Friday, January 20, 2006

Sabang …

Tidak pernah ada rencana ke Sabang di antara kami sebelumnya. Keinginan tersebut muncul begitu saja diantara kami. Saat ini pekerjaan sedang tidak banyak, si Ross sedang berlibur selama sebulan ke luar Indonesia, diikuti dengan meeting selama beberapa hari di Medan. Praktis sampai tanggal 1 Februari tidak ada yang mengawasi, karena semua manager lagi berada di Medan. Kunci brankas dibawa manager keuangan, sehingga semua kegiatan yang melibatkan uang praktis menjadi terhenti. Semua keluhan dan kutukan mengenai segala sesuatu tentang uang jelas diarahkan ke manager keuangan.
Keputusan diambil: hari Jumat tanggal 20 Januari 2006 kami berlima (saya, Juanto, Ajil, Hidayat dan Sabri) akan berangkat ke Banda Aceh jam 7 pagi dengan menggunakan tiga sepeda motor milik CRS. Perjalanan akan melalui Geumpang, Tangse, Beureunuen dan seterusnya ke Banda Aceh. Dari Banda Aceh kami akan bertolak ke Sabang, menghabiskan satu hari di sana, kemudian setelah beristirahat sebentar di Banda Aceh, perjalanan akan diteruskan kembali ke Meulaboh lewat Lamno. Kedengarannya cukup menantang dan menjanjikan.
Seperti yang sudah diduga, jam 7 pagi belum ada yang siap untuk berangkat. Lima manusia itu jumlahnya terlalu banyak, dan semuanya punya urusan sediri-sendiri. Setelah sedikit saling mengomel dan saling menghardik, jam 11 siang perjalanan dimulai. Saya membonceng dengan Juanto, Sabri dengan Hidayat, Ajil sendirian. Motor Yamaha YT115 nampaknya cukup mampu untuk dibawa jalan jauh.
Melewati Tutut, kondisi jalan aspal berganti dengan jalan berkerikil, dengan banyak mendaki dan banyak tikungan tajam yang berbahaya. Jurang di kiri-kanan jalan, bukit terjal, membuat berjalanan menjadi mendebarkan. Pada satu tanjakan yang cukup curam, dengan kondisi jalan berkerikil, motor kami tidak sanggup mendaki. Terpaksa Juanto harus jalan kaki sementara. Jalan Meulaboh – Beureunuen melintasi Geumpang – Tangse sebenarnya sudah bagus. Hanya sekitar 20 km yang belum diaspal, dan sekarang lagi dalam tahap pengerasan. Sehabis tsunami 26 Desember 2004 yang menghancurkan jalan di lintasan barat Aceh, hanya jalan inilah yang menjadi pilihan bagi mereka yang ingin ke Meulaboh.
Sekitar jam satu siang kami sampai di Gunung Kubu Aneuk Manyak. Mobil penumpang umum banyak yang berhenti di sini, penumpang dan supirnya istirahat makan siang dan salat. Kami ikut berhenti untuk sekedar minum dan makan makanan kecil.
Hujan mulai turun sejak di Geumpang. Dalam gerimis mereka berempat sempat mandi di sungai yang mengalir di belakang kota Geumpang. Cuaca yang dingin tidak menghambat mereka berenang berlama-lama dalam air sungai. Setelah mengisi bensin, perjalanan berlanjut kembali.
Melewati Tangse, hujan turun sangat lebat. Kami sibuk memakai mantel. Kamera harus dibungkus kantong plastic supaya tidak kemasukan air. Beberapa kali kami terpaksa berhenti. Perjalanan menjadi lambat. Saat magrib kami baru mencapai Lamlo. Masih sekitar 130 km lagi ke Banda Aceh.
Perjalanan kami teruskan. Hujan sudah berhenti, jadi kecepatan sepeda motor sudah boleh ditambah sekarang. Setelah mengisi bensin di SPBU Tijue, kami meneruskan perjalanan dan berhenti untuk makan malam di Saree pada jam 10:00 malam. Satu jam kami beristirahat di sini. Memasuki Banda Aceh sudah mendekali jam 12 malam. Saat saya dengan Juanto sibuk merundingkan dimana mereka akan menginap malam ini, Dayat dengan Ajil sibuk merundingkan masalah belanja pakaian. Hotel-hotel penuh, karena akhir pekan. Akhirnya dapat juga kamar di Wisma Kutaraja, di depan Hotel Rasamala Seutui. Lumayan, daripada tidur di Mesjid seperti direncanakan semula kalau tidak dapat hotel. Saya langsung pulang kerumah meninggalkan mereka, dengan janji akan menjemput besok pagi untuk keliling Banda Aceh.
Paginya saya menjemput mereka di penginapan. Setengah terkantuk-kantuk kami menikmati sarapan di sekitar Punge, kemudian menengok PLTD terapung yang sekarang berada di pemukiman di Punge. Mereka mengambil banyak gambar disini.
Acara keliling dilanjutkan ke Blang Padang, dengan foto-foto norak di sekitar pesawat terbang. Begitu juga di Mesjid Raya Baiturrahman, yang kebetulan sedang ramai dengan pengunjung. Terakhir kami ke kampus Unsyiah Darussalam, dimana sekaligus kami makan siang.

Ferry ke Sabang berangkat jam 14:00 siang, sementara kami sudah berada di sana sejak jam 13:00. Setelah membeli tiket, kami menaikkan sepeda motor ke Ferry dan menunggu keberangkatan. Cukup banyak penumpang dalam ferry, karena sedang akhir pekan. Ada juga orang asing, yang kemungkinan ketinggalan kapal cepat yang sudah berangkat duluan. Lama sekali rasanya menunggu kapal berangkat, yang akhirnya berangkat juga jam 14:40. Pemandangan bagus sekali, dengan laut biru kehijauan yang sangat luar biasa. Ombak yang tidak seberapa besar menghempas dinding kapat, membuat beberapa ayunan. Khawatir juga sedikit, karena kondisi kapal yang sudah cukup tua, ditambah lagi dengan muatan yang padat, kenderaan, barang dan penumpang. Mendekati jam lima sore, kamipun berlabuh di Balohan, Sabang.
Acara pertama adalah mencari penginapan. Kami tidak mau pengalaman di Banda Aceh terulang kembali. Ternyata tidak seperti yang kami bayangkan, hotel lumayan kosong. Kami mendapat kamar di sebuah hotel milik orang Cina, dengan kondisi yang cukup bagus. Saya sekamar berdua dengan Juanto, mereka bertiga sekamar. Setelah meletakkan barang-barang di hotel, kami keliling menikmati pemandangan Sabang yang belum pernah kami tengok sebelumnya. Jalan-jalan di Sabang hampir semuanya satu arah – itu yang membuat orang-orang menunjukkan wajah heran ketika kami sekali salah jalan. Kotanya cukup bersih dan indah, dengan kondisi berbukit-bukit. Dari segala posisi laut masih nampak. Pemandangan cukup bagus. Kami mengambil puluhan gambar di berbagai tempat. Suasana matahari terbenam di Aneuk Laot cukup memukau. Begitu juga suasana malam hari di taman kota yang terletak di atas bukit, dengan lampu-lampu yang benderang di bawah dan laut dengan lampu-lampu kapal yang kelap-kelip. Makan malam kami lakukan di salah satu rumah makan di depan hotel, dengan menu makanan laut masakan khas Aceh. Makanannya enak dan terjangkau.
Pagi harinya, pada saat ketiga kawan lainnya masih tidur, saya dan Juanto kembali mengelilingi kota Sabang. Sayang sekali jika ada pemandangan indah di pagi hari yang terlewati. Kami mengambil banyak gambar di berbagai tempat. Tidak ada bekas kerusakan karena tsunami di Sabang, setidaknya di pantai-pantai yang kami lewati. Secara ajaib gelombang tsunami melewati Sabang dari pantai sebelah barat, sebelum kemudian menghempaskan bencana ke daerah Pidie, sampai ke Lhok Seumawe. Mobil-mobil eksotis berkeliaran, begitu juga dengan motor-motor besar. Kenderaan tersebut tidak boleh keluar Sabang, karena tidak ada izin masuknya.
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, saya akan pulang duluan dengan kapal cepat, sedangkan kawan-kawan akan tinggal sehari lebih lama untuk mengelilingi kota Sabang. Nanti kami akan berkumpul kembali di Banda Aceh untuk kemudian meneruskan perjalanan kembali ke Meulaboh melewati pantai Barat, lewat Lamno.
Perjalanan dengan kapal cepat hanya memakan waktu sekitar 50 menit dari Sabang ke pelabuhan Ulee Lheue. Penumpang hanya sedikit, termasuk beberapa warga asing yang kembali dari berwisata ke Sabang. Jam sembilan lewat sedikit kapal sudah merapat ke Pelabuhan.

* * * *

Perjalanan kembali ke Meulaboh yang seharusnya mulai pagi-pagi benar, tertunda sampai hampir jam sepuluh bagi. Ada saya yang menjadi kendala. Terakhir pada saat rombongan kami mencapai daerah Lhok Nga, sekitar dua puluh kilometer dari Banda Aceh, ketahuan bahwa tas kepunyaan Hidayat ketinggalan di losmen. Hidayat dan Sabri kembali ke Banda Aceh untuk menjemput, sementara kami berangkat pelan-pelan. Dibeberapa tempat di Lhok Nga dan Lhong kami berhenti untuk menikmati pemandangan yang indah. Jembatan-jembatan yang hancur sementara telah diganti dengan jembatan bailey. Bekas-bekas tempat wisata yang hancur belum pulih seperti seperti sedia kala, tetapi tetap menyisakan keindahan. Pabrik Semen Andalas Indonesia nampak masih tegak walaupun kondisinya berantakan. Poster-poster dari kelompok-kelompok surfer terpaku dipohon-pohon cemara. “Replant Aceh Beach”, dari kelompok surfer Australia.
Jalanan lurus dan mulus. Kenderaan lalu lalang, mobil penumpang jarak dekat, mobil pribadi dengan keluarga-keluarga yang sedang berwisata, kenderaan roda dua, pikup pengangkut bawang. Satu dua kenderaan L300 jurusan Lamno atau Calang. Jalanan menuju Melaboh di sebagian besar wilayah hancur total atau rusak berat karena bencana tsunami. Jalan pengganti yang dibangun TNI berupa tanah yang dikeraskan dengan sirtu, susah dilewati pada saat hujan, apalagi pada titik pendakian terjal. Jalan ini saat ini sedang dibangun kembali dengan dana sebagian dari USAid, sebagian lagi dari Pemerintah Jepang.
Setelah hampir satu jam menunggu di sebuah warung kecil di Lhong, akhirnya kawan-kawan muncul kembali. Perjalanan kami lanjutkan kembali pelan-pelan, tidak ingin melewati pemandangan indah sepanjang jalan. Secara perlahan, jalan mulai mendaki. Sekitar jam sebelas siang lewat kami sampai di puncak Geureutee. Di sini kami berhenti kembali.
Pemandangan indah sekali di sini. Jalan yang meliuk menyusuri pinggang gunung, sementara sebelah kanan lereng jurang menganga dengan batas laut di bawanya. Udara sejuk dan segar. Sebuah truk Fuso sarat muatan terengah-engah mendaki jalan. Mereka menuju Lamno, membawa barang-barang bantuan kemanusiaan.
Pada masa sebelum konflik memanas, di sini ada sebuah restoran besar “Pesanggrahan Geureutee”. Plang nama yang megah masih berdiri dengan kokoh disamping tangga batu yang menuju bangunan restoran di atas. Sekarang, hanya bangunannya saja yang masih tersisa, digantikan oleh pos TNI yang menjaga keamanan wilayah ini. Kenderaan-kenderaan yang menuju ke Meulaboh berhenti disini, membiarkan penumpangnya dibuai pemandangan indah sambil menikmati makanan. Sekarang kenderaan benhenti karena ada pos pemeriksaan TNI, walaupun sekarang tidak lagi sekeras dulu semasa konflik.
Perjalanan kami lanjutkan kembali. Melewati gunung Geureutee, jalan aspal berganti dengan jalan tanah yang dikeraskan dengan sirtu. Perjalanan menjadi tambah lamban dan membosankan, apalagi pemandangan bagus bertukar dengan hutan-hutan, kadang-kadang hilalang atau tanah gundul. Jalan baru dibangun menghindari pesisir pantai, membelah hutan belantara. Jalanan semakin lengang, kenderaan yang lewat bisa dihitung dengan jari. Kami memutuskan untuk makan siang di Lamno.
Di sebuah kamp pengungsi di tengah belantara (saya tidak tahu daerah apa itu), kami mengisi bensin. Kawan-kawan meninggalkan kami, melaju kencang, karena jalanan tanah sudah kembali berganti dengan aspal mulus dan datar. Tiba-tiba saja kami masuk perkampungan kembali. Rumah-rumah mulai rapat, jalanan mulai ramai dengan kenderaan roda dua dan empat. Kami sudah memasuki daerah Lamno.
Jalan raya yang menghubungkan Banda Aceh – Melauboh hilang total di Lamno. Apa yang dulunya jembatan panjang, kini tinggal ruas jalan menganga menuju lautan lepas. Kedai Lamno hilang dari peta. Pengganti jembatan di jalan yang baru dibuat adalah sebuah rakit penyeberangan yang digerakkan oleh dua mesin tempal Yamaha berkekuatan masing-masing 125 pk. Dua bual kenderaan L300, atau satu buah truk, ditambah dengan motor dan orang-orang untuk sekali jalan. Mereka dibiayai oleh NGO (tidak ada informasi NGO apa dan dari mana). Kenderaan dipungut bayaran, sekedar uang rokok untuk operator rakit yang berjumlah tiga orang.Di kedua sisi sungai kenderaan-kenderaan roda dua dan empat ramai menunggu giliran untuk diseberangkan. Sementara menunggu, kami berhenti untuk minum di warung yang berdekatan.
Menaiki rakit, ada perasaan ngeri. Apalagi beberapa waktu yang lalu, sebuah L300 kecebur ke sungai ketika rakit oleng. Tetapi tidak ada masalah kali ini. Rakit dibuat dari balok-balok kayu besar yang disusun rapat, dengan pelampung drum-drum besar yang diikatkan dengan kabel baja ke badan rakit. Seutas kabel baja besar direntangkan melintang disungai, menahan rakit tetap pada jalurnya. Di tengah sungai, seorang awak rakit mengumpulkan uang dari penumpang. Kami memberi dua ribu rupiah, sesuai dengan yang diminta. Perlu sekitar sepuluh menit menempuh penyeberangan.
Perjalanan kami teruskan, lama, lambat dan membosankan. Jalanan tanah bergelombang membuat kenderaan sulit untuk dipacu. Debu mengepul tebal saat kenderaan melintas dari arah yang berlawanan. Hampir tidak ada perkampungan, perjalanan melintasi hutan-hutan setengah gundul. Kadang-kadang laut muncul di sebelah kanan kami.
Saat asar, kami berhenti di sebuah kampung kecil, untuk sekedar beristirahat. Juanto memesan minuman hangat di sebuah warung kecil yang sepi, saya menanyakan meunasah untuk melaksanakan shalat asar.
Orang-orang yang ada di warung pembawaannya ramah. Rencana berhenti sebentar berubah hampir menjadi satu jam, karena terlibat pembicaraan yang seru dengan salah satu pengunjung warung. Kami bercerita segala hal, tetapi pembicaraan yang paling menarik adalah tentang masa-masa darurat operasi militer beberapa waktu yang lalu. Hampir semua lelaki pergi keluar dari desanya – merantau terpaksa – pada masa tersebut. Posisi desa yang di kaki gunung membuat mereka terjepit di antara dua pihak bersenjata yang bertikai: GAM menyebut mereka dengan kaki tangan TNI, sementara TNI menyebut mereka dengan sebutan pemberontak GAM. Kebanyakan dari mereka merantau ke Meulaboh – sekitar tiga jam perjalanan normal, atau ke Banda Aceh. Ada juga yang menyeberang lautan sampai ke Malaysia, dan sekarang jadi malas pulang. Hanya surat dan uang yang dikirimkan secara teratur dari rantau. Sekarang, setelah masa damai, perantau-perantau yang pulang kembali merasa tidak betah di kampung sendiri. Itulah sebabnya kampung nampak sepi, hanya anak-anak dan orang tua saja yang tinggal.
Perjalanan kami teruskan kembali, dengan harapan bisa mencapai Calang sebelum hari gelap. Harapan kami sia-sia, karena kondisi jalan aspal yang compang-camping membuat perjalanan menjadi lambat. Dalam perjalanan kami menyaksikan panorama matahari tenggelam yang sangat indah. Langit kemerahan membara, kontras dengan laut Calang yang biru kehijauan. Sayang sekali, karena terburu-buru, Juanto tidak mau saya ajak berhenti untuk mengambil gambar matahari tenggelam.
Kami mencapai Calang selepas magrib. Suasana gelap sekali, karena penerangan listrik tidak ada. Cahaya benderang mucul dari kamp-kamp pengungsi, yang berasal dari generator yang digerakkan oleh mesin diesel. Di depan tugu simpang tiga kami berhenti di sebuah warung untuk makan malam, yang Cuma diterangi oleh beberapa lampu teplok. Makan malam seadanya, sisa-sisa makanan dari siang tadi. Kehidupan kota Calang di malam hari belum kembali seperti dulu.
Perjalanan kami teruskan kembali, melintasi jalan aspal yang lurus. Kami tidak berani ngebut, khawatir akan lubang-lubang besar menganga yang tiba-tiba saja bisa muncul di depan mata. Tidak banyak kenderaan yang kami jumpai di jalan. Beberapa sepeda motor melintasi kami dengan terburu-buru, pengendaranya didesak oleh suatu keperluan. Nampaknya mereka sudah mengenal kondisi jalan, jadi mereka bisa ngebut dengan kencang.
Melewati Teunom, perjalanan selanjutnya adalah mimpi buruk. Suasana Cot Gajah Mate yang gelap gulita menimbulkan kengerian yang luar biasa. Kiri kanan jalan gelap total, karena berupa hutan yang tidak berpenghuni. Jalanan yang diisi dengan batang-batang kayu kemudian ditimbun tanah menimbulkan rasa berkendara yang sangat tidak nyaman. Tanahnya sudah hilang, tinggal bongkahan potongan-potongan kayu yang membuat sepeda motor melonjak-lonjak setiap rodanya melindas. Beberapa kilometer kami melaju dengan kecepatan 40-50 km/jam, dengan lonjakan-lonjakan hebat yang menimbulkan sakit pinggang. Debu membuat wajah kami menjadi tebal, tetapi tidak ada rencana sedikitpun untuk berhenti di tempat yang mengerikan ini. Seberkas cahaya jauh di depan kami memberikan sedikit ketenangan – ada orang di depan. Rupanya sebuah truk yang sedang mogok, awaknya sedang berusaha sedapat-dapatnya supaya kenderaan tersebut bisa berjalan kembali. Kami tidak berhenti.
Memasuki perkebunan kelapa yang luas, hati mulai sedikit tenang. Kami sudah memasuki perkampungan. Jalanan bergelombang sudah hilang, berganti dengan jalanan tanah berdebu tebal. Tanah jalan sudah tidak keras lagi, berupa tanah gembur yang bisa membuat roda sepeda motor meliuk-liuk karena tergelincir. Perjalanan bisa lebih santai sekarang, dan beberapa waktu lagi kami akan memasuki Arongan Lambalek. Kami kembali ke peradaban. Jalanan debu berganti dengan aspal kembali, dan walaupun kondisinya tidak mulus, jalanan aspal ini terus melewati daerah Samatiga, sampai ke simpang tiga Suak Timah. Dari Suak Timah, sekitar setengah jam perjalanan kami kembali melintasi jalan tanah yang dikerasi dengan batu dan pasir. Kami baru bisa menarik napas lega ketika kami kembali menjumpai aspal mulus jang menuju Jl. Imam Bonjol Meulaboh – jalan baru yang baru selesai beberapa waktu lalu.
Sekitar jam dua belas malam kami sampai di Kantor DInkes Meulaboh, dan menjumpai dua orang petugas Sekuriti CRS – Ramang dan Pak Syukur dengan main kartu dengan asyik. Mereka kaget dengan kemunculan kami, kemudian tertawa berbarengan. Wajah kami tertutup debu tebal yang hitam, hanya sekitar mata yang bebas debu karena terlindung oleh kacamata, membuat tampang kami menjadi aneh.
Rasa lapar yang mendera, membuat kami mencari makanan yang ada di kulkas. Hanya ada sebungkus mi instant, jelas tidak cukup untuk kami berdua, apalagi untuk berempat. Ramang kami suruh untuk mencari nasi goreng ke kota, sementara kami setelah membersihkan diri, bergabung dengan Pak Syukur untuk bercerita tentang perjalanan yang baru kami lakukan. Capek dan letih selama perjalanan sudah hilang lenyap, berganti dengan kepuasan menjalani sesuatu yang sudah lama diimpikan.