tahu kerangka kerja saja, lalu biar kami yang menyelesaikannya? Terhadap protes seperti ini si Ross cuma bisa termenung dan memberi jawaban yang tidak memuaskan.
Saya sendiri, tidak keberatan dengan metode kerja seperti itu. Biarkan saja berjalan seperti adanya. Dibilang pasif juga tidak, karena sekali-sekali saya melakukan protes juga, tetapi tidak dalam meeting. Dulu, rencananya saya akan ditempatkan di lapangan, kenyataannya sekarang saya berkutat di ruangan 2.5 x 2.5 m melakukan analisa air. Tidak ada masalah, karena toh saya bisa menikmatinya. (Berada di lapangan lebih merdeka, dan bisa langsung merasakan kedekatan dan kebutuhan masyarakat). Bekerja juga tanpa beban apa-apa, toh saya disini karena semi-volunteer (karena walaupun kerja sosial, saya tetap dibayar). Lagian, saya bisa keluar kapan saja
.

Ross Tomlinson, bos Watsan CRS Meulaboh

Akhir Mei 2005 NGO Mercy Corps dan Dewan Kesenian Aceh Barat (DEKAB) melaksanakan pameran lukisan dan lomba lukisan anak-anak di Hotel Meuligoe di Meulaboh. Pembukaannya cukup meriah, dihadiri oleh kalangan pemerintah dan NGO-NGO yang berada di Aceh Barat. Tema pamerannya adalah “Meulaboh made famous by tsunami” atau Meulaboh terkenal oleh tsunami. Kebanyakan lukisan yang dipamerkan bercerita tentang kejadian tsunami tanggal 26 Desember 2004. Lukisan-lukisan tersebut membangkitkan kenangan buruk bagi mereka yang mengalami kejadian tersebut atau mereka yang kehilangan keluarga dalam kejadian tersebut. Walaupun saya tidak terlalu menyukainya, foto-foto lukisan tersebut saya ambil sehingga kawan-kawan di Perawang bisa turut menikmatinya. Lukisan termurah dijual seharga Rp 2000000, sedangkan yang termahal adalah Rp 20000000. Ternyata lukisan yang termahal tersebut milik istri camat setempat. Rencananya, 50% dari hasil penjulana lukisan tersebut akan didonorkan untuk korban tsunami. CRS sendiri membeli sebuah lukisan (saya tidak tahu harganya).

Bule di acara Maulud di Cot Seulamat


Kemasan makana untuk acara Maulud ("Idang")

Mesjid di Kecamatan Samatiga akhirnya selesai direhabilitasi oleh CRS. Masyarakat setempat mengadakan semacam syukuran atas selesainya perbaikan mesjid tersebut. CRS diundang, acaranya berlangsung sangat sederhana dan penuh keakraban. Staff CRS makan seperti musafir yang sudah berminggu-minggu tersesat di gurun, termasuk bule-bulenya. Makananbya memang enak-enak walaupun sederhana (bagi saya yang jarang makan kepiting jelas sekali!). Penduduk setempat Cuma tersenyum-senyum saja melihat polah mereka. Pulang dari syukuran perbaikan mesjid, kami singgah ke desa Cot Seulamat, dimana sedang berlangsung perayaan Maulid Nabi. Ditengah suasana keprihatinan, acara maulud nampaknya seperti biasa pada kondisi normal: hidangan makanan yang dikemas dalam tempat yang tingginya hampir dua meter sehingga untuk membawanya dari rumah harus digunakan pikup ataupun becak. Makanannya luar biasa, semua lauk berbahan daging ada (standar di Aceh, makan daging menjadi kewajiban beberapa kali dalam setahun: megang bulan puasa, megang hari raya aidil fitri, megang hari raya idul adha dan perayaan maulud Nabi). Nasinya adalah “bu kulah”, nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk piramid. Luar biasa, makan beramai-ramai. Ketika kami sampai kesana, dibawah tenda besar kelompok-kelompok desa yang diundang sedang menyanyikan zikir dan salawat Nabi. Semua kelompok berlomba-lomba dalam hal kekerasan suara dan dinamika gerak tubuh (seperti tari saman), sehingga hampir tidak terdengar lagi apa yang dinyanyikan. Yang terdengar hanya gemuruh suara manusia yang berirama. Ada beberapa bule perempuan yang ikut menonton. Mereka memakai jilbab dan baju kurung.

Syukuran Mesjid di Pucok Lueng, Samatiga


Pulang dari acara tersebut, kami langsung ke lapangan bola, untuk bertanding melawan Mercy Corps. Kekenyangan makan kepiting dan nasi mauludan, dengan mudah dikalahkan Mercy Corps 7-0, walaupun si Jamie yang katanya jago bola sampai terjulur lidahnya mengejar bola dimanapun bola berada (!). Mungkin kali yang akan datang kami akan seri kalau melawan IWAPI.

Meulaboh, Mei 2005
9 Mei 2005. 12:30 malam. Angin kencang disertai hujan deras kembali melanda kota Meulaboh. Suara angin yang menderu-deru, disertai dengan hantaman butiran hujan ditambah dengan suasana gelap karena PLN mati membuat suasana menjadi mencekam. Kami yang tinggal di Guest House CRS no 4 dibangunkan oleh sekuriti supaya berhati-hati. Ini adalah yang kedua kalinya semenjak tsunami badai melanda kota Meulaboh. Kami berkumpul diteras rumah, mengamati suasana. Suara mesin pembangkit listrik yang dihidupkan oleh salah seorang sekuriti mengalahkan deru angin (suara mesinnya sangat bising). Terdengar bunyi yang keras, dan dalam cahaya senter kami menengok parabola di rumah tetangga depan terputar oleh angin yang kencang, sebelum akhirnya terkulai. Saya terpikir akan mereka yang harus melewati hari-harinya di tenda-tenda, dalam suasana badai yang seperti sekarang ini. Apalagi ada kekhawatiran akan datangnya air laut, karena sekarang ombaknya lagi besar (tadi sore saya ke pantai di Kuta Padang, dan mengamati ombak-ombak yang tingginya kadang mencapai ketinggian sampai satu setengah meter).





Kantor CRS Meulaboh

CRS Meulaboh Field Office merekrut orang dari berbagai bangsa. Semuanya kebanyakan berlatar belakang pekerja social yang sudah malang melintang di dunia LSM. Direktur kantor, Berhe Twelodeberhan, berasal dari Sudan, seorang pria setengah baya yang botak (tetapi saya tetap yakin bahwa rambutnya adalah keriting, seandainya ada). Wakilnya, seorang wanita beranak tiga yang berasal dari El Salvador yang kini menetap dan sudah menjadi warga Negara Amerika Serikat. Dia sangat peka dengan keadaan. Saya sudah dua kali mendampingi dia mengunjungi lokasi kerja CRS dan ke kamp-kamp pengungsi, sebagai penerjemah tidak resmi. Menengok anak kecil, dia langsung mencoba untuk menyentuh. Banyak pertanyaan yang diajukan langsung (melalui saya atau orang lainnya) mengenai segala hal. Keluarga tersebut sudah mendapat bantuan apa saja, apa yang masih kurang, anak-anak sekolah dimana, dan seterusnya. Atasan saya langsung, manajer Water and Sanitation Department, Ross Tomlinson, berasal dari Inggris. Dia adalah seorang pria kurus berkacamata berumur tiga puluhan, yang alergi dengan segala hal. Sebentar-sebentar dia mengeluarkan saputangannya yang nyaris kayak handuk untuk menyapu hidungnya. Dengan dia, saya seperti bicara dengan James Bond 007. Logat Inggrisnya sangat kental, walaupun dia sudah bertahun-tahun menghabiskan waktu di luar negaranya. Dalam hal kerja, menurut saya dia agak otoriter. Sudah hampir dua bulan saya bekerja sama dengan dia (dan tim lainnya), hampir tidak pernah dia meminta pendapat anggota tim. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya mengenai pengadaan alat-alat laboratorium yang memicu perdebatan sengit (karena saya dang kawan dari tim Water Quality Monitoring mencoba mengajukan pengadaan spektrofotometer yang lebih bagus dari yang dia pilih, dengan harga yang lebih murah).
Ada juga staff perempuan yang berasal dari Vietnam, yang mengungsi keAmerika Serikat sewaktu masih bocah dikarenakan perang. Sekarang dia dan adik laki-lakinya sudah menjadi warga Negara USA. Berdasarkan pengalaman masa kecilnya yang sangat memprihatinkan, dia memutuskan menjadi pekerja social membantu mereka yang membutuhkan dikarenakan bencana, baik karena alam ataupun karena manusia. Dia sudah menjalankan banyak misi di banyak Negara (kebanyakan Negara berkembang yang miskin).


Ada juga staff yang berasal dari Australia, dari New Zealand, dari Afrika Selatan, dari India, dari Filippina dan juga dari Amerika Serikat. Saya sering berkomunikasi dengan mereka, selain untuk mencoba mempelajari bahasa Inggris dalam berbagai logat dan dialek, juga mendalami hal-hal lainnya yang mereka ahli di dalamnya.

Tim kami, Water and Sanitation juga terdiri dari berbagai suku. Tiga orang berasal dari suku Batak, bermarga Tarigan, Sebayang dan Haloho. Si Tarigan setelah sebulan bergabung memutuskan untuk berhenti. Yang saya dengar, ada ketidak cocokan antara dia dengan manajemen CRS Indonesia. Empat orang lainnya berasal dari Jawa. Hanya saya seorang yang berasal dari Aceh. Satu orang beragama Khatolik, tiga orang beragama Kristen, tiga orang beragama Islam dan satu orang beragama Budha.


The Watsan Boys, Mei 2005

Sekali waktu saya berbincang-bincang dengan Carolina Castrillo, wakil direktur CRS Meulaboh yang berasal dari El Salvador. Negara dia adalah Negara berkembang yang miskin. Dengan sekitar 40% penduduk miskin, dan pertikaian politik yang terus berlangsung, banyak warga Negara tersebut yang beremigrasi ke Negara-negara lain. Favorit mereka adalah Amerika Serikat. Banyak yang berhasil di rantau, menjadi warga Negara di tempat yang baru, dan tidak pernah kembali ke negaranya lagi. Perang saudara terus berlangsung, rata-rata setiap hari sembilan orang mati terbunuh. “Aneh rasanya. Saya merasa tidak aman di negeri saya sendiri. Di Aceh ini, yang juga tengah bergolak, saya justru merasa aman”, katanya. Saya juga bercerita mengenai kondisi Aceh yang kondisinya carut marut berkelanjutan, ditambah dengan bencana dahsyat yang lalu.

Mulai tanggal 9 Mei 2005 acara makan siang di kantor ditiadakan. Selama ini, semua staff mendapat jatah makan siang di kantor. Bagi mereka yang tidak sempat pulang pada jam makan siang dikarenakan lokasi kerjanya yang jauh, diganti dengan uang makan. Setiap makan siang terjadi hukum-semi-rimba. Siapa cepat datang dan duluan memegang piring, dia akan mendapat jatah yang paling baik. Yang terlambat, harus berpuas diri dengan sisa-sisa makanan yang tertinggal dan beberapa lembar sayur yang berenang-renang dalam kuah. Kadang jatah makan untuk para bulepun dikipas juga oleh makhluk-makhuk kelaparan yang buas-buas (makan untuk bule/orang asing ditempatkan di meja terpisah, walaupun tidak ada yang melarang untuk makan di situ). Saya sendiri juga tidak jauh berbeda dengan mereka. Setelah beberapa hari pada masa awal mencoba bersikap sopan sambil mengintai situasi, setelah itu saya selalu berusaha datang cepat pada saat jam makan siang. Setelah memenuhi piring dengan segala hal yang saya perlukan untuk memenuhi perut lapar, mengisi gelas dengan air dingin yang tersedia, kami menuju pojokan yang aman dikantor untuk menikmati makan. Dari jauh kami bisa mengamati gerombolan yang berebut saling duluan mengambil makanan di meja makan di dapur.

Akhirnya alat-alat laboratorium air kami tiba. Terbungkus dalam satu kotak karton luar biasa besar, alat itu datang dari Medan dengan truk. Rencananya, alat tersebut akan ditempatkan di Dinas Kesehatan Meulaboh, yang nantinya akan kami operasikan untuk kepentingan siapapun yang membutuhkan, sambil melatih pegawai Dinas Kesehatan untuk mengoperasikan alat tersebut. Seperti saya duga sebelumnya, alat tersebut hanya bisa menganalisa parameter-parameter kimia dalam air dalam data persentase transmitansi (bukan dalam bentuk angka pasti seperti yang kita kenal). Misalnya, kandungan besi dalam air bacaannya adalah 68% Untuk mengetahui angkanya harus lihat tabel dulu. Entah boss kami sudah lupa dengan apa yang dia ucapkan sebelumnya, dia menanyakan tentang alat yang bisa menganalisa parameter tersebut dalam bentuk angka pasti. Kami tunjukkan kembali gambar spektro Hach DR 2400 yang kata dia kurang bermutu. “Never mind”, katanya dengan muka merah dan meninggalkan kami.

Setiap Jumat sore Unicef mengadakan meeting koordinasi dengan semua NGO dan lembaga pemerintah yang terkait dengan masalah air dan sanitasi. Saya sudah dua kali menjadi penerjemah di meeting tersebut karena atasan saya yang memimpin meeting. Namanya juga meeting rutin (ingat saja meeting Water Saving Program di tempat kita setiap Rabu pagi), hanya beberapa minggu pertamanya saja suasananya serius.

Masalah yang paling hangat saat ini adalah masalah sumur bor. Hampir semua NGO yang punya sektor Water and Sanitation pasti punya proyek pengadaan sumur bor untuk masyarakat. Mercy Corps misalnya, sudah melubangi 25 tempat di wilayah Aceh Barat dan akan terus bertambah. CRS sendiri seharusnya juga sudah membuat banyak lubang, tetapi karena terlalu banyak berpikir sebelum memutuskan, area kerjanya dibor NGO lain, sehingga sampai sekarang baru tiga sumur bor yang sukses dilaksanakan. NCA dan CWS (dari Norwegia) juga sudah banyak membikin sumur bor. Karena masalah-masalah bor tersebut (menurut pemerintah, itu pengeboran liar), pemerintah akhirnya melakukan penertiban. Semua proyek pengeboran harus mendapat izin (tetapi isi suratnya adalah rekomendasi) dari Bupati Aceh Barat melalui Dinas Pertambangan. Surat permohonannya bagi orang asing isinya lucu: “Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama ______, tempat/tanggal lahir ______, pekerjaan _______, alamat_________,dengan ini memohon izin untuk melakukan pengeboran sumur di ____ dan seterusnya”. Kira-kira seperti itulah.

Dikantor CRS, fasilitas komunikasi telepon melalui Telkom fleksi dan telepon satelit. Akses internet melalui saluran sendiri dan wireless dengan bandwidth yanng sangat besar (saya pernah mendownload file dengan kecepatan 1024 kbps!). Rata-rata setiap staff mencapat fasilitas notebook yang cukup lumayan. Saya mendapat notebook HP DV1032AP, dengan spesifikasi yang bagus: intel mobile centrino, DVD drive dengan CD RW, card reader untuk SD, XD, MMC dan CF card, USB, WiFi, dsb. Akses internet tersedia untuk setiap komputer. Yang terjadi dikantor selain pekerja serius yang betul-betul bekerja adalah ini: jam 10:00 pagi sekali waktu pada saat semua sibuk dibelakang meja dengan komputer menyala, iseng-iseng saya mengintip kerja orang-orang. Kawan saya satu Tim (water quality monitoring) sedang mengirimkan lamaran kerja melalui e-mail ke salah satu perusahaan di Jakarta. Atasan kami, Ross, sedang mengirim e-mail pribadi ke kawannya entah di mana. Kawan lainnya sedang berusaha mengakses situs porno. Yang lainnya sedang chatting dengan kawan maya. Seorang Staff Department Relief sedang melakukan internet banking. Direktur kantor nampaknya sedang merenungi sesuatu yang sangat serius, tetapi siapa yang tahu entah apa yang sebenarnya yang sedang dipelototinya. Saya sendiri? Seperti biasanya. Mengakses situs-situs yang berhubungan dengan hobi saya di internet: fotografi dan audio, buku gratis, mengedit foto-foto yang saya ambil, dan juga mengirim e-mail ini. Just another day. Sama saja seperti biasanya dalam hari-hari kerja. Sekitar dua jam melakukan pekerjaan yang sebenarnya, sisanya untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kerja.
Begitu juga dengan telepon. Mulanya, setiap orang setiap saat (termasuk saya) minta voucher isi ulang (simpati dan mentari) ke bagian keuangan. Padahal, kalau di kantor pakai telepon kantor. Kemudian, setiap dua minggu minta voucher. Karena keadaan menjadi agak liar, keluarlah keputusan dari Bagian Keuangan: setiap orang hanya boleh meminta voucher isi ulang sebanyak Rp 100000 setiap bulan. Itupun hanya untuk orang lapangan. Orang kantor silahkan pakai telepon kantor untuk keperluan dinas. Di kantorpun, kalau ada yang memakai telepon pasti dibatasi untuk keperluan dinas. Tetapi, kawan saya selalu punya cara untuk mengatasinya. Dia menelepon ke kantor dengan HPnya dan minta bicara dengan dia sendiri. Petugas administrasi membawa telepon ke ruangan laboratorium kami, dan kawan itupun menelepon kemana-mana dengan nyaman.

Laboratorium sederhana kami pindah lagi. Kalau sebelumnya ditempatkan di ruangan server di kantor utama (yang spesial, karena ruangan itu adalah satu-satunya ruangan yang menggunakan AC) sekarang pindah ke semacam rumah petak di bagian belakang kantor utama. Karena posisinya terjepit di antara petak-petak lainnya, otomatis ruangan kami tidak punya jendela. Ruangan 2 ½ m x 2 ½ m kami jejali dengan segala hal: alat-alat laboratorium, sebuah filing kabinet berukuran sedang, dua buah meja untuk tempat analisa, sebuah meja kecil untuk kami pakai berdua, plus dua orang manusia. Di salah satu pojokan kami onggokkan autoclave (alat stelilisasi instrumen laboratorium) yang cukup menyita ruangan. Jaringan air bersih, tidak ada. Kami membawa air (untuk cuci-cuci) ke lab kami dengan menggunakan ember. Untuk keperluan pure water, kami buat sebdiri dengan deionizer-water bag. Alatnya berupa segenggam resin kation dan anion yang dimasukkan ke dalam kantong plastik, yang diisi dengan air biasa, kemudian diguncang selama beberapa menit. Hasilnya adalah air dengan conductivity sekitar 10 us/cm. Padahal airnya kami ambil dari sumur bor yang conductivitynya sangat rendah, hanya sekitar 50 us/cm.
Akhirnya lab kami beroperasi juga. Di tengah sesaknya ruangan, kami melakukan analisa perdana untuk air sumur bor dari daerah Kecamatan Meureubo. Airnya keluar sendiri dari tanah dalam jumlah yang cukup besar, tidak perlu dipompa. Padahal daerah tersebut adalah daerah dataran yang berjarak hanya sekitar 2 km dari laut. Kedalaman sumur hanya sekitar 40 m. Hasil analisa cukup bagus, parameter-parameter dasar semuanya masih dalam standar kualitas air minum. Kandungan arsen tidak ada sama sekali. Untuk analisa mikrobiologi kami belum bisa melakukannya karena keterbatasan daya listrik. Sekali kami hidupkan autoclave yang butuh power 2000 wat, listrik langsung mati. Kami tes lagi, padam lagi. Semua orang protes diluar lab kami. Akhirnya diambil kesimpulan, daya ke tempat tersebut akan diperbesar, rencananya selesai dalam dua hari mendatang.

Laboratorium analisa air sementara Watsan CRS


Sekali waktu kami diluar, pemilik toko pecah belah menawarkan souvenir ke pada kami: rekaman video waktu kejadian tsunami di Meulaboh. Saya bilang saya tidak mau, karena saya belum sanggup untuk menyaksikannya. (saya sudah pernah menonton video serupa di komputer di kantor CRS selama tiga menit, selama tiga hari saya masih terasa beratnya). Terus dia bilang yang ini seru. “Sudah pernah lihat mayat yang tercampak ke kabel listrik dan pohon?” katanya. Kawan saya bilang dia tidak ingin melihat mayat orang Meulaboh, yang ingin dia lihat adalah orang-orang Meulaboh yang hidup. “Ini bagus Pak, untuk kenang-kenangan kepada keluarga”, tambah penjual tersebut. Kawan saya mengatakan dengan keras, bahwa kenangan yang akan sangat berarti bagi dia adalah senyum terimakasih orang Meulaboh yang bisa dia bantu. Penjual tersebut kehabisan kata dan langsung terdiam.

Mendorong kenderaan di tanjakan Glee Kuburan Aneuk Miet

Perjalanan Sigli – Meulaboh sangat melelahkan. Butuh 6 jam dengan menggunakan minibus L-300, dengan ongkos bervariasi. Kadang harga tiket Rp. 110.000, tetapi sering saya membayar Rp. 80.000 atau Rp. 90.000. Waktu tempuh bisa lebih lama jika hari hujan, karena ada sekitar 20 km jalan berlumpur dengan tanjakan-tanjakan curam yang menjadi licin dan susah dilalui kenderaan. Kemarin kami terjebak di lokasi tersebut. Untuk mobil yang saya tumpangi sebenarnya tidak menjadi masalah, karena posisi kami menuruni bukit. Tetapi banyak mobil yang antri untuk mendaki, dan harus satu persatu karena takut selip. Tanjakan yang paling tinggi adalah Gle Jeurat Aneuk Miet (bahasa Aceh untuk Bukit Kuburan Anak Kecil), tempat yang dianggap orang-orang sebagai tempat keramat. Sering orang bersedekah di situ, ataupun berdoa memohon sesuatu. Ada-ada saja. Satu versi cerita yang saya dengar mengenai tempat tersebut adalah kisah tentang keluarga yang berakhir tragis. Suatu ketika jaman dahulu (tidak disebutkan kapan), seorang suami meninggalkan istrinya yang sedang hamil (tidak disebutkan daerahnya, tetapi saya perkirakan sekitar Kabupaten Pidie) untuk merantau mengadu nasib ke Meulaboh. Berbulan-bulan suaminya tidak memberi kabar ataupun mengirim belanja sampai akhirnya anaknya lahir. Setelah anaknya berumur 6 bulan, istrinya menyusul ke kota Meulaboh melalui gunung tersebut. Dia sampai di Meulaboh dan mendapati suaminya sudah kawin lagi. Mereka bertengkar (sudah pasti) dan suaminya memaksa dia untuk pulang kembali ke asalnya, dan akan diantar suaminya. Sesampai di gunung tadi, suaminya berubah pikiran. Entah setan apa yang melintas, dia membunuh istri dan anaknya dan dikuburkan di tempat tersebut, kemudian dia kembali ke istri mudanya di Meulaboh. Saudara istri tuanya bermimpi mengenai kejadian tersebut dan mereka ke Meulaboh untuk mencari suami tersebut. Bersama-sama mereka kegunung tersebut, dan kuburan tersebut dibongkar karena mayatnya mau dibawa ke kampung. Mereka mendapati mayat anak tersebut sudah raib, padahal kuburannya masih utuh tidak terganggu. Sedangkan mayat ibunya dalam keadaan utuh, tidak ada lagi bekas-bekas luka pada saat dia dibunuh suaminya. Akhir cerita, suaminya mendapat ganjarannya dan menjadi gila, cerita berkembang dan hal itu dianggap sebagai kejadian yang luar biasa. Cerita semakin berkembang sehingga tempat tersebut sekarang dianggap sebagai tempat keramat. Kebenaran ceritanya, wallahualam bissawab.


Kenderaan di Glee Kuburan Aneuk Miet


Meulaboh, Maret - April 2005. Tak terasa sudah lebih sebulan saya meninggalkan Perawang. Cuti selama setahun memang menyenangkan, menemukan suasana baru, lingkungan baru dan juga kawan-kawan baru. Tetapi, dibalik itu juga ada kepiluan setiap kali mengunjungi kamp-kamp ataupun barak-barak pengungsi korban tsunami.Hari libur ataupun hari Minggu, saya isi dengan keliling Aceh Barat untuk sekedar mengenal lingkungan. Biasanya saya bersama dengan kawan sekerja dengan mengendarai sepeda motor yang kami pinjam secara paksa dari kantor CRS.
Ini adalah salah satu sudut kota Meulaboh, Jalan Nasional. Sudah mulai nampak orang-orang yang berjualan. Dulu pada masa-masa awal sehabis tsunami, lingkungan ini penuh dengan sampah dan timbunan lumpur yang nampaknya perlu waktu yang sangat lama untuk membersihkannya. Kenyataannya, hanya beberapa bulan sehabis tsunami, lingkungan tersebut sudah kembali bersih dan (hamper) seperti sedia kala (kecuali bangunan-bangunan yang hancur dan belum dibangun). Kebanyakan yang dijual dipinggir jalan ini adalah perlengkapan lapangan praktis seperti topi, tas, sandal gunung, kacamata dsb untuk bule-bule dan orang-orang lokal yang sok bergaya bule.
Harga-harga bukan main gilanya di Meulaboh. Yang terasa sekali harga makanan dan harga minumam. Jika dulu makan nasi dengan lauk kari bebek khas Aceh cukup dengan Rp. 3500-4000 (kata orang), sekarang dijual dengan harga Rp 7000-8000. Minum teh es harus keluar duit Rp 3000 (di Perawang saja paling Rp. 1500). Makan mi aceh yang dulu cuma Rp 3000, sekarang dengan sombongnya pedagang minta Rp. 5000. Mau makan silahkan, tidak mau ya nggak apa-apa. Toh nantinya akan ada yang beli juga. Bukan sekali dua kali kami berselisih paham (lebih tepatnya bertengkar) soal harga ini. Soalnya, misalnya dua hari yang lalu makan nasi goreng dengan teh es cuma keluar duit Rp 6000, hari ini menjadi Rp. 8000. Diprotes begitu, pedagangnya cuma cengar-cengir saja sambil mengembalikan Rp 500.Minggu kemarin, kami diundang ke pesta turun mandi bayi salah seorang relawan CRS di Kecamatan Meureubo. Agak kontras juga, pestanya berlangsung secara sederhana ditengah keprihatinan, karenan lingkungan tersebut parah keadaanya karena dekat dengan laut. Rumah yang mengadakan pesta hancur total dihajar tsunami, dan nampaknya baru dibangun kembali secara tergesa-gesa. Anaknya adalah perempuan, pada saat tsunami tanggal 26 Desember 2004 baru berumur 7 hari dan terpaksa menjalani beratnya hidup dalam pengungsian. Dibelakang rumah tersebut ada sungai yang dipisahkan oleh semacam daratan lainnya, baru kemudian laut lepas. Lokasinya cantik juga (walaupun luluh lantak dilanda tsunami pada tanggal 26 Desember 2004), seperti yang nampak pada foto.

Walaupun hari Minggu, LSM Mercy Corps tetap mengadakan kegiatan untuk melakukan semacam kerja bakti (gotong royong), yang dibayar tentunya. Kali ini yang kami temui adalah ibu-ibu yang kehilangan tempat tinggal karena tsunami dan sekarang tinggal di barak-barak penampungan sementara. Mereka kerja berpindah-pindah, sesuai dengan program kerja Mercy Corps. Foto ini kami ambil pas dibelakang rumah tempat pesta turun mandi bayi tadi. Yang laki-laki adalah karyawan CRS yang numpang nampang. Yang bertopi hijau adalah coordinator Mercy Corps yang mengawasi pelaksanaan kegiatan tersebut.
-------------------------
Pantai-pantai di Meulaboh sangat indah (kata orang Meulaboh) dulunya. Saya sendiri belum pernah ke Meulaboh sebelumnya, tetapi kayaknya kabar tersebut memang benar. Saya mengambil beberapa gambar di pantai Ujung Kalak, yang kondisinya hampir tidak adah rumah yang tersisa. Foto berikut adalah dulunya kawasan pemukiman yang padat di kawasan Ujung Kalak. Sekarang kosong melompong, hanya tersisa bekas-bekas puing runtuhan bangunan yang sudah dibersihkan, dan plang-plang nama yang menunjukkan tanah di situ kepunyaan siapa.

Kebiasaan lama susah dirubah. Kalau sudah merasa suntuk dengan rutinitas kegiatan (karena seharian tidak kelapangan misalnya), kami kadang-kadang ‘melarikan diri’ juga, mencari jalan untuk menghilang dari kantor. Seringkali kami keluar dengan menggunakan sepeda motor (kalau mau pakai mobil harus jelas tujuannya) dan keliling mencari tempat yang nyaman untuk santai. Sesekali kepantai, tetapi lebih sering kesungai yang berpasir (kira-kira 20 menit dari Meulaboh kearah Tutut). Suasananya nyaman, dengan angin yang cukup terasa sejuk (Meulaboh lebih panas dari Perawang). Kebetulan, kawan saya satu tim (saya ditempatkan di bagian Water and Sanitation, dengan sub tim Water Quality Monitoring) mirip-mirip dengan kawan-kawan di Perawang yang setiap saat siap diajak ke warung Centang di Pelabuhan 1. Ini adalah suasana keseharian kami. Sehari-hari saya kerja dengan menggunakan kaos dan sandal jepit, atau sesekali sandal gunung. Jarang sekali saya menggunakan sepatu, kecuali kalau ada rencana ke kantor pemerintah.
Kawan saya satu tim ini bernama Juanto Haloho, berasal dari Pematang Siantar. Dia tamatan MIPA Mikrobiologi dari USU. Sebelumnya dia memang pernah bekerja di NGO lain sebelum bergabung dengan CRS.

Pekerjaan kami saat ini adalah sedang mengadakan laboratorium pengawasan kualitas air, yang nantinya akan diserahkan ke pemerintah (Dinas Kesehatan). Kualitas air yang dipantau mencakup mikrobiologi dan kimia. Alatnya sederhana dan portable, dibuat oleh Wagtech (Inggris). Merek tersebut kurang terkenal dan kayaknya hanya dipakai di kalangan terbatas, misalnya NGO-NGO yang bergerak di bidang sosial. Untuk analisa kimia, alat tersebut menggunakan perbandingan visual yang harus diamati dengan menggunakan mata, yang tingkat kesalahannya relative besar. Sebenarnya, saya sudah menyarankan bule yang menjadi atasan saya untuk membeli spektro Hach seperti yang kita punya (Hach 2010) yang cukup portable. Tetapi dia mungkin cukup bandal untuk menerima saran orang lokal, jadi dia mengemukakan alasan kenapa dia memilih alat tersebut. Katanya di Indonesia tidak ada alat analisa air yang cukup lengkap dan tidak ada yang sebaik yang dia pilih tersebut. Kenyataannya, di Medan banyak dijual spektro merek Hach atau yang lainnya, yang kualitasnya jauh diatas alat Wagtech tersebut, lengkap dengan semua reagen yang diperlukan. Sementara alat tersebut (Wagtech) belum ada suppliernya di Indonesia. Kami sempat berdebat sengit juga mengenai hal tersebut, tetapi katanya keputusannya sudah dibuat dan pembelian sudah berlangsung. Nampaknya sekarang ada persaingan yang tidak nampak antar NGO yang bekerja di Meulaboh. Mereka saling berebut lahan kerja. Bahkan ada juga yang langsung memasang plang nama ditempat-tempat tertentu supaya tidak diserobot pihak lain. Entah sampai kapan hal ini bisa bertahan, karena diantara pekerjanya pasti ada ego juga untuk menonjolkan diri dan organisasinya. Tindakan NGO berebut lahan ditengahi pemerintah dengan membagi lahan kerja bagi NGO-NGO tersebut. Kejadian ini berlangsung di wilayah Aceh Barat sampai berulang kali masuk berita surat kabar. Saya tidak tahu apakah hal ini juga terjadi di wilayah Aceh yang lain.




-------------------
Ada yang mengherankan di sini dan tidak tahu apakan hal tersebut ada hubungannya dengan tsunami. Di pantai Meulaboh dan sekitarnya gampang sekali ditemukan kepiting (ketam) yang ukurannya besar-besar. Hampir setiap saat di pasar ada kepiting, yang kalau digolongkan mungkin masuk ke golongan besar (2 sampai tiga ekor per kilonya). Kamipun seringkali makan kepiting di guest house, dibawa pulang kawan-kawan yang kebetulan wilayah kerjanya banyak ditemui kepiting. Kadang dikasih gratis oleh penduduk yang tidak mau menerima uang bayawan, atau bisa juga di beli. Beli dari penduduk cuma lima ribu sampai sepuluh ribu per kilogramnya (kondisi normal bisa tiga puluh ribu sampai lima puluh ribu sekilonya). Beli di pasar paling lima belas ribu sekilonya. Waktu kami ke Suak Seuke beberapa hari yang lalu, kami juga ditawari penduduk kepiting yang ukurannya cukup besar.
--------------------
Ini adalah foto pantai Suak Ribee. Sekitar 1 km dari posisi ini terletak rumah mertua adik perempuan saya, yang sekarang sudah hancur total. Dulu, pantai ini sangat indah, setiap sore hari ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin menyaksikan matahari terbenam. Sekarangpun, dengan jejak kehancuran yang luar biasa yang disebabkan oleh tsunami, keindahan pantai ini kayaknya tidak berubah. Tidak banyak yang hilang, kecuali jalan raya Banda Aceh Meulaboh yang rusak total di beberapa tempat dan juga perumahan-perumahan penduduk. Pohon-pohon kelapa masih tetap di tempatnya, tidak tumbang tersapu gelombang dahsyat tsunami.
Sore Minggu saya juga ikut kawan-kawan ke Pantai Suak Ribee. Mereka bermain bola dengan bule-bule kurang kerjaan, atau sekedar mandi ombak. Ramai juga, apalagi sudah beredar kabar dari mulut kemulut tentang keindahan pantai ini.
Foto di bawah ini adalah kondisi jalan Banda Aceh - Meulaboh yang hancur total di sebagian besar tempat.
----------------
Suak Seuke, Suak Pandan, Lhok Bubon, Kuala Bubon, Suak Pante Breueh, Gampong Cot adalah beberapa desa di Kecamatan Samatiga. Desa-desa tersebut terletak sepanjang pantai, dilewati oleh jalan raya Banda Aceh – Meulaboh. Kondisi pasca tsunami di tempat-tempat tersebut sungguh memprihatinkan.Tidak ada bangunan tersisa di daerah tersebut, keculai mesjid-mesjid yang masih tegak dengan gagahnya. Di Suak Pante Breuh, bahkan mesjidpun ikut hancur. Penduduk desa tersebut tidak punya jalan untuk menyelamatkan diri sewaktu tsunami datang. Jalan yang ada adalah mengikuti pantai, sedangkan untuk menjauhi pantai mereka harus melewati rawa dan hutan karet. Bisalah dibayangkan, bahwa mereka hanya bisa berserah diri kepadaYang Maha Kuasa pada saat bencana tersebut datang. Seperti diungkapkan oleh Syafril Maidi, seorang penduduk Suak Seuke, bahwa pada saat gelompang laut datang dengan ketinggian melebihi pohon kelapa, penduduk hanya bisa berharap dapat perlindungan di mesjid. Air menghempas, sampah pohon-pohon menerjang mesjid sehingga runtuh dan menghanyutkan penduduk ke hutan karet. Tanpa bisa berbuat apa-apa melawan gelora air, Syafril Maidi membiarkan dirinya dihempaskan dan digulung air. “Hanya kuasa Allahlah yang menyebabkan beberapa dari kami selamat”. Akhirnya dia tersangkut dipohon karet, yang secara reflek dipegangnya erat-erat. Itulah yang menyelamatkan dia dari air. Rata-rata, lebih dari setengah penduduk dari desa-desa tersebut menjadi korban. Sampai saat ini, desa Suak Seuke, Suak Pante Breuh dan lain-lainya masih terisolir. Beberapa jembatan di jalan raya B. Aceh – Meulaboh putus di kawasan tersebut. Jembatan darurat belum dibuat, hanya rakit dari bambu yang diikat menjadi satu yang dikerjakan secara gotong-royong oleh penduduk.
Desa Kuala Bubon mengalami nasib yang paling parah. Selain kehilangan penduduknya yang menjadi korban, desa ini bahkan kehilangan wilayahnya. Daerah yang dulu menjadi wilayah desa tersebut kini tidak ada lagi, sudah tersapu gelombang menjadi bagian dari laut.
Ada juga kisah unik terjadi di Suak Seuke. Ada seorang penduduk yang kehilangan istrinya pada saat tsunami. Karena dia termasuk golongan yang berkecukupan, oleh mertuanya dia dikawinkan dengan adik istrinya (ganti lapik). Akhir Maret lalu, datanglah sepucuk surat dari Malaysia. Surat tersebut ternyata berasal dari istrinya, yang entah bagaimana caranya terhanyut kelaut dan diselamatkan kapal Malaysia. Istrinya memberitahu suaminya bahwa dia selamat dan akan segera pulang ke kampung. Sekarang si suami bingung, ayah mertua bingung, adik si istripun bingung. Entah bagaimana penyelesaiannya sekarang ini.Foto dibawah ini adalah rakit penyeberangan menuju ke Desa Suak Seuke yang terisolir karena jembatan yang menuju kesana terputus.