Wednesday, December 28, 2005

Kuburan Teuku Umar – Desa Meugoe

Tanggal 21 Desember 2005 saya, Hidayat, Sabri dan Anto dengan menggunakan Ranger menuju ke Desa Meugoe, kira-kira 30 km dari Meulaboh ke arah Tutut. Jalan kecil beraspal, awalnya cukup mulus, kemudian berganti dengan aspal kasar begitu keluar dari kota Meulaboh. Perkampungan rapat di kiri kanan jalan, dengan sawah-sawah yang baru dibajak menunggu tanah masak untuk ditanam. Di beberapa tempat jalan aspal retak besar nyaris terbelah, bekas gempa besar 24 Desember 2004 lalu.

Desa Meugoe adalah tempat Teuku Umar dimakamkan. Tertembak pada malam 11 Februari 1899 di Suak Ujong Kalak, Teuku Umar dibawa lari pengikutnya menghindari tangkapan tentara Belanda. Melintasi hutan belantara, menepuh jarak 30 km dari Suak Ujong Kalak ke Meugoe di malam hari bukan perkara mudah. Jika jasad Teuku Umar jatuh ke tangan Belanda, tentu akan dipergunakan untuk menjatuhkan mental pejuang-pejuang Aceh lainnya.

+++

Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh (sekarang ibu kota Kabupaten Aceh Barat) pada tahun 1854. Semasa kecilnya, Teuku Umar tidak pernah mendapatkan pendidikan yang baik. Hidupnya bebas, berandalan, suka berkelahi. Ia memiliki kemauan yang keras dan sukar untuk ditundukkan. Teman-temanya mengenalnya sebagai orang yang tidak mengenal rasa takut. Dalam segala persoalan Teuku Umar memiki sifat yang keras dan pantang menyerah.

Teuku Umar aslinya adalah keturunan Minangkabau. Kakeknya adalah Datuk Machdum Sakti, yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh Sultan Machmud Syah yang lebih dikenal dengan Sultan Buyung. Datuk Machdum Sakti waktu itu adalah penguasa daerah Meureubo.Datuk Machdum Sakti punya dua putra, Nantan Seutia dan Akhmad Mahmud. Teuku Akhmad Mahmud merupakan orang tua Teuku Umar.

Pada usia muda, ia sudah diangkat menjadi kepala kampung di daerah Dayah Meulaboh.

Pada usia dua puluh tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sapiah, putri Uleebalang (Hulubalang Geumpang). Kemudian Teuku Umar menikah lagi dengan Nyak Meuligoe, anak Panglima Sagoe XXV Mukim. Sejak pernikahan yang kedua ini, ia mulai menggunakana gelar bangsawannya, Teuku.

Pada saat Belanda menyerbu Aceh pada tahun 1873, Teuku Umar baru berusia sembilan belas tahun. Pada usianya yang sangat belia tersebut, Teuku Umar ikut berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya.

Pada saat ia berusia 26 tahun, Teuku Umar melamar Cut Nyak Dien waktu itu statusnya janda karena ditinggal mati suaminya Ibrahim Lamnga yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 di Gle Tarum. Awalnya Cut Nyak Dien menolak, tetapi kemudia dia menerima lamaran tersebut dengan syarat dia boleh ikut serta ke medan perang. Mereka punya seorang putri yang diberi nama Cut Gambang. Selama perkawinannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dien ikut serta dalam berbagai pertempuran melawan Belanda.

Peperangan terus berlanjut. Teuku Umar dengan pengkutnya melakukan gerakan mendekati pihak Belanda dan membina hubungan baik. Kelanjutannya adalah pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pengikutnya yang berjumlah sekitar 250 orang berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh) untuk menyerahkan diri ke pemerintah Belanda. Teuku Umar dicap sebagai pengkhianat oleh rakyat Aceh. Belanda jelas kesenangan, karena musuh mereka yang sangat berbahaya dan berpengaruh balik arah membantu mereka. Teuku Umar diberi gelar Johan Pahlawan, dan pasukannya dipersenjatai dengan lengkap. Cut Nyak Dien yang malu karena tindakan suaminya ini, menjadi ribut dengan Teuku Umar. Ajakan Cut Nyak Dien supaya suaminya kembali melawan Belanda bersama rakyat Aceh lainnya tidak dihiraukan oleh Teuku Umar. Menghargai kesetiaan Teuku Umar, kepala pemerintahan Belanda di Aceh Deykerhoff mengabulkan permintaan Teuku Umar untuk menambah 17 panglima dan seratus dua puluh prajurit, termasuk seorang Panglima Laot sebagai wakilnya.

Tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kembali balik arah bergabung dengan pejuang Aceh. Selama berada dalam pasukan Belanda, pelan-pelan ia memperkuat pasukannya dengan gerilyawan Aceh, sesuatu yang tidah pernah diungkapkannya sebelumnya. Berbelotnya Teuku Umar membawa 800 pucuk senjata, 25000 peluru, 500 kg mesiu dan uang 18000 gulden. Pengkhianatan ini dikenal dengan het verrad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Berbelotnya Teuku Umar menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi untuk menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dien beserta pasukannya. Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya. Gerilyawan Aceh menggunakan senjata yang dibawa lari dari Belanda untuk menjawab tantangan Belanda dan berhasil mempermalukan Jenderal Van Swieten. Penggantinya Jenderal Pel tewas dalam pertempuran dan pasukan Belanda kembali berada dalam kekacauan. Gerilyawan Aceh berhasil mendesak Belanda dan menduduki Kutaradja dan Meulaboh. Belanda terus menerus mengganti Jenderalnya, sementara kedudukan gerilyawan Aceh semakin kuat. Pada saat Jenderal Van der Heyden bertugas, tindakan-tindakan brutal untuk menekan gerilyawan Aceh dilakukan dengan segala cara, termasuk membantai semua laki-laki, wanita dan anak-anak yang ada di desa-desa. Akibatnya, rakyat Aceh hidup dalam ketakutan.

Pengganti Jenderal Van der Heyden, Jenderal Van Heutz, memanfaatkan ketakutan rakyat Aceh dan meneruskan aksi terornya untuk menekan Teuku Umar. Ia memanfaatkan orang Aceh untuk mendapatkan informasi mengenai Teuku Umar. Cuak (mata-mata) Belanda Tengku Leubeh memberikan informasi kepada Belanda mengenai rencana Teuku Umar dan pasukannya untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Teuku Umar tertembak di malam hari di Suak Ujong Kalak.

+++

Desa Meugoe nampak sepi ketika kami sampai. Rumah-rumah berbaris di kiri kanan jalan. Tidak banyak orang-orang yang kami jumpai. Ranger yang kami tumpangi berbelok ke kiri, menyusuri jalan aspal kecil dan berhendi di depan gapura, yang merupakan pintu masuk ke kompleks makan. Nampaknya Anto, supir kami, sudah terbiasa kemari.

Di kedua tiang gapura dengan prasasti yang ditandatangani oleh Bupati Aceh Barat Teuku Rusman pada 11 Februari 1992. Tertulis di salah satu prasasti ucapan Teuku Umar yang sangat terkenal, sebelum ia tertembak, “Beugoh singoh geutanyoe jeb kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid”. Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh, atau saya akan gugur.
Kami menyusuri jalan beton. Mobil tidak bisa lagi melewati jalan ini. Pohon akasia manaungi kiri kanan jalan, dengan daun-daun menutupi tanah memberikan suasana kusam. Rumput tumbuh tinggi di beberapa tempat. Beberapa ekor kambing berkeliaran mencari makan. Jalan mendaki dan menuruni bukit, menuju ke kompleks makam. Seorang lelaki tua sedang memotong rumput. Saya mengangguk memberi salam. Sejenak kami berhenti untuk bercakap-cakap. “Tidak banyak orang ke sini pada waktu-waktu seperti ini”, orang tua tersebut menjawab pertanyaan kami dalam bahasa Aceh, dengan logat kental Aceh Barat. “Nanti, tanggal 11 Februari, kompleks ini akan ramai seperti ‘piasan’. Orang-orang akan berdatangan untuk memperingati hari meninggalnya Teuku Umar”. Piasan adalah pesta ataupun perayaan.

Kami meneruskan perjalanan kami menaiki tangga-tangga beton. Cukup banyak anak tangga yang harus dijalani, untung saja tidak curam. Dan di depan kami tiba-tiba ada bangunan yang berbentuk benteng. Ternyata gapura lainnya yang merupakan pintu masuk ke kompleks makam. Kami melangkah ke dalamnya. Bangunan-bangunan dengan arsitektur Aceh berdiri megah, semuanya terbuat dari kayu. Sebelah kiri kami ada makam, yang diberi atap dan lantai keramik yang bersih. Sang Johan Pahlawan berbaring di sana dalam keabadian, dalam pelukan bumi Aceh yang dibelanya sampai titik darah yang penghabisan. Plang nama besar dari beton berdiri di sebelah kiri makam, dengan tulisan “Makan Pahlawan Nasional – Teuku Umar Johan Pahlawan. Lahir tahun 1854 gugur 11 Februari 1899 Suak Ujong Kalak Meulaboh”. Sebelah kiri plang nama tersebut terdapat bangunan bale-bale seperti Meunasah, begitu juga bangunan di sebelahnya, hanya saja panggungnya lebih tinggi. Dapur umum terletak di bagian bawah. Alat-alat masak terletak dengan rapi. Sebuah kancah besar menunjukkan jumlah tamu yang harus dilayani pada waktu-waktu tertentu. Tidak ada satu orangpun di sana saat itu. Penjaganya pasti pergi untuk suatu keperluan.

Disebelah dapur umum terletak sumber air, yang berupa bangunan beton dengan keramik yang bersih. Airnya dingin dan segar. Kami mengambil wudhu di sini untuk melaksanakan shalat asar. Kemudian saya berkeliling kompleks untuk mengambil gambar. Suasana hening tenang. Bahkan suara hewan hutanpun nyaris tidak terdengar. Tidak ada angin berhembus sedikitpun. Daun-dan pepohonan tidak bergerak. Cahaya suram matahari dengan malas berusaha menembus daun-daun tebal untuk mencapai tanah. Kami berada di tengah hutan yang lembab, tetapi tidak ada seekor nyamukpun menggigit kami. Kompleks ini bersih dan terawat dengan baik.

Di tengah kompleks tumbuh sebatang pohon yang menjulang. Diameternya di bagian bawah lebih dari satu meter. Pada ketinggian sekitar tiga meter, pohon tersebut seolah terbelah menjadi tiga bagian. Sebuah gayung tersangkut di paku. Saya tidak mengerti maksudnya, sampai Anto menjelaskan. Dia menaiki sebuah bangku yang nampaknya sengaja diletakkan di sana, dan mengambil air yang ada di tempat pohon terbelah menjadi tiga dengan gayung. Airnya kemudian diminumnya. “Banyak orang mengatakan air yang diambil dari pohon ini mempunyai khasiat tertentu. Bisa menyembuhkan penyakit ataupun lain-lainnya”. Entah dari mana mitos tersebut bermula, yang jelas banyak orang mempercayainya.

Kompleks makam ini dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang tinggi menjulang, daun-daunya membuat payung tebal yang menghalangi cahaya matahari. Sesuatu yang aneh, karena di berbagai bagian Aceh lainnya – apalagi daerah sini, pohon-pohon besar nyaris tidak ada lagi. Semuanya dibabat habis oleh penjarah hutan yang hanya memikirkan keuntungan yang bisa diperolehnya. Ternyata keberadaan hutan perawan di sekitar kompleks makam Teuku Umar berhubungan dengan mitos lainnya.

Sering saya mendengar dari supir-supir L300 yang saya tumpangi dalam perjalanan Meulaboh – Banda Aceh lewat Geumpang, dalam radius beberapa kilometer di sekitar Desa Meugoe ini sering dijumpai harimau. Ada yang mengatakan harimau tersebut berwarna putih, ada yang mengatakan merah belang. Serinkali dijumpai pada saat matahari baru terbenam, menyeberangi jalan menuju ke arah sisi di mana kuburan Teuku Umar berada. Hewan tersebut berjalan dengan santai, tidak memperdulikan lampu mobil yang menyorot terang, bahkan melirikpun tidak. Saya sendiri, beberapa kali sampai ke daerah ini pada saat matahari terbenam, tidak seberuntung itu. Sekalipun saya belum pernah menengok hewan tersebut secara langsung. Harimau tersebut dipercaya sebagai penjaga kuburan Teuku Umar, sekaligus peronda abadi daerah ini. Kehadiran harimau tersebut membuat penebang-penebang pohon baik yang legal ataupun ilegal tidak berani mendekati daerah ini.

Di bagian kepala kuburan terletak sebuah kupiah meukeutob, penutup kepala khas Aceh yang biasa dipakai oleh Teuku Umar. Kuburannya sendiri ditaburi dengan kerikil yang berwarna putih, dengan nisan di bagian kepala dan kaki. Lebah-lebah berukuran besar nampaknya menyukai kerikil-kerikil tersebut dan memanfaatkannya sebagai sarang mereka. “Lebah-lebah ini ada setiap saat di sini, tetapi tidak pernah mengganggu siapapun. Belum pernah terdengar ada orang tersengat lebah-lebah tersebut,” Anto menjelaskan.

Kami duduk di tangga makam. Matahari semakin turun ke barat, sinarnya semakin suram. Hidayat minta difoto dengan latar belakang kompleks makam. “Untuk kenang-kenangan nanti waktu balik ke Jawa”, katanya.

Saatnya untuk balik ke Meulaboh. Kami kembali ke mobil melalui jalan tangga yang lain. Rupanya jalan beton bertangga dibuat mengelilingi makam, sehingga pengunjung yang masuk dan keluar tidak usah melalui jalan yang sama. Jalannya lebih landai, bahkan sebagian cenderung rata. Sama seperti jalan kami masuk tadi, kiri kanan jalan ditutupi oleh daun-daun kering yang menumpuk tebal. Sekali lagi saya menengok ke belakang. Beristirahatlah dengan tenang wahai sang Pahlawan. Tugasmu sudah selesai, kamu sudah syahid, pangkat tertinggi yang bisa diperoleh dalam hidup. Kaum bangsamu yang lain akan meneruskan cita-cita perjuanganmu ...