Thursday, September 15, 2005

Krueng Meureubo

Hari ini Jamie akan meninggalkan kami, balik ke Inggris. Dia akan kembali menekuni bisnisnya, perusahaan kecil yang menyediakan alat-alat perairan untuk rumah tangga dan pertanian. Pesta perpisahan dilakukan beberapa hari yang lalu, diwarung salah seorang rekan kami Alimudin Jamal yang terletak di kampung Kuta Padang. Makanan utamanya adalah mi kepiting, yang dinikmati oleh setiap orang dengan lahap, termasuk bule-bule. Dengan pengecualian Juanto. Dia tidak pernah tahu cara makan kepiting, begitu pengakuannya. Ross datang dengan istrinya Johara yang sedang hamil dan anaknya yang berusia tiga tahun yang bernama Naila. Loreen Lockwood juga ikut
Oleh-oleh untuk Jamie sudah kami siapkan, berupa foto-foto dari seluruh pelosok Aceh yang kami kumpulkan. Jumlahnya ada sekitar seribuan, disimpan dalam 3 buah CD. Jamie berjanji akan terus mengabari kami. Dia juga mengundang kami untuk ketempat dia suatu saat. “It will be easy to find a job there for a suitable people”, katanya. Ya, mudah-mudahan saja ada kesempatan.
Kami tidak bisa mengantar Jamie ke bandara Cut Nyak Dien, karena hari ini adalah jadwal kami bersama dengan Spanish Red Cross untuk melakukan survey kualitas air Krueng Meureubo. Rencananya, SRC akan membangun raw water intake untuk PDAM Meulaboh, dan mereka perlu bantuan kami untuk menganalisa kualitas air sungai Krueng Muereubo di berbagai titik. Karena kami menginap di kantor Dinkes – yang juga menjadi laboratorium analisa air – jam 5 pagi Rimbawan dari Palang Merah Spanyol bersama Pak Saifudin – the driver – menjemput kami. Rencananya, kami akan memantau kualitas air sungai setidaknya pas pasang tertinggi dan surut terendah, yang diperkirakan akan memakan waktu sekitar dua belas jam. Dari informasi yang dikumpulkan sebelumnya, saat ini, pasang tertinggi akan berlangsung sekitar jam 6 sampai jam 7 pagi. Setelah menikmati segelas teh dan kopi panas kamipun berangkat menuju Jembatan Besi Krueng Meureubo, dimana seharusnya speedboat yang akan dikemudikan oleh Pak Dahlan sudah menunggu. Alat-alat analisa yang kami bawa adalah deep sampler – alat untuk mengambil sample air pada kedalaman tertentu, conductivity meter, pH meter dan turbidity meter. Tidak ketinggalan kamera digital dan aserorisnya, serta GPS untuk pemetaan lokasi sample. Deep samplernya sendiri adalah milih SDC – sebuah NGO dari Swiss. Seharusnya, kami menggunakan alat itu beberapa waktu yang lalu, bersama dengan seorah ahli kualitas air dari Amerika. Tetapi takdir menentukan lain. Satu hari sebelum jadwal, pada hari Minggu yang cerah, bule tersebut tewas tenggelam di Pantai Lhok Nga Banda Aceh pada saat berselancar. “Fate is funny, isn’t it? This very guy was scheduled to meet us today, but last day he just has already gone to meet his maker”, kata Ross. Ya, siapa yang bisa menduga takdir. Sama seperti halnya musibah tsunami yang memakan ratusan ribu korban 24 Desember 2004 lalu.
Dari CRS, kami Cuma bertiga: saya, Ramang dan Pak Syukur yang saya ajak untuk membantu. Tidak ada masalah bagi mereka, tetapi bagi saya jelas-jelas sangat membantu. Mereka adalah nelayan yang pandai, yang pasti akan sangat mengenal liku-liku Krueng Meureubo sampai ke laut. Juanto sendiri pulang ke Medan dua hari yang lalu.
Tidak ada siapa-siapa di Jembatan Besi pada saat kami sampai. Pak Dahlan seharusnya sudah siap di sama dengan speedboatnya. Rimbawan pergi menjemputnya. Kami menunggu dalam udara dingin di bawah Jembatan Besi. Cahaya terang mulai nampak di timur. Saya mengambil gambar-gambar yang tidak setiap hari bisa saya ambil.
Akhirnya Pak Dahlan tiba dengan speedboatnya yang baru, bantuan dari pemerintah Kuwait. Dia adalah warga Padang Seurahet – lokasi yang hancur total pada saat tsunami melanda. Tidak ada yang kembali ke lokasi semula, semua warga yang selamat dialihkan ke lokasi baru – desa Cukok Mariek, yang kebetulan juga desa binaan Palang Merah Spanyol. Sebelum berkeliling, kami melapor dulu ke pos aparat di pingir sungai dekat Jembatan Besi.
Pengambilan sample air dilakukan setiap jam di beberapa titik, dimulai jam tujuh pagi selama dua belas jam. Setiap kedalaman menunjukkan hasil yang berbeda. Rata-rata, Krueng Meurebo berkedalaman sampai 5 meter pada saat pasang tertinggi, dengan kualitas air paling buruk (conductivity tertinggi) pada kedalaman 3 dan 4 meter. Makin dekat ke muara, nilai conductivity makin tinggi. Dekat laut conductivitinya mencapai 30000 us/cm. Di Jembatan Besi sendiri, conductivity air sungai adalah sekitar 20000 us/cm. Ini menimbulkan kecurigaan mengenai sample air yang diantar oleh petugas PDAM beberapa waktu yang lalu, dengan nilai conductivity mendekati angka tersebut. Mungkin mereka mengabaikan perintah untuk mengambil sample dengan benar, hanya menimba air dari Jembatan Besi dan mengantarkannya ke Lab CRS.
Beragam kegiatan penduduk kami jumpai sepanjang perjalanan kami di Krueng Meurebo. Penambang pasir dengan truk, penambang pasir dengan perahu, penambang pasir dengan truk-truk yang langsung parkir ke dalam air, pemancing, pencari kerang, orang-orang yang mandi, mencuci dan lain-lainnya. Makin kehulu airnya semakin jernih, dan Pak Dahlan harus lebih berhati-hati karena banyak jaring yang dipasang melintang. “ Itu jaring untuk menangkap ikan ‘keruelieng’”, katanya. Seorang bapak dan anaknya yang berusia belasan sedang mencari kerang dengan menyelam. Tumpukan kerang bulu hitam sudah tinggi di perahu mereka. Jam dua belas siang kami menuju ke Desa Cukok Mariek untuk beristirahat dan makan siang.
Sesampai di lokasi relokasi warga Padang Seurahet di desa Cukok Mariek, kami mendapati banyak penduduk sedang bekerja membersihkan lokasi. Rencananya mereka akan membangun barak-barak sementara, sambil menunggu rumah yang juga dibangun oleh Palang Merah Spanyol di lokasi yang sama selesai. Andi Diah – manager Watsan Palang Merah Spanyol Meulaboh sudah menunggu kami di tempat tersebut.
Makan siang datang – menu yang agak aneh untuk cuaca yang sepanas ini. Kari kambing khas Aceh mungkin lebih cocok dinikmati pada saat cuaca dingin, atau bagi mereka yang tidak berencana untuk melakukan aktivitas ditempat terbuka yang panas. Tetapi yang jelas, semua makan seperti musafir. Panas dan pedas, kami nyaris menghabiskan semua makanan yang tersedia. Minumnya adalah air timum, sekedang pendingin untuk meredakan panas yang disebabkan oleh kari kambing. Kekenyangan, kami berpencar mencari keteduhan dibawah pohon untuk meluruskan badan sebentar.
Jam satu siang kami berangkat kembali. Penumpang bertambah satu orang – Mirza dari bagian Housing Palang Merah Spanyol yang ingin berjalan-jalan. Setelah mengambil sample yang pertama siang itu, Pak Dahlan mengajak kami kelaut untuk melihat-lihat. Ajakan yang pasti tidak akan kami tolak. Perahu diarahkan ke muara Krueng Meureubo, kemudian dibelokkan menuju sungai kecil yang melewati Rundeng, kemudian terus ke Padang Seurahet.
Foto: Mirza dan Rimbawan dari Cruz Roja Espanola (Palang Merah Spanyol)

Pemandangan kota Meulaboh nampak berbeda dari laut. Kerusakan ternyata jauh lebih parah daripada yang nampak dari darat. Padang Seurahet, daerah tempat Pak Dahlan berasal, kerusakannya sangat parah. Lokasi tersebut terisolir sama sekali. Jembatan penghubung satu-satunya dari Meulaboh daratan sudah hilang, dan kemungkinan tidak akan dibangun kembali untuk waktu yang cukup lama, terlebih lagi karena warga daerah tersebut akan di relokasi. Ada satu mesjid yang hanya tinggal kubahnya saja yang nampak. Mulanya kami kira kubah itu adalah sisa dari mesjid yang hancur, ternyata bukan. “Mesjid tersebut amblas ke dalam tanah sampai kebatas kubah yang nampak sekarang ini pada saat gempa, sebelum air naik”, kata Pak Dahlan. Seluruh bangunan mesjid amblas. Mesjid yang satu lagi hanya tinggal tiang-tiangnya saja, kolom-kolom beton. Daerah lainnya seperti Suak Ujong Kalak, Rundeng, Ujong Karang, nampak kosong – tidak banyak bangunan. “Dulu, daerah ini adalah daerah yang sangat padat”. Bencana tsunami menyapu semuanya.
Kecapekan sepanjang hari di atas sungai, lewat jam tujuh malam kami mendarat. Mobil sudah menunggu, siap mengantar kami kembali menuju kantor Dinkes Aceh Barat di Seuneubok. Data sudah terkumpul, dan saya harus menyiapkannya malam ini, karena akan dibawa ke meeting Unicef besok.

Monday, September 12, 2005

Air tebu Jembatan Besi

Sama seperti pondok pisang goreng, dalam setiap waktu senggang kami setiap sore, kami sering menghabiskan waktu dipondok-pondok air tebu di sekitar Jembatan Besi. Pondok di ujung jembatan ditepi sungai adalah favorit kami. Tidak ada yang istimewa dengan air tebu di Meulaboh ini, sebenarnya. Tebunya adalah tebu hijau muda, dengan ruas yang panjang-panjang dan batang yang diameternya bisa lebih dari lima sentimeter. Airnya berwarna kehijauan, yang akan tetap kehijauan dan tidak berubah menjadi gelap setelah terkena udara. Pasangan air tebu adalah payeh, yaitu beras ketan yang diberi santan, dibungkus dengan daun pisang muda dan dipanggang dibara api. Rasanya mengesankan. Pasangan air tebu lainnya – ini agak ganjil bagi kami dan bagi orang luar Meulaboh lainnya – kerupuk kulit sapi atau kerbau. Cukup aneh, karena makan kerupuk kulit justru membuat haus, sementara minum air tebu dingin adalah untuk menghilangkan dahaga yang mendera karena panas. Tetapi kenyataannya, justru kami menyukai makan kerupuk kulit sebagai kawan minum air tebu. Saya dan Juanto bisa menghabiskan dua gelas masing-masing pada cuaca yang panas terik.

Menikmati air tebu Jembatan Besi Meulaboh

Bukan cuma kami, orang-orang asingpun kami temui juga menyukai minum air tebu. Jamie juga. Pertama kali ke pondok air tebu setelah main bola melawan Mercy Corps dengan kekalahan yang memalukan, pemain bola dan supporternya singgah ke pondok air tebu. Kehausan, gelas kosong terus minta diisi. “Good sugarcane juice”, kata Jamie. “Never drink stuff like this before.” Tentu saja, minuman seperti ini tidak ada dinegara seperti negara dia.
Cara memerasnya tidak pakai mesin. Tebu yang dipotong pendek-pendek, kira-kira 50 – 60 sentimeter setelah dibersihkan dari kulit luarnya dengan cara dikikis dengan pisau atau parang, dijemur di panas matahari supaya lunak dan alot. Baru kemudian dicuci dan diperas. Pemerasnya berupa kayu yang dibentuk sedemikian rupa dengan bagian bawah yang tidak bergerak, dan sepotong kayu lainnya yang akan menjepit tebu. Tenaga pijakan berasal dari kaki pemijaknya. Air tebu keluar melalui ujung kayu bagian bawah, melalui saringan dan berakhir di tempat penampung. Setelah dikasih batu es, nikmat sekali untuk diminum.
Di bulan puasa, penjual air tebu lebih banyak lagi. Selain yang biasa, juga bermunculan penjual air tebu musiman. Air tebunya dijual dipinggir jalan, dikemas dalam botol-botol berukuran tertentu, yang airnya akan dipindahkan ke kantongan plastik jika ada yang membeli. Harga air tebu tidak termasuk botolnya, tentu saja. Namun kami curiga dengan warna air tebunya yang lebih muda. Walaupun kami tidak pernah membelinya, kami menduga rasanya kemungkinan berbeda dengan air tebu yag biasa kami minum di Jembatan Besi.
Tempat lain yang menjual air tebu yang sering kami kunjungi adalah terletak hampir diluar kota Meulaboh, dijalan yang menuju je Tutut. Tertetak persis dipinggir jalan, pondok-pondok tempat jualan berderet-deret, menjorok kedalam sawah. Tidak air tebu saja yang dijual di tempat tersebut. Kelapa muda, mi aceh, buah-buahan, juga minuman lain yang lebih umum seperti kopi, teh dan juga minuman kemasan. Di beberapa kedai pisang goreng juga ada. Tempatnya gersang tanpa pepohonan, tetapi udaranya sejuk berangin. Duduk didalam ruangan yang hanya berdinding setengah, dengan pemandangan sawah dan lalu lintas yang lalu lalang, dengan udara semilir sangat cocok untuk menghabiskan waktu sore-sore. Banyak juga yang pasangan abg yang menjadikan tempat ini untuk pacaran.

Saturday, September 10, 2005

Pisang goreng ...

Kami – saya dengan Juanto – sangat menyukai pisang goreng. Walaupun sama-sama pisang yang digoreng, pisang goreng Meulaboh khas sekali. Dibelah tipis-tipis membentuk kipas, keras setelah digoreng, dengan rasa tepung yang berbeda, khas sekali seperti halnya pisang goreng dari daerah Aceh lainnya. Hampir setiap sore seusai jam kerja kami ke pondok pisang goreng di ruas Jalan Meulaboh – Tutut. Pisang yang sudah digoreng ditumpuk membentuk gundukan tinggi dalam talam besar, terpisah antara pisang dan tempe. Tidak ada ubi, ketela ataupun lainnya. Hanya pisang dan tempe. Sebagai minumnya disediakan bandrek, dengan rasa pedas segar, enak sekali diminum panas-panas. Bagi lidah orang Medan seperti Juanto, pisang goreng dan bandrek Meulaboh merupakan sesuatu yang baru. Jarang di Medan kita bisa memenui pisang yang digoreng dengan gaya seperti di sini. Rata-rata lembek berminyak, yang akan menjadi semakin lembek setelah dingin. Berbeda dengan pisang goreng disini, tetap tinggal keras setelah dingin, dan tidak berminyak. Pengunjung pondok pisang goreng tersebut ramai, harus mengantri kadang-kadang, terlebih lagi pada saat hujan dan cuaca dingin. Setelah beberapa kali kesitu, kami sudah dianggap pengunjung tetap. Tempat duduknya hanya sepotong papan tebal yang diberi kaki, membentuk huruf L yang melingkari meja dimana semuanya terletak: pisang yang akan dibelah, yang sudah dibelah, yang sudah masak. Hanya tepung dan sambal yang diletakkan ditempat lain. Disitulah pengunjung duduk, makan dengan nikmat, tanpa memperdulikan pengunjung lain yang mengantri.
Ada tiga orang ibu-ibu yang melayani pembeli: satu orang membelah pisang dan mempersiapkan bumbu, satu orang menggoreng, satu lagi melayani pembeli. Perhiasan mereka menunjukkan kesuksesan dibidang bisnis pisang goreng: kalung emas sebesar kelingking Juanto yang melingkari leher, gaya berjalan yang miring karena sebelah tangan menanggung beban berat gelang emas dan cincin. Nampaknya perempuan-perempuan di Meulaboh sangat gemar memakai perhiasan, terutama yang terbuat dari emas.
Pisang gorengnya dimakan dengan sambal dengan rasa yang sangat khas, dan memperkuat rasa pisang gorengnya sendiri. Kami sudah mencoba makan pisang goreng di beberapa tempat lainnya di Meulaboh, tetapi selalu kami kembali ke pondok ini. Tidak ada rasa pisang goreng dan sambalnya yang menyamai di pondok goreng tersebut.
Kadang kami ajak kawan lain, paling sering Hidayat. Sekali saya bawa Jamie kesitu untuk minum bandrek dan makan pisang goreng. Rasa bandrek yang pedas dan panas membuat Jamie berdesis-desis kepedasan dengan mata berair. Ibu yang melayani pembeli memberi sejumput garam untuk ditaruh dibawah lidah, dan sekejap kemudian penderitaan Jamiepun berakhir. Pisang gorengnya enak sekali, katanya. Baru sekali ini ia makan pisang goreng sebaik ini.
Kalau hari hujan dan kami tidak bisa ke pondok goreng tersebut, sementara keinginan untuk makan pisang goreng semakin meningkat, biasanya kami menyusuh petugas security untuk ke tempat tersebut. Sepuluh ribu rupiah sudah cukup untuk membuat beberapa orang kekenyangan dengan pisang goreng.
Setelah bulan puasa, pondok tersebut lama tutup. Tukang-tukang bekerja merenovasi tempat tersebut menjadi lebih bagus. Setelah dibuka kembali lebih kurang sebulan kemudian, pada saat pertama kembali ke tempat tersebut, kami merasa ada yang kurang. Makan pisang goreng di tempat tersebut tidak lagi semenarik dulu pada perasaan kami. Mungkin kami lebih menginginkan makan disamping kompor yang menderu-deru, berdesak-desak pada bangku yang sempit, sambil hati-hati memegang gelas berisi bandrek yang panas mendidih karena takut tersenggol dan tumpah. Ataupun tempat yang sekarang sudah jauh lebih bagus dan lapang, dengan kursi-kursi yang jauh lebih nyaman dibandingkan dengan sepotong papan yang diberi kaki, membuat suasana yang asing bagi kami. Pada akhirnya, kunjungan kami ke situ semakin jarang, sampai akhirnya terhenti sama sekali, terlebih lagi karena kami sudah menemukan pondok goreng baru dengan rasa pisang goreng dan sambal yang lebih enak bagi lidah kami di Jalan Nasional.

Thursday, September 01, 2005

Jamie Ashe dan motor

Motor yang seharusnya menyelesaikan masalah transportasi bagi Jamie, hampir menjadi seperti kutukan bagi dia. Pada awalnya, proses mengendarai motor – yang ini adalah type pakai kopling – hampir mirip dengan proses mengendarai kuda liar. Setiap kali mengerem, motor mati. Dengan kakinya yang panjang, dia mendorong mengayuh sepeda motornya, menghindari hambatan bagi kenderaan di belakang dia. Bisa dibayangkan, dalam cuaca panas terik seperti di Meulaboh, mengendarai sepeda motor bagi Jamie membuatnya basah kuyup dengan keringat.
Motor tersebut tiba sekitar bulan Juni 2005. Bermerek Yamaha, type YT115, dengan ban cangkul. Tiga motor adalah untuk Watsan, yang rencana Ross dua unit untuk teknisi yang bertugas di lapangan, satu unit untuk kami yang bekerja di laboratorium. Karena Ross tidak ada pada waktu itu – dia harus keluar dari Indonesia untuk memperpanjang Visanya setiap bulan – satu unit kami ambil, satu unit kami kasih ke Seno, dan satu unit lagi kami putuskan untuk dititipkan pada Jamie. Jadi, selepas makan malam kami antar motor tersebut ke Guest House no 4, tempat Jamie tinggal.
Saat kami sampai, Jamie sedang nonton televisi. Dengan segera kami menuju ke halaman tempat kedua sepeda motor diparkir. Dengan antusias Jamie mengamati setiap bagian sepeda motor, menanyakan fungsi dan fiturnya, bahan bakar, dan lain-lain. Saatnya untuk merayakan datangnya sepeda motor, kaja Jamie. Kami sepakat untuk keluar untuk minum jus dan makan mi aceh. Saya berboncengan dengan Juanto berangkat duluan, Jamie seharusnya menyusul. Tetapi, dia tidak muncul-muncul. Setelah beberapa menit menunggu, kamipun balik ke Guest House no 4, hanya untuk mendapati Jamie sedang sibuk mengengkol. Motor mati setiap dia memasukkan gigi 1 dan melepaskan kopling untuk berangkat. Keringat sudah mengucur dengan deras, tanpa hasil yang berarti. Baru kami sadari dia belum terbiasa dengan motor berkopling seperti yang beredar di Indonesia. Perlu waktu untuk membuat Jamie terbiasa dengan cara melepaskan kopling yang tidak menyebabkan mesin mati. Jalan beberapa puluh meter, mati lagi saat mengerem. Dayung dengan kaki ke pinggir, engkol lagi, jalan lagi, kemudian mati lagi. Tak heran sesampainya di warung mi aceh yang kami tuju, bajunya sudah kuyup oleh keringat.
Beberapa hari kemudian, kondisi motor menjadi compang camping. Setangnya miring, speedometer nyaris lepas, kaca lampu depan hampir lepas dari batoknya. Informasi Jamie, dia menabrak tiang pagar Guest House pada saat mau keluar. Dianya sendiri tidak apa-apa.
Rosspun hampir sama dengan Jamie gayanya naik motor. Walaupun tidak separah Jamie, gaya mengemudi yang kaku meliuk-liuk dikeramaian sungguh berbahaya, apalagi untuk kondisi lalu lintas Meulaboh yang cukup ramai oleh kenderaan roda dua.
Membonceng Jamiepun bukan hal yang mudah. Dengan postur tinggi besar, sepeda motor seperti terjungkit oleh keberatan beban di belakang, ditambah lagi dengan kedua tangannya yang memegang bahu kita dengan kuat. Jalan mesti cukup pelan untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan.
Tambah lama Jamie tambah mahir bersepeda motor, tentu saja. Tetapi kemudian, motor tersebut lebih banyak dibawa Ross kemana-mana, walaupun mereka tinggal ditempat yang sama. Jamie lebih suka jalan kaki kalau diluar jam kerja, atau pakai mobil, kalau dalam jam kerja. Lebih aman, katanya.