Sabang …
Tidak pernah ada rencana ke Sabang di antara kami sebelumnya. Keinginan tersebut muncul begitu saja diantara kami. Saat ini pekerjaan sedang tidak banyak, si Ross sedang berlibur selama sebulan ke luar Indonesia, diikuti dengan meeting selama beberapa hari di Medan. Praktis sampai tanggal 1 Februari tidak ada yang mengawasi, karena semua manager lagi berada di Medan. Kunci brankas dibawa manager keuangan, sehingga semua kegiatan yang melibatkan uang praktis menjadi terhenti. Semua keluhan dan kutukan mengenai segala sesuatu tentang uang jelas diarahkan ke manager keuangan.
Keputusan diambil: hari Jumat tanggal 20 Januari 2006 kami berlima (saya, Juanto, Ajil, Hidayat dan Sabri) akan berangkat ke Banda Aceh jam 7 pagi dengan menggunakan tiga sepeda motor milik CRS. Perjalanan akan melalui Geumpang, Tangse, Beureunuen dan seterusnya ke Banda Aceh. Dari Banda Aceh kami akan bertolak ke Sabang, menghabiskan satu hari di sana, kemudian setelah beristirahat sebentar di Banda Aceh, perjalanan akan diteruskan kembali ke Meulaboh lewat Lamno. Kedengarannya cukup menantang dan menjanjikan.
Seperti yang sudah diduga, jam 7 pagi belum ada yang siap untuk berangkat. Lima manusia itu jumlahnya terlalu banyak, dan semuanya punya urusan sediri-sendiri. Setelah sedikit saling mengomel dan saling menghardik, jam 11 siang perjalanan dimulai. Saya membonceng dengan Juanto, Sabri dengan Hidayat, Ajil sendirian. Motor Yamaha YT115 nampaknya cukup mampu untuk dibawa jalan jauh.
Melewati Tutut, kondisi jalan aspal berganti dengan jalan berkerikil, dengan banyak mendaki dan banyak tikungan tajam yang berbahaya. Jurang di kiri-kanan jalan, bukit terjal, membuat berjalanan menjadi mendebarkan. Pada satu tanjakan yang cukup curam, dengan kondisi jalan berkerikil, motor kami tidak sanggup mendaki. Terpaksa Juanto harus jalan kaki sementara. Jalan Meulaboh – Beureunuen melintasi Geumpang – Tangse sebenarnya sudah bagus. Hanya sekitar 20 km yang belum diaspal, dan sekarang lagi dalam tahap pengerasan. Sehabis tsunami 26 Desember 2004 yang menghancurkan jalan di lintasan barat Aceh, hanya jalan inilah yang menjadi pilihan bagi mereka yang ingin ke Meulaboh.
Sekitar jam satu siang kami sampai di Gunung Kubu Aneuk Manyak. Mobil penumpang umum banyak yang berhenti di sini, penumpang dan supirnya istirahat makan siang dan salat. Kami ikut berhenti untuk sekedar minum dan makan makanan kecil.
Hujan mulai turun sejak di Geumpang. Dalam gerimis mereka berempat sempat mandi di sungai yang mengalir di belakang kota Geumpang. Cuaca yang dingin tidak menghambat mereka berenang berlama-lama dalam air sungai. Setelah mengisi bensin, perjalanan berlanjut kembali.
Melewati Tangse, hujan turun sangat lebat. Kami sibuk memakai mantel. Kamera harus dibungkus kantong plastic supaya tidak kemasukan air. Beberapa kali kami terpaksa berhenti. Perjalanan menjadi lambat. Saat magrib kami baru mencapai Lamlo. Masih sekitar 130 km lagi ke Banda Aceh.
Perjalanan kami teruskan. Hujan sudah berhenti, jadi kecepatan sepeda motor sudah boleh ditambah sekarang. Setelah mengisi bensin di SPBU Tijue, kami meneruskan perjalanan dan berhenti untuk makan malam di Saree pada jam 10:00 malam. Satu jam kami beristirahat di sini. Memasuki Banda Aceh sudah mendekali jam 12 malam. Saat saya dengan Juanto sibuk merundingkan dimana mereka akan menginap malam ini, Dayat dengan Ajil sibuk merundingkan masalah belanja pakaian. Hotel-hotel penuh, karena akhir pekan. Akhirnya dapat juga kamar di Wisma Kutaraja, di depan Hotel Rasamala Seutui. Lumayan, daripada tidur di Mesjid seperti direncanakan semula kalau tidak dapat hotel. Saya langsung pulang kerumah meninggalkan mereka, dengan janji akan menjemput besok pagi untuk keliling Banda Aceh.
Paginya saya menjemput mereka di penginapan. Setengah terkantuk-kantuk kami menikmati sarapan di sekitar Punge, kemudian menengok PLTD terapung yang sekarang berada di pemukiman di Punge. Mereka mengambil banyak gambar disini.
Acara keliling dilanjutkan ke Blang Padang, dengan foto-foto norak di sekitar pesawat terbang. Begitu juga di Mesjid Raya Baiturrahman, yang kebetulan sedang ramai dengan pengunjung. Terakhir kami ke kampus Unsyiah Darussalam, dimana sekaligus kami makan siang.
Ferry ke Sabang berangkat jam 14:00 siang, sementara kami sudah berada di sana sejak jam 13:00. Setelah membeli tiket, kami menaikkan sepeda motor ke Ferry dan menunggu keberangkatan. Cukup banyak penumpang dalam ferry, karena sedang akhir pekan. Ada juga orang asing, yang kemungkinan ketinggalan kapal cepat yang sudah berangkat duluan. Lama sekali rasanya menunggu kapal berangkat, yang akhirnya berangkat juga jam 14:40. Pemandangan bagus sekali, dengan laut biru kehijauan yang sangat luar biasa. Ombak yang tidak seberapa besar menghempas dinding kapat, membuat beberapa ayunan. Khawatir juga sedikit, karena kondisi kapal yang sudah cukup tua, ditambah lagi dengan muatan yang padat, kenderaan, barang dan penumpang. Mendekati jam lima sore, kamipun berlabuh di Balohan, Sabang.
Acara pertama adalah mencari penginapan. Kami tidak mau pengalaman di Banda Aceh terulang kembali. Ternyata tidak seperti yang kami bayangkan, hotel lumayan kosong. Kami mendapat kamar di sebuah hotel milik orang Cina, dengan kondisi yang cukup bagus. Saya sekamar berdua dengan Juanto, mereka bertiga sekamar. Setelah meletakkan barang-barang di hotel, kami keliling menikmati pemandangan Sabang yang belum pernah kami tengok sebelumnya. Jalan-jalan di Sabang hampir semuanya satu arah – itu yang membuat orang-orang menunjukkan wajah heran ketika kami sekali salah jalan. Kotanya cukup bersih dan indah, dengan kondisi berbukit-bukit. Dari segala posisi laut masih nampak. Pemandangan cukup bagus. Kami mengambil puluhan gambar di berbagai tempat. Suasana matahari terbenam di Aneuk Laot cukup memukau. Begitu juga suasana malam hari di taman kota yang terletak di atas bukit, dengan lampu-lampu yang benderang di bawah dan laut dengan lampu-lampu kapal yang kelap-kelip. Makan malam kami lakukan di salah satu rumah makan di depan hotel, dengan menu makanan laut masakan khas Aceh. Makanannya enak dan terjangkau.
Pagi harinya, pada saat ketiga kawan lainnya masih tidur, saya dan Juanto kembali mengelilingi kota Sabang. Sayang sekali jika ada pemandangan indah di pagi hari yang terlewati. Kami mengambil banyak gambar di berbagai tempat. Tidak ada bekas kerusakan karena tsunami di Sabang, setidaknya di pantai-pantai yang kami lewati. Secara ajaib gelombang tsunami melewati Sabang dari pantai sebelah barat, sebelum kemudian menghempaskan bencana ke daerah Pidie, sampai ke Lhok Seumawe. Mobil-mobil eksotis berkeliaran, begitu juga dengan motor-motor besar. Kenderaan tersebut tidak boleh keluar Sabang, karena tidak ada izin masuknya.
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, saya akan pulang duluan dengan kapal cepat, sedangkan kawan-kawan akan tinggal sehari lebih lama untuk mengelilingi kota Sabang. Nanti kami akan berkumpul kembali di Banda Aceh untuk kemudian meneruskan perjalanan kembali ke Meulaboh melewati pantai Barat, lewat Lamno.
Perjalanan dengan kapal cepat hanya memakan waktu sekitar 50 menit dari Sabang ke pelabuhan Ulee Lheue. Penumpang hanya sedikit, termasuk beberapa warga asing yang kembali dari berwisata ke Sabang. Jam sembilan lewat sedikit kapal sudah merapat ke Pelabuhan.
* * * *
Perjalanan kembali ke Meulaboh yang seharusnya mulai pagi-pagi benar, tertunda sampai hampir jam sepuluh bagi. Ada saya yang menjadi kendala. Terakhir pada saat rombongan kami mencapai daerah Lhok Nga, sekitar dua puluh kilometer dari Banda Aceh, ketahuan bahwa tas kepunyaan Hidayat ketinggalan di losmen. Hidayat dan Sabri kembali ke Banda Aceh untuk menjemput, sementara kami berangkat pelan-pelan. Dibeberapa tempat di Lhok Nga dan Lhong kami berhenti untuk menikmati pemandangan yang indah. Jembatan-jembatan yang hancur sementara telah diganti dengan jembatan bailey. Bekas-bekas tempat wisata yang hancur belum pulih seperti seperti sedia kala, tetapi tetap menyisakan keindahan. Pabrik Semen Andalas Indonesia nampak masih tegak walaupun kondisinya berantakan. Poster-poster dari kelompok-kelompok surfer terpaku dipohon-pohon cemara. “Replant Aceh Beach”, dari kelompok surfer Australia.
Jalanan lurus dan mulus. Kenderaan lalu lalang, mobil penumpang jarak dekat, mobil pribadi dengan keluarga-keluarga yang sedang berwisata, kenderaan roda dua, pikup pengangkut bawang. Satu dua kenderaan L300 jurusan Lamno atau Calang. Jalanan menuju Melaboh di sebagian besar wilayah hancur total atau rusak berat karena bencana tsunami. Jalan pengganti yang dibangun TNI berupa tanah yang dikeraskan dengan sirtu, susah dilewati pada saat hujan, apalagi pada titik pendakian terjal. Jalan ini saat ini sedang dibangun kembali dengan dana sebagian dari USAid, sebagian lagi dari Pemerintah Jepang.
Setelah hampir satu jam menunggu di sebuah warung kecil di Lhong, akhirnya kawan-kawan muncul kembali. Perjalanan kami lanjutkan kembali pelan-pelan, tidak ingin melewati pemandangan indah sepanjang jalan. Secara perlahan, jalan mulai mendaki. Sekitar jam sebelas siang lewat kami sampai di puncak Geureutee. Di sini kami berhenti kembali.
Pemandangan indah sekali di sini. Jalan yang meliuk menyusuri pinggang gunung, sementara sebelah kanan lereng jurang menganga dengan batas laut di bawanya. Udara sejuk dan segar. Sebuah truk Fuso sarat muatan terengah-engah mendaki jalan. Mereka menuju Lamno, membawa barang-barang bantuan kemanusiaan.
Pada masa sebelum konflik memanas, di sini ada sebuah restoran besar “Pesanggrahan Geureutee”. Plang nama yang megah masih berdiri dengan kokoh disamping tangga batu yang menuju bangunan restoran di atas. Sekarang, hanya bangunannya saja yang masih tersisa, digantikan oleh pos TNI yang menjaga keamanan wilayah ini. Kenderaan-kenderaan yang menuju ke Meulaboh berhenti disini, membiarkan penumpangnya dibuai pemandangan indah sambil menikmati makanan. Sekarang kenderaan benhenti karena ada pos pemeriksaan TNI, walaupun sekarang tidak lagi sekeras dulu semasa konflik.
Perjalanan kami lanjutkan kembali. Melewati gunung Geureutee, jalan aspal berganti dengan jalan tanah yang dikeraskan dengan sirtu. Perjalanan menjadi tambah lamban dan membosankan, apalagi pemandangan bagus bertukar dengan hutan-hutan, kadang-kadang hilalang atau tanah gundul. Jalan baru dibangun menghindari pesisir pantai, membelah hutan belantara. Jalanan semakin lengang, kenderaan yang lewat bisa dihitung dengan jari. Kami memutuskan untuk makan siang di Lamno.
Di sebuah kamp pengungsi di tengah belantara (saya tidak tahu daerah apa itu), kami mengisi bensin. Kawan-kawan meninggalkan kami, melaju kencang, karena jalanan tanah sudah kembali berganti dengan aspal mulus dan datar. Tiba-tiba saja kami masuk perkampungan kembali. Rumah-rumah mulai rapat, jalanan mulai ramai dengan kenderaan roda dua dan empat. Kami sudah memasuki daerah Lamno.
Jalan raya yang menghubungkan Banda Aceh – Melauboh hilang total di Lamno. Apa yang dulunya jembatan panjang, kini tinggal ruas jalan menganga menuju lautan lepas. Kedai Lamno hilang dari peta. Pengganti jembatan di jalan yang baru dibuat adalah sebuah rakit penyeberangan yang digerakkan oleh dua mesin tempal Yamaha berkekuatan masing-masing 125 pk. Dua bual kenderaan L300, atau satu buah truk, ditambah dengan motor dan orang-orang untuk sekali jalan. Mereka dibiayai oleh NGO (tidak ada informasi NGO apa dan dari mana). Kenderaan dipungut bayaran, sekedar uang rokok untuk operator rakit yang berjumlah tiga orang.Di kedua sisi sungai kenderaan-kenderaan roda dua dan empat ramai menunggu giliran untuk diseberangkan. Sementara menunggu, kami berhenti untuk minum di warung yang berdekatan.
Menaiki rakit, ada perasaan ngeri. Apalagi beberapa waktu yang lalu, sebuah L300 kecebur ke sungai ketika rakit oleng. Tetapi tidak ada masalah kali ini. Rakit dibuat dari balok-balok kayu besar yang disusun rapat, dengan pelampung drum-drum besar yang diikatkan dengan kabel baja ke badan rakit. Seutas kabel baja besar direntangkan melintang disungai, menahan rakit tetap pada jalurnya. Di tengah sungai, seorang awak rakit mengumpulkan uang dari penumpang. Kami memberi dua ribu rupiah, sesuai dengan yang diminta. Perlu sekitar sepuluh menit menempuh penyeberangan.
Perjalanan kami teruskan, lama, lambat dan membosankan. Jalanan tanah bergelombang membuat kenderaan sulit untuk dipacu. Debu mengepul tebal saat kenderaan melintas dari arah yang berlawanan. Hampir tidak ada perkampungan, perjalanan melintasi hutan-hutan setengah gundul. Kadang-kadang laut muncul di sebelah kanan kami.
Saat asar, kami berhenti di sebuah kampung kecil, untuk sekedar beristirahat. Juanto memesan minuman hangat di sebuah warung kecil yang sepi, saya menanyakan meunasah untuk melaksanakan shalat asar.
Orang-orang yang ada di warung pembawaannya ramah. Rencana berhenti sebentar berubah hampir menjadi satu jam, karena terlibat pembicaraan yang seru dengan salah satu pengunjung warung. Kami bercerita segala hal, tetapi pembicaraan yang paling menarik adalah tentang masa-masa darurat operasi militer beberapa waktu yang lalu. Hampir semua lelaki pergi keluar dari desanya – merantau terpaksa – pada masa tersebut. Posisi desa yang di kaki gunung membuat mereka terjepit di antara dua pihak bersenjata yang bertikai: GAM menyebut mereka dengan kaki tangan TNI, sementara TNI menyebut mereka dengan sebutan pemberontak GAM. Kebanyakan dari mereka merantau ke Meulaboh – sekitar tiga jam perjalanan normal, atau ke Banda Aceh. Ada juga yang menyeberang lautan sampai ke Malaysia, dan sekarang jadi malas pulang. Hanya surat dan uang yang dikirimkan secara teratur dari rantau. Sekarang, setelah masa damai, perantau-perantau yang pulang kembali merasa tidak betah di kampung sendiri. Itulah sebabnya kampung nampak sepi, hanya anak-anak dan orang tua saja yang tinggal.
Perjalanan kami teruskan kembali, dengan harapan bisa mencapai Calang sebelum hari gelap. Harapan kami sia-sia, karena kondisi jalan aspal yang compang-camping membuat perjalanan menjadi lambat. Dalam perjalanan kami menyaksikan panorama matahari tenggelam yang sangat indah. Langit kemerahan membara, kontras dengan laut Calang yang biru kehijauan. Sayang sekali, karena terburu-buru, Juanto tidak mau saya ajak berhenti untuk mengambil gambar matahari tenggelam.
Kami mencapai Calang selepas magrib. Suasana gelap sekali, karena penerangan listrik tidak ada. Cahaya benderang mucul dari kamp-kamp pengungsi, yang berasal dari generator yang digerakkan oleh mesin diesel. Di depan tugu simpang tiga kami berhenti di sebuah warung untuk makan malam, yang Cuma diterangi oleh beberapa lampu teplok. Makan malam seadanya, sisa-sisa makanan dari siang tadi. Kehidupan kota Calang di malam hari belum kembali seperti dulu.
Perjalanan kami teruskan kembali, melintasi jalan aspal yang lurus. Kami tidak berani ngebut, khawatir akan lubang-lubang besar menganga yang tiba-tiba saja bisa muncul di depan mata. Tidak banyak kenderaan yang kami jumpai di jalan. Beberapa sepeda motor melintasi kami dengan terburu-buru, pengendaranya didesak oleh suatu keperluan. Nampaknya mereka sudah mengenal kondisi jalan, jadi mereka bisa ngebut dengan kencang.
Melewati Teunom, perjalanan selanjutnya adalah mimpi buruk. Suasana Cot Gajah Mate yang gelap gulita menimbulkan kengerian yang luar biasa. Kiri kanan jalan gelap total, karena berupa hutan yang tidak berpenghuni. Jalanan yang diisi dengan batang-batang kayu kemudian ditimbun tanah menimbulkan rasa berkendara yang sangat tidak nyaman. Tanahnya sudah hilang, tinggal bongkahan potongan-potongan kayu yang membuat sepeda motor melonjak-lonjak setiap rodanya melindas. Beberapa kilometer kami melaju dengan kecepatan 40-50 km/jam, dengan lonjakan-lonjakan hebat yang menimbulkan sakit pinggang. Debu membuat wajah kami menjadi tebal, tetapi tidak ada rencana sedikitpun untuk berhenti di tempat yang mengerikan ini. Seberkas cahaya jauh di depan kami memberikan sedikit ketenangan – ada orang di depan. Rupanya sebuah truk yang sedang mogok, awaknya sedang berusaha sedapat-dapatnya supaya kenderaan tersebut bisa berjalan kembali. Kami tidak berhenti.
Memasuki perkebunan kelapa yang luas, hati mulai sedikit tenang. Kami sudah memasuki perkampungan. Jalanan bergelombang sudah hilang, berganti dengan jalanan tanah berdebu tebal. Tanah jalan sudah tidak keras lagi, berupa tanah gembur yang bisa membuat roda sepeda motor meliuk-liuk karena tergelincir. Perjalanan bisa lebih santai sekarang, dan beberapa waktu lagi kami akan memasuki Arongan Lambalek. Kami kembali ke peradaban. Jalanan debu berganti dengan aspal kembali, dan walaupun kondisinya tidak mulus, jalanan aspal ini terus melewati daerah Samatiga, sampai ke simpang tiga Suak Timah. Dari Suak Timah, sekitar setengah jam perjalanan kami kembali melintasi jalan tanah yang dikerasi dengan batu dan pasir. Kami baru bisa menarik napas lega ketika kami kembali menjumpai aspal mulus jang menuju Jl. Imam Bonjol Meulaboh – jalan baru yang baru selesai beberapa waktu lalu.
Sekitar jam dua belas malam kami sampai di Kantor DInkes Meulaboh, dan menjumpai dua orang petugas Sekuriti CRS – Ramang dan Pak Syukur dengan main kartu dengan asyik. Mereka kaget dengan kemunculan kami, kemudian tertawa berbarengan. Wajah kami tertutup debu tebal yang hitam, hanya sekitar mata yang bebas debu karena terlindung oleh kacamata, membuat tampang kami menjadi aneh.
Rasa lapar yang mendera, membuat kami mencari makanan yang ada di kulkas. Hanya ada sebungkus mi instant, jelas tidak cukup untuk kami berdua, apalagi untuk berempat. Ramang kami suruh untuk mencari nasi goreng ke kota, sementara kami setelah membersihkan diri, bergabung dengan Pak Syukur untuk bercerita tentang perjalanan yang baru kami lakukan. Capek dan letih selama perjalanan sudah hilang lenyap, berganti dengan kepuasan menjalani sesuatu yang sudah lama diimpikan.
Meulaboh 2005
Cerita-cerita dan catatan kegiatan dari Meulaboh dan bagian Aceh lainnya selama bergabung dengan Catholic Relief Services untuk Aceh Tsunami rehabilitation, sejak Maret 2005. Photographs and text by Fauzi
Friday, January 20, 2006
Wednesday, December 28, 2005
Kuburan Teuku Umar – Desa Meugoe
Tanggal 21 Desember 2005 saya, Hidayat, Sabri dan Anto dengan menggunakan Ranger menuju ke Desa Meugoe, kira-kira 30 km dari Meulaboh ke arah Tutut. Jalan kecil beraspal, awalnya cukup mulus, kemudian berganti dengan aspal kasar begitu keluar dari kota Meulaboh. Perkampungan rapat di kiri kanan jalan, dengan sawah-sawah yang baru dibajak menunggu tanah masak untuk ditanam. Di beberapa tempat jalan aspal retak besar nyaris terbelah, bekas gempa besar 24 Desember 2004 lalu.
Desa Meugoe adalah tempat Teuku Umar dimakamkan. Tertembak pada malam 11 Februari 1899 di Suak Ujong Kalak, Teuku Umar dibawa lari pengikutnya menghindari tangkapan tentara Belanda. Melintasi hutan belantara, menepuh jarak 30 km dari Suak Ujong Kalak ke Meugoe di malam hari bukan perkara mudah. Jika jasad Teuku Umar jatuh ke tangan Belanda, tentu akan dipergunakan untuk menjatuhkan mental pejuang-pejuang Aceh lainnya.
+++
Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh (sekarang ibu kota Kabupaten Aceh Barat) pada tahun 1854. Semasa kecilnya, Teuku Umar tidak pernah mendapatkan pendidikan yang baik. Hidupnya bebas, berandalan, suka berkelahi. Ia memiliki kemauan yang keras dan sukar untuk ditundukkan. Teman-temanya mengenalnya sebagai orang yang tidak mengenal rasa takut. Dalam segala persoalan Teuku Umar memiki sifat yang keras dan pantang menyerah.
Teuku Umar aslinya adalah keturunan Minangkabau. Kakeknya adalah Datuk Machdum Sakti, yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh Sultan Machmud Syah yang lebih dikenal dengan Sultan Buyung. Datuk Machdum Sakti waktu itu adalah penguasa daerah Meureubo.Datuk Machdum Sakti punya dua putra, Nantan Seutia dan Akhmad Mahmud. Teuku Akhmad Mahmud merupakan orang tua Teuku Umar.
Pada usia muda, ia sudah diangkat menjadi kepala kampung di daerah Dayah Meulaboh.
Pada usia dua puluh tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sapiah, putri Uleebalang (Hulubalang Geumpang). Kemudian Teuku Umar menikah lagi dengan Nyak Meuligoe, anak Panglima Sagoe XXV Mukim. Sejak pernikahan yang kedua ini, ia mulai menggunakana gelar bangsawannya, Teuku.
Pada saat Belanda menyerbu Aceh pada tahun 1873, Teuku Umar baru berusia sembilan belas tahun. Pada usianya yang sangat belia tersebut, Teuku Umar ikut berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya.
Pada saat ia berusia 26 tahun, Teuku Umar melamar Cut Nyak Dien waktu itu statusnya janda karena ditinggal mati suaminya Ibrahim Lamnga yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 di Gle Tarum. Awalnya Cut Nyak Dien menolak, tetapi kemudia dia menerima lamaran tersebut dengan syarat dia boleh ikut serta ke medan perang. Mereka punya seorang putri yang diberi nama Cut Gambang. Selama perkawinannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dien ikut serta dalam berbagai pertempuran melawan Belanda.
Peperangan terus berlanjut. Teuku Umar dengan pengkutnya melakukan gerakan mendekati pihak Belanda dan membina hubungan baik. Kelanjutannya adalah pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pengikutnya yang berjumlah sekitar 250 orang berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh) untuk menyerahkan diri ke pemerintah Belanda. Teuku Umar dicap sebagai pengkhianat oleh rakyat Aceh. Belanda jelas kesenangan, karena musuh mereka yang sangat berbahaya dan berpengaruh balik arah membantu mereka. Teuku Umar diberi gelar Johan Pahlawan, dan pasukannya dipersenjatai dengan lengkap. Cut Nyak Dien yang malu karena tindakan suaminya ini, menjadi ribut dengan Teuku Umar. Ajakan Cut Nyak Dien supaya suaminya kembali melawan Belanda bersama rakyat Aceh lainnya tidak dihiraukan oleh Teuku Umar. Menghargai kesetiaan Teuku Umar, kepala pemerintahan Belanda di Aceh Deykerhoff mengabulkan permintaan Teuku Umar untuk menambah 17 panglima dan seratus dua puluh prajurit, termasuk seorang Panglima Laot sebagai wakilnya.
Tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kembali balik arah bergabung dengan pejuang Aceh. Selama berada dalam pasukan Belanda, pelan-pelan ia memperkuat pasukannya dengan gerilyawan Aceh, sesuatu yang tidah pernah diungkapkannya sebelumnya. Berbelotnya Teuku Umar membawa 800 pucuk senjata, 25000 peluru, 500 kg mesiu dan uang 18000 gulden. Pengkhianatan ini dikenal dengan het verrad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Berbelotnya Teuku Umar menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi untuk menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dien beserta pasukannya. Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya. Gerilyawan Aceh menggunakan senjata yang dibawa lari dari Belanda untuk menjawab tantangan Belanda dan berhasil mempermalukan Jenderal Van Swieten. Penggantinya Jenderal Pel tewas dalam pertempuran dan pasukan Belanda kembali berada dalam kekacauan. Gerilyawan Aceh berhasil mendesak Belanda dan menduduki Kutaradja dan Meulaboh. Belanda terus menerus mengganti Jenderalnya, sementara kedudukan gerilyawan Aceh semakin kuat. Pada saat Jenderal Van der Heyden bertugas, tindakan-tindakan brutal untuk menekan gerilyawan Aceh dilakukan dengan segala cara, termasuk membantai semua laki-laki, wanita dan anak-anak yang ada di desa-desa. Akibatnya, rakyat Aceh hidup dalam ketakutan.
Pengganti Jenderal Van der Heyden, Jenderal Van Heutz, memanfaatkan ketakutan rakyat Aceh dan meneruskan aksi terornya untuk menekan Teuku Umar. Ia memanfaatkan orang Aceh untuk mendapatkan informasi mengenai Teuku Umar. Cuak (mata-mata) Belanda Tengku Leubeh memberikan informasi kepada Belanda mengenai rencana Teuku Umar dan pasukannya untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Teuku Umar tertembak di malam hari di Suak Ujong Kalak.
+++
Desa Meugoe nampak sepi ketika kami sampai. Rumah-rumah berbaris di kiri kanan jalan. Tidak banyak orang-orang yang kami jumpai. Ranger yang kami tumpangi berbelok ke kiri, menyusuri jalan aspal kecil dan berhendi di depan gapura, yang merupakan pintu masuk ke kompleks makan. Nampaknya Anto, supir kami, sudah terbiasa kemari.
Di kedua tiang gapura dengan prasasti yang ditandatangani oleh Bupati Aceh Barat Teuku Rusman pada 11 Februari 1992. Tertulis di salah satu prasasti ucapan Teuku Umar yang sangat terkenal, sebelum ia tertembak, “Beugoh singoh geutanyoe jeb kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid”. Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh, atau saya akan gugur.
Kami menyusuri jalan beton. Mobil tidak bisa lagi melewati jalan ini. Pohon akasia manaungi kiri kanan jalan, dengan daun-daun menutupi tanah memberikan suasana kusam. Rumput tumbuh tinggi di beberapa tempat. Beberapa ekor kambing berkeliaran mencari makan. Jalan mendaki dan menuruni bukit, menuju ke kompleks makam. Seorang lelaki tua sedang memotong rumput. Saya mengangguk memberi salam. Sejenak kami berhenti untuk bercakap-cakap. “Tidak banyak orang ke sini pada waktu-waktu seperti ini”, orang tua tersebut menjawab pertanyaan kami dalam bahasa Aceh, dengan logat kental Aceh Barat. “Nanti, tanggal 11 Februari, kompleks ini akan ramai seperti ‘piasan’. Orang-orang akan berdatangan untuk memperingati hari meninggalnya Teuku Umar”. Piasan adalah pesta ataupun perayaan.
Kami meneruskan perjalanan kami menaiki tangga-tangga beton. Cukup banyak anak tangga yang harus dijalani, untung saja tidak curam. Dan di depan kami tiba-tiba ada bangunan yang berbentuk benteng. Ternyata gapura lainnya yang merupakan pintu masuk ke kompleks makam. Kami melangkah ke dalamnya. Bangunan-bangunan dengan arsitektur Aceh berdiri megah, semuanya terbuat dari kayu. Sebelah kiri kami ada makam, yang diberi atap dan lantai keramik yang bersih. Sang Johan Pahlawan berbaring di sana dalam keabadian, dalam pelukan bumi Aceh yang dibelanya sampai titik darah yang penghabisan. Plang nama besar dari beton berdiri di sebelah kiri makam, dengan tulisan “Makan Pahlawan Nasional – Teuku Umar Johan Pahlawan. Lahir tahun 1854 gugur 11 Februari 1899 Suak Ujong Kalak Meulaboh”. Sebelah kiri plang nama tersebut terdapat bangunan bale-bale seperti Meunasah, begitu juga bangunan di sebelahnya, hanya saja panggungnya lebih tinggi. Dapur umum terletak di bagian bawah. Alat-alat masak terletak dengan rapi. Sebuah kancah besar menunjukkan jumlah tamu yang harus dilayani pada waktu-waktu tertentu. Tidak ada satu orangpun di sana saat itu. Penjaganya pasti pergi untuk suatu keperluan.
Disebelah dapur umum terletak sumber air, yang berupa bangunan beton dengan keramik yang bersih. Airnya dingin dan segar. Kami mengambil wudhu di sini untuk melaksanakan shalat asar. Kemudian saya berkeliling kompleks untuk mengambil gambar. Suasana hening tenang. Bahkan suara hewan hutanpun nyaris tidak terdengar. Tidak ada angin berhembus sedikitpun. Daun-dan pepohonan tidak bergerak. Cahaya suram matahari dengan malas berusaha menembus daun-daun tebal untuk mencapai tanah. Kami berada di tengah hutan yang lembab, tetapi tidak ada seekor nyamukpun menggigit kami. Kompleks ini bersih dan terawat dengan baik.
Di tengah kompleks tumbuh sebatang pohon yang menjulang. Diameternya di bagian bawah lebih dari satu meter. Pada ketinggian sekitar tiga meter, pohon tersebut seolah terbelah menjadi tiga bagian. Sebuah gayung tersangkut di paku. Saya tidak mengerti maksudnya, sampai Anto menjelaskan. Dia menaiki sebuah bangku yang nampaknya sengaja diletakkan di sana, dan mengambil air yang ada di tempat pohon terbelah menjadi tiga dengan gayung. Airnya kemudian diminumnya. “Banyak orang mengatakan air yang diambil dari pohon ini mempunyai khasiat tertentu. Bisa menyembuhkan penyakit ataupun lain-lainnya”. Entah dari mana mitos tersebut bermula, yang jelas banyak orang mempercayainya.
Kompleks makam ini dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang tinggi menjulang, daun-daunya membuat payung tebal yang menghalangi cahaya matahari. Sesuatu yang aneh, karena di berbagai bagian Aceh lainnya – apalagi daerah sini, pohon-pohon besar nyaris tidak ada lagi. Semuanya dibabat habis oleh penjarah hutan yang hanya memikirkan keuntungan yang bisa diperolehnya. Ternyata keberadaan hutan perawan di sekitar kompleks makam Teuku Umar berhubungan dengan mitos lainnya.
Sering saya mendengar dari supir-supir L300 yang saya tumpangi dalam perjalanan Meulaboh – Banda Aceh lewat Geumpang, dalam radius beberapa kilometer di sekitar Desa Meugoe ini sering dijumpai harimau. Ada yang mengatakan harimau tersebut berwarna putih, ada yang mengatakan merah belang. Serinkali dijumpai pada saat matahari baru terbenam, menyeberangi jalan menuju ke arah sisi di mana kuburan Teuku Umar berada. Hewan tersebut berjalan dengan santai, tidak memperdulikan lampu mobil yang menyorot terang, bahkan melirikpun tidak. Saya sendiri, beberapa kali sampai ke daerah ini pada saat matahari terbenam, tidak seberuntung itu. Sekalipun saya belum pernah menengok hewan tersebut secara langsung. Harimau tersebut dipercaya sebagai penjaga kuburan Teuku Umar, sekaligus peronda abadi daerah ini. Kehadiran harimau tersebut membuat penebang-penebang pohon baik yang legal ataupun ilegal tidak berani mendekati daerah ini.
Di bagian kepala kuburan terletak sebuah kupiah meukeutob, penutup kepala khas Aceh yang biasa dipakai oleh Teuku Umar. Kuburannya sendiri ditaburi dengan kerikil yang berwarna putih, dengan nisan di bagian kepala dan kaki. Lebah-lebah berukuran besar nampaknya menyukai kerikil-kerikil tersebut dan memanfaatkannya sebagai sarang mereka. “Lebah-lebah ini ada setiap saat di sini, tetapi tidak pernah mengganggu siapapun. Belum pernah terdengar ada orang tersengat lebah-lebah tersebut,” Anto menjelaskan.
Kami duduk di tangga makam. Matahari semakin turun ke barat, sinarnya semakin suram. Hidayat minta difoto dengan latar belakang kompleks makam. “Untuk kenang-kenangan nanti waktu balik ke Jawa”, katanya.
Saatnya untuk balik ke Meulaboh. Kami kembali ke mobil melalui jalan tangga yang lain. Rupanya jalan beton bertangga dibuat mengelilingi makam, sehingga pengunjung yang masuk dan keluar tidak usah melalui jalan yang sama. Jalannya lebih landai, bahkan sebagian cenderung rata. Sama seperti jalan kami masuk tadi, kiri kanan jalan ditutupi oleh daun-daun kering yang menumpuk tebal. Sekali lagi saya menengok ke belakang. Beristirahatlah dengan tenang wahai sang Pahlawan. Tugasmu sudah selesai, kamu sudah syahid, pangkat tertinggi yang bisa diperoleh dalam hidup. Kaum bangsamu yang lain akan meneruskan cita-cita perjuanganmu ...
Tanggal 21 Desember 2005 saya, Hidayat, Sabri dan Anto dengan menggunakan Ranger menuju ke Desa Meugoe, kira-kira 30 km dari Meulaboh ke arah Tutut. Jalan kecil beraspal, awalnya cukup mulus, kemudian berganti dengan aspal kasar begitu keluar dari kota Meulaboh. Perkampungan rapat di kiri kanan jalan, dengan sawah-sawah yang baru dibajak menunggu tanah masak untuk ditanam. Di beberapa tempat jalan aspal retak besar nyaris terbelah, bekas gempa besar 24 Desember 2004 lalu.
Desa Meugoe adalah tempat Teuku Umar dimakamkan. Tertembak pada malam 11 Februari 1899 di Suak Ujong Kalak, Teuku Umar dibawa lari pengikutnya menghindari tangkapan tentara Belanda. Melintasi hutan belantara, menepuh jarak 30 km dari Suak Ujong Kalak ke Meugoe di malam hari bukan perkara mudah. Jika jasad Teuku Umar jatuh ke tangan Belanda, tentu akan dipergunakan untuk menjatuhkan mental pejuang-pejuang Aceh lainnya.
+++
Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh (sekarang ibu kota Kabupaten Aceh Barat) pada tahun 1854. Semasa kecilnya, Teuku Umar tidak pernah mendapatkan pendidikan yang baik. Hidupnya bebas, berandalan, suka berkelahi. Ia memiliki kemauan yang keras dan sukar untuk ditundukkan. Teman-temanya mengenalnya sebagai orang yang tidak mengenal rasa takut. Dalam segala persoalan Teuku Umar memiki sifat yang keras dan pantang menyerah.
Teuku Umar aslinya adalah keturunan Minangkabau. Kakeknya adalah Datuk Machdum Sakti, yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh Sultan Machmud Syah yang lebih dikenal dengan Sultan Buyung. Datuk Machdum Sakti waktu itu adalah penguasa daerah Meureubo.Datuk Machdum Sakti punya dua putra, Nantan Seutia dan Akhmad Mahmud. Teuku Akhmad Mahmud merupakan orang tua Teuku Umar.
Pada usia muda, ia sudah diangkat menjadi kepala kampung di daerah Dayah Meulaboh.
Pada usia dua puluh tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sapiah, putri Uleebalang (Hulubalang Geumpang). Kemudian Teuku Umar menikah lagi dengan Nyak Meuligoe, anak Panglima Sagoe XXV Mukim. Sejak pernikahan yang kedua ini, ia mulai menggunakana gelar bangsawannya, Teuku.
Pada saat Belanda menyerbu Aceh pada tahun 1873, Teuku Umar baru berusia sembilan belas tahun. Pada usianya yang sangat belia tersebut, Teuku Umar ikut berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya.
Pada saat ia berusia 26 tahun, Teuku Umar melamar Cut Nyak Dien waktu itu statusnya janda karena ditinggal mati suaminya Ibrahim Lamnga yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 di Gle Tarum. Awalnya Cut Nyak Dien menolak, tetapi kemudia dia menerima lamaran tersebut dengan syarat dia boleh ikut serta ke medan perang. Mereka punya seorang putri yang diberi nama Cut Gambang. Selama perkawinannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dien ikut serta dalam berbagai pertempuran melawan Belanda.
Peperangan terus berlanjut. Teuku Umar dengan pengkutnya melakukan gerakan mendekati pihak Belanda dan membina hubungan baik. Kelanjutannya adalah pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pengikutnya yang berjumlah sekitar 250 orang berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh) untuk menyerahkan diri ke pemerintah Belanda. Teuku Umar dicap sebagai pengkhianat oleh rakyat Aceh. Belanda jelas kesenangan, karena musuh mereka yang sangat berbahaya dan berpengaruh balik arah membantu mereka. Teuku Umar diberi gelar Johan Pahlawan, dan pasukannya dipersenjatai dengan lengkap. Cut Nyak Dien yang malu karena tindakan suaminya ini, menjadi ribut dengan Teuku Umar. Ajakan Cut Nyak Dien supaya suaminya kembali melawan Belanda bersama rakyat Aceh lainnya tidak dihiraukan oleh Teuku Umar. Menghargai kesetiaan Teuku Umar, kepala pemerintahan Belanda di Aceh Deykerhoff mengabulkan permintaan Teuku Umar untuk menambah 17 panglima dan seratus dua puluh prajurit, termasuk seorang Panglima Laot sebagai wakilnya.
Tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kembali balik arah bergabung dengan pejuang Aceh. Selama berada dalam pasukan Belanda, pelan-pelan ia memperkuat pasukannya dengan gerilyawan Aceh, sesuatu yang tidah pernah diungkapkannya sebelumnya. Berbelotnya Teuku Umar membawa 800 pucuk senjata, 25000 peluru, 500 kg mesiu dan uang 18000 gulden. Pengkhianatan ini dikenal dengan het verrad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Berbelotnya Teuku Umar menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi untuk menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dien beserta pasukannya. Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya. Gerilyawan Aceh menggunakan senjata yang dibawa lari dari Belanda untuk menjawab tantangan Belanda dan berhasil mempermalukan Jenderal Van Swieten. Penggantinya Jenderal Pel tewas dalam pertempuran dan pasukan Belanda kembali berada dalam kekacauan. Gerilyawan Aceh berhasil mendesak Belanda dan menduduki Kutaradja dan Meulaboh. Belanda terus menerus mengganti Jenderalnya, sementara kedudukan gerilyawan Aceh semakin kuat. Pada saat Jenderal Van der Heyden bertugas, tindakan-tindakan brutal untuk menekan gerilyawan Aceh dilakukan dengan segala cara, termasuk membantai semua laki-laki, wanita dan anak-anak yang ada di desa-desa. Akibatnya, rakyat Aceh hidup dalam ketakutan.
Pengganti Jenderal Van der Heyden, Jenderal Van Heutz, memanfaatkan ketakutan rakyat Aceh dan meneruskan aksi terornya untuk menekan Teuku Umar. Ia memanfaatkan orang Aceh untuk mendapatkan informasi mengenai Teuku Umar. Cuak (mata-mata) Belanda Tengku Leubeh memberikan informasi kepada Belanda mengenai rencana Teuku Umar dan pasukannya untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Teuku Umar tertembak di malam hari di Suak Ujong Kalak.
+++
Desa Meugoe nampak sepi ketika kami sampai. Rumah-rumah berbaris di kiri kanan jalan. Tidak banyak orang-orang yang kami jumpai. Ranger yang kami tumpangi berbelok ke kiri, menyusuri jalan aspal kecil dan berhendi di depan gapura, yang merupakan pintu masuk ke kompleks makan. Nampaknya Anto, supir kami, sudah terbiasa kemari.
Di kedua tiang gapura dengan prasasti yang ditandatangani oleh Bupati Aceh Barat Teuku Rusman pada 11 Februari 1992. Tertulis di salah satu prasasti ucapan Teuku Umar yang sangat terkenal, sebelum ia tertembak, “Beugoh singoh geutanyoe jeb kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid”. Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh, atau saya akan gugur.
Kami menyusuri jalan beton. Mobil tidak bisa lagi melewati jalan ini. Pohon akasia manaungi kiri kanan jalan, dengan daun-daun menutupi tanah memberikan suasana kusam. Rumput tumbuh tinggi di beberapa tempat. Beberapa ekor kambing berkeliaran mencari makan. Jalan mendaki dan menuruni bukit, menuju ke kompleks makam. Seorang lelaki tua sedang memotong rumput. Saya mengangguk memberi salam. Sejenak kami berhenti untuk bercakap-cakap. “Tidak banyak orang ke sini pada waktu-waktu seperti ini”, orang tua tersebut menjawab pertanyaan kami dalam bahasa Aceh, dengan logat kental Aceh Barat. “Nanti, tanggal 11 Februari, kompleks ini akan ramai seperti ‘piasan’. Orang-orang akan berdatangan untuk memperingati hari meninggalnya Teuku Umar”. Piasan adalah pesta ataupun perayaan.
Kami meneruskan perjalanan kami menaiki tangga-tangga beton. Cukup banyak anak tangga yang harus dijalani, untung saja tidak curam. Dan di depan kami tiba-tiba ada bangunan yang berbentuk benteng. Ternyata gapura lainnya yang merupakan pintu masuk ke kompleks makam. Kami melangkah ke dalamnya. Bangunan-bangunan dengan arsitektur Aceh berdiri megah, semuanya terbuat dari kayu. Sebelah kiri kami ada makam, yang diberi atap dan lantai keramik yang bersih. Sang Johan Pahlawan berbaring di sana dalam keabadian, dalam pelukan bumi Aceh yang dibelanya sampai titik darah yang penghabisan. Plang nama besar dari beton berdiri di sebelah kiri makam, dengan tulisan “Makan Pahlawan Nasional – Teuku Umar Johan Pahlawan. Lahir tahun 1854 gugur 11 Februari 1899 Suak Ujong Kalak Meulaboh”. Sebelah kiri plang nama tersebut terdapat bangunan bale-bale seperti Meunasah, begitu juga bangunan di sebelahnya, hanya saja panggungnya lebih tinggi. Dapur umum terletak di bagian bawah. Alat-alat masak terletak dengan rapi. Sebuah kancah besar menunjukkan jumlah tamu yang harus dilayani pada waktu-waktu tertentu. Tidak ada satu orangpun di sana saat itu. Penjaganya pasti pergi untuk suatu keperluan.
Disebelah dapur umum terletak sumber air, yang berupa bangunan beton dengan keramik yang bersih. Airnya dingin dan segar. Kami mengambil wudhu di sini untuk melaksanakan shalat asar. Kemudian saya berkeliling kompleks untuk mengambil gambar. Suasana hening tenang. Bahkan suara hewan hutanpun nyaris tidak terdengar. Tidak ada angin berhembus sedikitpun. Daun-dan pepohonan tidak bergerak. Cahaya suram matahari dengan malas berusaha menembus daun-daun tebal untuk mencapai tanah. Kami berada di tengah hutan yang lembab, tetapi tidak ada seekor nyamukpun menggigit kami. Kompleks ini bersih dan terawat dengan baik.
Di tengah kompleks tumbuh sebatang pohon yang menjulang. Diameternya di bagian bawah lebih dari satu meter. Pada ketinggian sekitar tiga meter, pohon tersebut seolah terbelah menjadi tiga bagian. Sebuah gayung tersangkut di paku. Saya tidak mengerti maksudnya, sampai Anto menjelaskan. Dia menaiki sebuah bangku yang nampaknya sengaja diletakkan di sana, dan mengambil air yang ada di tempat pohon terbelah menjadi tiga dengan gayung. Airnya kemudian diminumnya. “Banyak orang mengatakan air yang diambil dari pohon ini mempunyai khasiat tertentu. Bisa menyembuhkan penyakit ataupun lain-lainnya”. Entah dari mana mitos tersebut bermula, yang jelas banyak orang mempercayainya.
Kompleks makam ini dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang tinggi menjulang, daun-daunya membuat payung tebal yang menghalangi cahaya matahari. Sesuatu yang aneh, karena di berbagai bagian Aceh lainnya – apalagi daerah sini, pohon-pohon besar nyaris tidak ada lagi. Semuanya dibabat habis oleh penjarah hutan yang hanya memikirkan keuntungan yang bisa diperolehnya. Ternyata keberadaan hutan perawan di sekitar kompleks makam Teuku Umar berhubungan dengan mitos lainnya.
Sering saya mendengar dari supir-supir L300 yang saya tumpangi dalam perjalanan Meulaboh – Banda Aceh lewat Geumpang, dalam radius beberapa kilometer di sekitar Desa Meugoe ini sering dijumpai harimau. Ada yang mengatakan harimau tersebut berwarna putih, ada yang mengatakan merah belang. Serinkali dijumpai pada saat matahari baru terbenam, menyeberangi jalan menuju ke arah sisi di mana kuburan Teuku Umar berada. Hewan tersebut berjalan dengan santai, tidak memperdulikan lampu mobil yang menyorot terang, bahkan melirikpun tidak. Saya sendiri, beberapa kali sampai ke daerah ini pada saat matahari terbenam, tidak seberuntung itu. Sekalipun saya belum pernah menengok hewan tersebut secara langsung. Harimau tersebut dipercaya sebagai penjaga kuburan Teuku Umar, sekaligus peronda abadi daerah ini. Kehadiran harimau tersebut membuat penebang-penebang pohon baik yang legal ataupun ilegal tidak berani mendekati daerah ini.
Di bagian kepala kuburan terletak sebuah kupiah meukeutob, penutup kepala khas Aceh yang biasa dipakai oleh Teuku Umar. Kuburannya sendiri ditaburi dengan kerikil yang berwarna putih, dengan nisan di bagian kepala dan kaki. Lebah-lebah berukuran besar nampaknya menyukai kerikil-kerikil tersebut dan memanfaatkannya sebagai sarang mereka. “Lebah-lebah ini ada setiap saat di sini, tetapi tidak pernah mengganggu siapapun. Belum pernah terdengar ada orang tersengat lebah-lebah tersebut,” Anto menjelaskan.
Kami duduk di tangga makam. Matahari semakin turun ke barat, sinarnya semakin suram. Hidayat minta difoto dengan latar belakang kompleks makam. “Untuk kenang-kenangan nanti waktu balik ke Jawa”, katanya.
Saatnya untuk balik ke Meulaboh. Kami kembali ke mobil melalui jalan tangga yang lain. Rupanya jalan beton bertangga dibuat mengelilingi makam, sehingga pengunjung yang masuk dan keluar tidak usah melalui jalan yang sama. Jalannya lebih landai, bahkan sebagian cenderung rata. Sama seperti jalan kami masuk tadi, kiri kanan jalan ditutupi oleh daun-daun kering yang menumpuk tebal. Sekali lagi saya menengok ke belakang. Beristirahatlah dengan tenang wahai sang Pahlawan. Tugasmu sudah selesai, kamu sudah syahid, pangkat tertinggi yang bisa diperoleh dalam hidup. Kaum bangsamu yang lain akan meneruskan cita-cita perjuanganmu ...
Tuesday, November 15, 2005
Lebaran ...
Lebaran di kampung kali ini terasa sekali ramainya. Manusia-manusia bermunculan dari segala penjuru perantauan. Yang dulu tidak berani pulang karena berbagai alasan kini melenggang dengan nyaman di kampung halaman. Wajah-wajah tidak begitu dikenal berseliweran, dengan bisik-bisik yang beredar begitu mereka lewat, “dia baru turun”. Atau, “Dia sudah lima belas tahun tidak pulang”.
Dua hari menjelang lebaran, sama seperti di awal puasa, adalah hari meugang. Pasar-pasar menyediakan daging sapi dan kerbau. Harga daging yang kembali membumbung tinggi (terutama kerbau, karena di tempat kami, daging kerbau lebih bergengsi dibandingkan dengan daging sapi). Orang-orang kembali memenuhi pasar, terutama yang laki-laki (di tempat kami, yang belanja untuk kebutuhan dapur adalah laki-laki. Kaum perempuan, kalau tidak mendesak sekali, hanya belanja ‘kecil’ diwarung-warung terdekat). Orang-orang berusaha membawa sekilo dua kilo daging untuk keluarga, baik dibayar tunai ataupun hutang. Mereka yang kurang mampu mengupayakan makan daging dengan memotong ayam atau bebek. Kaum perempuan kembali dibuat sibuk di dapur memasak daging, yang biasanya dalam bentuk masakan tradisional aceh: sie (daging) puteh, sie mirah, reundang, sop dan lain-lain. Anak-anak tiap sebentar masuk dapur, minta izin untuk segera berbuka puasa dengan masakan daging yang mengepul-ngepul dikuali.Jawabannya biasanya hardikan untuk segera meyingkir sejauh mungkin dari dapur.
Takbiran dilakukan di meunasah beramai-ramai. Tidak ada pawai ataupun arak-arakan takbiran di kampung-kampung, hanya di kota-kota saja. Anak-anak tanggung memenuhi meunasah, kemudian menghilang. Mereka berkelompok-kelompok mengunjungi rumah-rumah, meminta kue (terutama timphan yang masih berasap-asap karena baru dimasak). Kue-kue tersebut mereka bawa ke meunasah untuk dimakan bersama-sama. Selesai takbiran, acara dilanjutkan dengan penerimaan zakat fitrah dan kemudian lagsung dibagikan malam itu juga. Biasanya, tidak ada yang tidur lagi, atau langsung tidur di meunasah.
Setelah Shalat Ied di mesjid, masyarakat yang laki-laki jarang langsung pulang ke rumah. Mereka berkumpul dulu di simpang-simpang jalan, di pos ronda atau di warung kopi yang sudah buka (seperti pernah saya ceritakan, pos jaga di kampung kami – mungkin juga di kampung-kampung lainnya di Pidie – menjadi tempat masyarakat berinteraksi, terumana yang laki-laki). Masyarakat saling berjumpa di sini, bermaaf-maafan, ngobrol ringan tentang segala hal. Jika ada wajah baru yang pulang dari perantauan, uang segera keluar (seringkali ditodong!) untuk membeli kopi dan sekedar penganan kecil.
Yang pulang dari rantau merasa harus menunjukkan suksesnya. Kenderaan-kenderaan dengan plat luar daerah parkir di mana-mana. Jalanan kampung yang biasanya sepi kini tak pernah sunyi dari kenderaan yang melintas. Kelompok-kelompok kecil terbentuk untuk mendengarkan cerita-cerita yang dibawa perantau. Makin jauh perantauannya, makin seru ceritanya dan makin banyak pendengarnya.
Rumah-rumah di kampung menyediakan kue-kue tradisional Aceh, timphan dan juga kue-kue lainnya, peukarah, samaloyang, bhoi. Kadang ada juga yang menyediakan meuseukat dan dodoi, manisan yang tingkat kemanisannya sangat mengerikan (manis sekali!). Setiap bertamu hampir pasti disuguhi timphan dalam berbagai versi: ada yang berisi sarikaya, ada yang hanya berisi kelapa manis karena dicampur gula. Mereka yang merasa dirinya lebih modern menyediakan kue-kue buatan pabrik yang nampak mewah dalam kehidupan di kampung. Untuk anak-anak yang bertamu (biasanya mereka menjalaninya dari rumah ke rumah) selalu ada salam temple yang besarnya tergantung dari kemampuan tuan rumah.
Sepeda motor sangat ramai dijalan raya, kebanyakan ditunggangi oleh anak-anak tanggung yang baru saja mengetahui cara memutar gas dan menekan rem beberapa waktu yang lalu. Jalanan menjadi berbahaya dan rawan kecelakaan.
Setelah dua atau tiga hari saling bersilaturrahmi ketempat kerabat dan keluarga, tibalah saatnya untuk melakukan hal yang selama konflik bersenjata nyaris terlupakan: berdarmawisata. Kenderaan roda dua dan empat, seringkali pikap terbuka yang baknya disesaki dengan manusia menuju berbagai tempat wisata. Tempat wisatanya sendiri unik: tempat yang ada airnya. Irigasi besar dengan sungai besar yang teduh (seperti irigasi Keumala dan Batee Iliek) menjadi tempat favorit dari dulu. Batee Iliek sendiri penuh sesak dengan manusia. Keluarga-keluarga menggelar tikar, mengeluarkan makanan yang sudah disiapkan dari rumah. Ada juga kelompok yang memotong kambing, dan sebentar kemudian harum kari sudah menyebar ke mana-mana. Pasangan-pasangan muda memilih untuk mojok ketempat-tempat yang lebih sepi. Ada juga yang mandi di sungai dangkal yang berair sangat jernih.
Kami sekeluarga juga sudah berniat ke sana. Setelah bersilaturrahmi dengan beberapa kerabat, tersadari bahwa Batee Iliek hanya berjarak beberapa belas kilometer lagi. Dengan mengendarai sepeda motor sewaan, kamipun menuju kesana - sekedar ingin mengetahui. Jalanan sangat ramai, sepeda motor dan mobil, kebanyakan pikap berisi penumpang. Semuanya menuju ke sana. Karena sudah waktunya makan siang, kami berhenti dulu di di Ulee Glee, kota kecil terdekat dengan Batee Iliek. Semua rumah makan di Ulee Glee penuh sesak dengan pengunjung. Susah kali untuk bisa makan dengan tenang – bahkan ada yang bersedia makan sambil berdiri. Kalau di Ulee Gle saja sudah begitu ramainya, bagaimana pula di Batee Iliek? Lebih baik tidak usah ke sana. Pulang saja, kami mengambil keputusan. Ternyata keputusan yang tepat, karena ternyata kemudian Batee Iliek menjadi rusuh.
Seperti yang diceritakan oleh sekelompok orang yang kami jumpai di pondok ie tubee (tempat jualan air tebu), pemuda-pemuda setempat yang dibuat gerah oleh pasangan-pasangan yang berpacaran tampa menghiraukan keadaan sekitar, mengambil tindakan kasar: dengan sepotong kayu mereka menggebuki setiap orang yang tidak mau menyingkir dari lokasi Batee Iliek. Orang-orang yang lagi makan dipaksa pergi, yang baru saja mau memasak kambing disuruh pulang. Ada juga yang konyol: ditengah keributan seorang anak tanggung menggebuk seorang kakek-kakek sambil berteriak, “dilarang berbuat maksiat di sini!”. Tentu saja keluarga si kakek menjadi marah dan membalas. Saling pukul terjadi, berakhir dengan keributan kecil.
Tempat-tempat lain yang dulunya (semasa konflik) merupakan tempat mengerikan yang harus dihindari sejauh-jauhnya, kini menjadi tempat favorit. Air terjun kecil di dekat Tangse, misalnya. Air terjun tersebut kecil saja, dengan ketinggian sekitar duapuluh atau tiga puluh meter. Letaknya persis dipinggir jalan lintas Beureunuen – Melaboh menjelang kota Tangse. Sebelah kiri jalan, langsung jurang dengan kedalaman sekitar empat puluhan meter, dengan sungai mengalir deras di dasarnya. Bulan Oktober lalu, jurang ini memakan korban. Sebuah L300 sarat penumpang dari Medan, dibawa oleh supir yang mungkin mengantuk di tempat tersebut. Bus terjun bebas menghantam air (luput dari batu-batu besar yang menunggu), menyebabkan dua orang meninggal dunia. Menengok kondis busnya yang hancur berantakan, bisa dibayangkan bahwa sulit untuk selamat dari kecelakaan tersebut. Selama musim lebaran (sejak kapan lebaran jadi musim?), pondok-pondok pedagang berdiri menyesaki pinggir jalan yang memang sudah sempit. Tangga tanah dibentuk untuk menuruni tebing yang menuju sungai di dasar jurang. Manusia memenuhi seluruh tempat: di kolam yang terbentuk oleh air terjun, di pondok-pondok pedagang, di pinggir sungai di dasar jurang. Orang-orang mandi dan berendam. Kenderaan-kenderaan, mobil dan sepeda motor parkir seadanya, asal tidak menutupi jalan saja. Pemuda-pemuda setempat langsung mengambil posisi terhormat, menjadi petugas parkir dan sekaligus melantik diri mereka menjadi penjaga keamanan. Sama seperti di daerah-daerah lain, petugas-petugas amatir ini kadang juga bertindak aneh. Suara-suara keras dilontarkan melalui hardikan terhadap pengunjung yang mereka anggap melanggar ketentuan yang mereka buat. Penjual makanan sangat laris. Mi Aceh yang disiapkan seadanya, kopi, martabak telur habis diserbu pengunjung. Mungkin cuaca dingin menyengat membuat selera makan meningkat pesat, apalagi mereka yang habis mandi dan berendam di air terjun.
Di Banda Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman menjadi lautan manusia. Orang-orang datang dari berbagai pelosok, berkelompok-kelompok. Keluarga-keluarga menggelar tikar, mengeluarkan makanan dan minuman. Sudut-sudut taman mesjid dipenuhi oleh orang-orang, laki-laki dan perempuan. Anak-anak berlarian dengan riang, memamerkan mainan yang baru mereka beli. Mainan biasanya berupa benda-benda yang akrab dengan kekerasan: senjata dalam berbagai tipe untuk anak laki-laki. Hampir setiap anak laki-laki memegang senjata mainan dalam berbagai ukuran, pistol besar dan kecil, senapan serbu, senapan untuk penembak jitu. Hampir tidak ada yang memegang pisau atau golok mainan. Anak perempuan saya yang baru tiga tahun nampak bangga sekali dengan mainannya – sebuah tiruan shot gun dengan peluru mimis plastik dengan ukuran yang hampir sepanjang badannya. Dia tidak tahu cara menggunakannya, tetapi menyeret-nyeret senapan itu sudah cukup bagi dia.
Anak-anak perempuan memilih mainan yang lebih feminin dan lebih manusiawi - balon berbagai warna, asesoris pakaian, boneka. Penjual mainan memenuhi jalan di depan mesjid, mereka tidak boleh berjualan dalam kompleks mesjid. Tukang foto keliling meraup rezeki yang berlimpah saat-saat tersebut, orang-orang berfoto dengan latar belakang mesjid. Ada belasan mereka di sana, sibuk melayani pelanggan mereka dalam berbagai pose.
Lebaran di kampung kali ini terasa sekali ramainya. Manusia-manusia bermunculan dari segala penjuru perantauan. Yang dulu tidak berani pulang karena berbagai alasan kini melenggang dengan nyaman di kampung halaman. Wajah-wajah tidak begitu dikenal berseliweran, dengan bisik-bisik yang beredar begitu mereka lewat, “dia baru turun”. Atau, “Dia sudah lima belas tahun tidak pulang”.
Dua hari menjelang lebaran, sama seperti di awal puasa, adalah hari meugang. Pasar-pasar menyediakan daging sapi dan kerbau. Harga daging yang kembali membumbung tinggi (terutama kerbau, karena di tempat kami, daging kerbau lebih bergengsi dibandingkan dengan daging sapi). Orang-orang kembali memenuhi pasar, terutama yang laki-laki (di tempat kami, yang belanja untuk kebutuhan dapur adalah laki-laki. Kaum perempuan, kalau tidak mendesak sekali, hanya belanja ‘kecil’ diwarung-warung terdekat). Orang-orang berusaha membawa sekilo dua kilo daging untuk keluarga, baik dibayar tunai ataupun hutang. Mereka yang kurang mampu mengupayakan makan daging dengan memotong ayam atau bebek. Kaum perempuan kembali dibuat sibuk di dapur memasak daging, yang biasanya dalam bentuk masakan tradisional aceh: sie (daging) puteh, sie mirah, reundang, sop dan lain-lain. Anak-anak tiap sebentar masuk dapur, minta izin untuk segera berbuka puasa dengan masakan daging yang mengepul-ngepul dikuali.Jawabannya biasanya hardikan untuk segera meyingkir sejauh mungkin dari dapur.
Takbiran dilakukan di meunasah beramai-ramai. Tidak ada pawai ataupun arak-arakan takbiran di kampung-kampung, hanya di kota-kota saja. Anak-anak tanggung memenuhi meunasah, kemudian menghilang. Mereka berkelompok-kelompok mengunjungi rumah-rumah, meminta kue (terutama timphan yang masih berasap-asap karena baru dimasak). Kue-kue tersebut mereka bawa ke meunasah untuk dimakan bersama-sama. Selesai takbiran, acara dilanjutkan dengan penerimaan zakat fitrah dan kemudian lagsung dibagikan malam itu juga. Biasanya, tidak ada yang tidur lagi, atau langsung tidur di meunasah.
Setelah Shalat Ied di mesjid, masyarakat yang laki-laki jarang langsung pulang ke rumah. Mereka berkumpul dulu di simpang-simpang jalan, di pos ronda atau di warung kopi yang sudah buka (seperti pernah saya ceritakan, pos jaga di kampung kami – mungkin juga di kampung-kampung lainnya di Pidie – menjadi tempat masyarakat berinteraksi, terumana yang laki-laki). Masyarakat saling berjumpa di sini, bermaaf-maafan, ngobrol ringan tentang segala hal. Jika ada wajah baru yang pulang dari perantauan, uang segera keluar (seringkali ditodong!) untuk membeli kopi dan sekedar penganan kecil.
Yang pulang dari rantau merasa harus menunjukkan suksesnya. Kenderaan-kenderaan dengan plat luar daerah parkir di mana-mana. Jalanan kampung yang biasanya sepi kini tak pernah sunyi dari kenderaan yang melintas. Kelompok-kelompok kecil terbentuk untuk mendengarkan cerita-cerita yang dibawa perantau. Makin jauh perantauannya, makin seru ceritanya dan makin banyak pendengarnya.
Rumah-rumah di kampung menyediakan kue-kue tradisional Aceh, timphan dan juga kue-kue lainnya, peukarah, samaloyang, bhoi. Kadang ada juga yang menyediakan meuseukat dan dodoi, manisan yang tingkat kemanisannya sangat mengerikan (manis sekali!). Setiap bertamu hampir pasti disuguhi timphan dalam berbagai versi: ada yang berisi sarikaya, ada yang hanya berisi kelapa manis karena dicampur gula. Mereka yang merasa dirinya lebih modern menyediakan kue-kue buatan pabrik yang nampak mewah dalam kehidupan di kampung. Untuk anak-anak yang bertamu (biasanya mereka menjalaninya dari rumah ke rumah) selalu ada salam temple yang besarnya tergantung dari kemampuan tuan rumah.
Sepeda motor sangat ramai dijalan raya, kebanyakan ditunggangi oleh anak-anak tanggung yang baru saja mengetahui cara memutar gas dan menekan rem beberapa waktu yang lalu. Jalanan menjadi berbahaya dan rawan kecelakaan.
Setelah dua atau tiga hari saling bersilaturrahmi ketempat kerabat dan keluarga, tibalah saatnya untuk melakukan hal yang selama konflik bersenjata nyaris terlupakan: berdarmawisata. Kenderaan roda dua dan empat, seringkali pikap terbuka yang baknya disesaki dengan manusia menuju berbagai tempat wisata. Tempat wisatanya sendiri unik: tempat yang ada airnya. Irigasi besar dengan sungai besar yang teduh (seperti irigasi Keumala dan Batee Iliek) menjadi tempat favorit dari dulu. Batee Iliek sendiri penuh sesak dengan manusia. Keluarga-keluarga menggelar tikar, mengeluarkan makanan yang sudah disiapkan dari rumah. Ada juga kelompok yang memotong kambing, dan sebentar kemudian harum kari sudah menyebar ke mana-mana. Pasangan-pasangan muda memilih untuk mojok ketempat-tempat yang lebih sepi. Ada juga yang mandi di sungai dangkal yang berair sangat jernih.
Kami sekeluarga juga sudah berniat ke sana. Setelah bersilaturrahmi dengan beberapa kerabat, tersadari bahwa Batee Iliek hanya berjarak beberapa belas kilometer lagi. Dengan mengendarai sepeda motor sewaan, kamipun menuju kesana - sekedar ingin mengetahui. Jalanan sangat ramai, sepeda motor dan mobil, kebanyakan pikap berisi penumpang. Semuanya menuju ke sana. Karena sudah waktunya makan siang, kami berhenti dulu di di Ulee Glee, kota kecil terdekat dengan Batee Iliek. Semua rumah makan di Ulee Glee penuh sesak dengan pengunjung. Susah kali untuk bisa makan dengan tenang – bahkan ada yang bersedia makan sambil berdiri. Kalau di Ulee Gle saja sudah begitu ramainya, bagaimana pula di Batee Iliek? Lebih baik tidak usah ke sana. Pulang saja, kami mengambil keputusan. Ternyata keputusan yang tepat, karena ternyata kemudian Batee Iliek menjadi rusuh.
Seperti yang diceritakan oleh sekelompok orang yang kami jumpai di pondok ie tubee (tempat jualan air tebu), pemuda-pemuda setempat yang dibuat gerah oleh pasangan-pasangan yang berpacaran tampa menghiraukan keadaan sekitar, mengambil tindakan kasar: dengan sepotong kayu mereka menggebuki setiap orang yang tidak mau menyingkir dari lokasi Batee Iliek. Orang-orang yang lagi makan dipaksa pergi, yang baru saja mau memasak kambing disuruh pulang. Ada juga yang konyol: ditengah keributan seorang anak tanggung menggebuk seorang kakek-kakek sambil berteriak, “dilarang berbuat maksiat di sini!”. Tentu saja keluarga si kakek menjadi marah dan membalas. Saling pukul terjadi, berakhir dengan keributan kecil.
Tempat-tempat lain yang dulunya (semasa konflik) merupakan tempat mengerikan yang harus dihindari sejauh-jauhnya, kini menjadi tempat favorit. Air terjun kecil di dekat Tangse, misalnya. Air terjun tersebut kecil saja, dengan ketinggian sekitar duapuluh atau tiga puluh meter. Letaknya persis dipinggir jalan lintas Beureunuen – Melaboh menjelang kota Tangse. Sebelah kiri jalan, langsung jurang dengan kedalaman sekitar empat puluhan meter, dengan sungai mengalir deras di dasarnya. Bulan Oktober lalu, jurang ini memakan korban. Sebuah L300 sarat penumpang dari Medan, dibawa oleh supir yang mungkin mengantuk di tempat tersebut. Bus terjun bebas menghantam air (luput dari batu-batu besar yang menunggu), menyebabkan dua orang meninggal dunia. Menengok kondis busnya yang hancur berantakan, bisa dibayangkan bahwa sulit untuk selamat dari kecelakaan tersebut. Selama musim lebaran (sejak kapan lebaran jadi musim?), pondok-pondok pedagang berdiri menyesaki pinggir jalan yang memang sudah sempit. Tangga tanah dibentuk untuk menuruni tebing yang menuju sungai di dasar jurang. Manusia memenuhi seluruh tempat: di kolam yang terbentuk oleh air terjun, di pondok-pondok pedagang, di pinggir sungai di dasar jurang. Orang-orang mandi dan berendam. Kenderaan-kenderaan, mobil dan sepeda motor parkir seadanya, asal tidak menutupi jalan saja. Pemuda-pemuda setempat langsung mengambil posisi terhormat, menjadi petugas parkir dan sekaligus melantik diri mereka menjadi penjaga keamanan. Sama seperti di daerah-daerah lain, petugas-petugas amatir ini kadang juga bertindak aneh. Suara-suara keras dilontarkan melalui hardikan terhadap pengunjung yang mereka anggap melanggar ketentuan yang mereka buat. Penjual makanan sangat laris. Mi Aceh yang disiapkan seadanya, kopi, martabak telur habis diserbu pengunjung. Mungkin cuaca dingin menyengat membuat selera makan meningkat pesat, apalagi mereka yang habis mandi dan berendam di air terjun.
Di Banda Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman menjadi lautan manusia. Orang-orang datang dari berbagai pelosok, berkelompok-kelompok. Keluarga-keluarga menggelar tikar, mengeluarkan makanan dan minuman. Sudut-sudut taman mesjid dipenuhi oleh orang-orang, laki-laki dan perempuan. Anak-anak berlarian dengan riang, memamerkan mainan yang baru mereka beli. Mainan biasanya berupa benda-benda yang akrab dengan kekerasan: senjata dalam berbagai tipe untuk anak laki-laki. Hampir setiap anak laki-laki memegang senjata mainan dalam berbagai ukuran, pistol besar dan kecil, senapan serbu, senapan untuk penembak jitu. Hampir tidak ada yang memegang pisau atau golok mainan. Anak perempuan saya yang baru tiga tahun nampak bangga sekali dengan mainannya – sebuah tiruan shot gun dengan peluru mimis plastik dengan ukuran yang hampir sepanjang badannya. Dia tidak tahu cara menggunakannya, tetapi menyeret-nyeret senapan itu sudah cukup bagi dia.
Anak-anak perempuan memilih mainan yang lebih feminin dan lebih manusiawi - balon berbagai warna, asesoris pakaian, boneka. Penjual mainan memenuhi jalan di depan mesjid, mereka tidak boleh berjualan dalam kompleks mesjid. Tukang foto keliling meraup rezeki yang berlimpah saat-saat tersebut, orang-orang berfoto dengan latar belakang mesjid. Ada belasan mereka di sana, sibuk melayani pelanggan mereka dalam berbagai pose.
Sunday, October 23, 2005
Setelah hari-hari dengan hujan berkepanjangan, akhirnya matahari kembali muncul dari balik awan. Tidak tanggung-tanggung, dengan panas yang lebih dari biasanya (mungkin karena sudah terbiasa dengan cuaca dingin), mengisap air dari tubuh mereka yang bekerja pada tempat terbuka. Cuaca berat, membuat orang-orang menjadi malas berkeliaran jika tidak ada keperluan, dan lebih memilih berada di tempat teduh yang nyaman.
Cuaca yang berat mungkin menjadi salah satu alasan bagi kawan-kawan serombongan untuk tidak berpuasa saat berada di lapangan. Cukup menyedihkan bagi yang berpendapat seperti itu. Bergabung pada organisasi asing yang jelas-jelas berbeda haluan keyakinan dengan kita, memakai atribut organisasi tersebut saat berada di lapangan, berkendaraan dengan logo BESAR organisasi AGAMA lain (ok,ok, organisasi tersebut adalah CRS - Catholic Relief Services, bagi yang penasaran) di bodi mobil - bukan pembenaran untuk bersikap demonstatif tidak puasa, terutama di depan masyarakat. Pendapat masyarakat bisa ditebak: inilah dia masyarakat Islam yang lebih k---r daripada manusia tempat dia bekerja! Pada saat kami berada di salah satu tempat di lapangan, seorang rekan dengan ringannya mengambil buah dari pekarangan penduduk (sementara kami menunggu di mobil, dan dia ada keperluan untuk menemui salah seorang penduduk di wilayah tersebut). Sementara, dari balik pagar-pagar rumah, para penduduk melihat perbuatan tersebut. Dengan muka yang menunjukkan rasa jijik, tentu saja.
Terus ada lagi cerita, bahwa beberapa waktu yang lalu seorang Cina (maaf bagi warga Cina-tidak bermaksud rasialis) telah diarak karena menjual makanan terlalu cepat, dan ada orang yang tidak berpuasa yang membelinya. Kenapa bukan orang yang tidak berpuasa itu yang diarak? Toh, kalaupun orang Cina itu berjualan sepanjang hari, jika semua orang berpuasa, bisa dipastikan TIDAK akan ada orang yang akan belanja makanan padanya, dan hal ini akan cukup untuk membuatnya jera (dan sekaligus rugi!) --- atau rugi sekaligus jera. Jika seseorang memang tidak ingin berpuasa, usahkan ada orang Cina berjualan makanan, tidak ada orang jualanpun dia akan cari jalan untuk dapat makan sesuatu. (Ini hanya pendapat pribadi. Tidak ada maksud tertentu. Saya sendiri, Alhamdulillah, selama berpuasa ini tidak terpengaruh oleh orang yang makan dan minum di depan saya).
---------
Beberapa berita dari koran lokal beberapa hari ini: "Masyarakat Punge Banda Aceh menurunkan papan nama INGO xxxx xxxxxx". "LSM pengobral janji supaya tinggalkan Aceh". Isu yang disampaikan seorang kawan dari bagian Community Liasion Watsan "Masyarakat Kubang Gajah rusak rumah yang dibangun oleh INGO xxx karena spesifikasinya tidak sesuai dengan kesepakatan". Masih banyak lagi mungkin, baik yang diketahui ataupun tidak diketahui.
Cuaca yang berat mungkin menjadi salah satu alasan bagi kawan-kawan serombongan untuk tidak berpuasa saat berada di lapangan. Cukup menyedihkan bagi yang berpendapat seperti itu. Bergabung pada organisasi asing yang jelas-jelas berbeda haluan keyakinan dengan kita, memakai atribut organisasi tersebut saat berada di lapangan, berkendaraan dengan logo BESAR organisasi AGAMA lain (ok,ok, organisasi tersebut adalah CRS - Catholic Relief Services, bagi yang penasaran) di bodi mobil - bukan pembenaran untuk bersikap demonstatif tidak puasa, terutama di depan masyarakat. Pendapat masyarakat bisa ditebak: inilah dia masyarakat Islam yang lebih k---r daripada manusia tempat dia bekerja! Pada saat kami berada di salah satu tempat di lapangan, seorang rekan dengan ringannya mengambil buah dari pekarangan penduduk (sementara kami menunggu di mobil, dan dia ada keperluan untuk menemui salah seorang penduduk di wilayah tersebut). Sementara, dari balik pagar-pagar rumah, para penduduk melihat perbuatan tersebut. Dengan muka yang menunjukkan rasa jijik, tentu saja.
Terus ada lagi cerita, bahwa beberapa waktu yang lalu seorang Cina (maaf bagi warga Cina-tidak bermaksud rasialis) telah diarak karena menjual makanan terlalu cepat, dan ada orang yang tidak berpuasa yang membelinya. Kenapa bukan orang yang tidak berpuasa itu yang diarak? Toh, kalaupun orang Cina itu berjualan sepanjang hari, jika semua orang berpuasa, bisa dipastikan TIDAK akan ada orang yang akan belanja makanan padanya, dan hal ini akan cukup untuk membuatnya jera (dan sekaligus rugi!) --- atau rugi sekaligus jera. Jika seseorang memang tidak ingin berpuasa, usahkan ada orang Cina berjualan makanan, tidak ada orang jualanpun dia akan cari jalan untuk dapat makan sesuatu. (Ini hanya pendapat pribadi. Tidak ada maksud tertentu. Saya sendiri, Alhamdulillah, selama berpuasa ini tidak terpengaruh oleh orang yang makan dan minum di depan saya).
---------
Beberapa berita dari koran lokal beberapa hari ini: "Masyarakat Punge Banda Aceh menurunkan papan nama INGO xxxx xxxxxx". "LSM pengobral janji supaya tinggalkan Aceh". Isu yang disampaikan seorang kawan dari bagian Community Liasion Watsan "Masyarakat Kubang Gajah rusak rumah yang dibangun oleh INGO xxx karena spesifikasinya tidak sesuai dengan kesepakatan". Masih banyak lagi mungkin, baik yang diketahui ataupun tidak diketahui.
Friday, October 14, 2005
Kegiatan-kegiatan menjadi rutin sekarang. Day in, day out. Manusia-manusia baru berdatangan, berseliweran sebentar, menghilang. Atau petinggi-petinggi organisasi yang datang dari berbagai penjuru, mengumpulkan orang-orang (ada rapat penting!), mendesingkan fatwa dan nasehat tentang pentingnya apa yang sedang dilakukan sekarang. Bla-bla-bla. Keluar dari ruangan sehabis meeting, kayaknya semua orang melupakan apa yang barusan didengarnya
Selama bulan puasa, kegiatan tetap berjalan sebagaimana semula. Semua sektor berjalan pada kecepatan yang tertinggi, mempersiapkan semuanya agar beres sebelum liburan massal selama 10 hari dimulai. Kami tetap kelapangan mengambil dan menganalisa sampel-sampel air. Hari ini di kamp pengungsi ini, besok di barak pengungsi sana. Lusa di desa anu. Begitu seterusnya.
Liburan massal akan dimulai pada tanggal 28 Oktober 2005, sampai dengan tanggal 7 November 2005. Bisa dipastikan, semua manusia lokal yang beragama Islam akan menghilang dari tempat pekerjaan. Bahkan yang berasal dari pulau Jawa mulai sekarang sudah mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi cuti. Mengurus cuti dengan bagian personalia, mengurus transportasi dan lain sebagainya. Saya sendiri tidak ambil pusing, toh dekat saja. Kapan saja saya bisa menghilang ke kampung halaman.
Hari ini kembali kami menuju ke Arongan Lambalek, untuk mengambil sampel air dari beberapa lokasi pengungsi. Tujuan kami adalah ke Cot Buloh, Seuneubok Teungon, Kubu dan lokasi pengungsi lainnya di Arongan. Perjalanan terasa lebih mudah sekarang, walaupun ada beberapa tempat di daerah Samatiga yang tetap harus melewati pasir pantai dan medan lumpur.
xxxxxxxx
xxxxx
Disuatu lokasi pembangunan perumahan, kami amati proses pembongkaran batu-bata yang dilakukan dengan sepenuh hati: secara serampangan. Biasanya dimana-mana (termasuk di Aceh, juga di Aceh Barat) pembongkaran batu batu dilakukan dengan hati-hati, batunya disusun rapi, mengingat kondisi batu bata yang gampang patah. Tetapi yang ini agak berbeda. Membongkar batu-bata sama seperti membongkar pasir, atau batu koral. Mungkin maksudnya supaya cepat selesai, tanpa mempertimbangkan banyak batu-bata yang pecah dan hancur karena dilemparkan. Atau dikarenakan ada orang lain yang mendanai? Coba kalau uang sendiri. Pasti pemilik atau bertengger di samping truk untuk memastikan setiap keping bata yang dia beli dibongkar dalam keadaan tidak kurang sesuatu apapun. Pemilik rumah yang dibangunpun tidak banyak mulut, cukup tau diri, karena bukan dia yang membayar semua ini. Kalaupun dia protes, paling jawabannya sangat memuaskan, "Ah, ditempat lain juga begini cara membongkarnya! Tidak ada yang ribut!". Supervisor proyekpun hanya berkeliaran saja, tanpa protes apa-apa, kelihatannya. Ketiga salah satu dari kami berteriak supaya batu-batanya dibongkar dengan cara lebih baik dan disusun rapi, mereka hanya menengok saja, saling pandang sebentar, dan meneruskan pekerjaannya seperti biasa (lokasi tersebut adalah lokasi kerja CRS). Mungkin pada pendengaran mereka apa yang diteriakkan kami adalah dalam bahasa asing yang tidak dipahami mereka? Atau mereka berpendapat, walaupun sama-sama satu organisasi, supervisor mereka saja tidak protes tentang apa yang mereka lakukan.
--------------
Sikap masyarakat akhir-akhir ini mulai berbeda tentang kehadiran NGO, baik lokal ataupun internasional. Saaangat berbeda dibandingkan masa-masa bulan Maret - Juni. Apa yang kami amati pada saat kami mengambil sampel air di salah satu lokasi pengungsi, kami diteriaki (dalam bahasa Aceh) -- "Ini dia datang lagi! Apa lagi yang kalian perlukan?" --- dimasa-masa awal --"Apa yang kalian tawarkan untuk membantu kami?" --- kira-kira seperti itu. Atau seperti ini "Mudah-mudahan ini yang terakhir! Capek aku memberikan data ini itu, tanpa hasil! Bikin sibuk orang saja!". Ada juga yang tidak terlalu kejam, "Sudah dua puluh lima proposal kami buat ke organisasi ini, organisasi anu. Setiap kami mencoba memohon sesuatu, manusia yang kami temui selalu berpesan untuk menyiapkan proposal! Proposal! Jangan-jangan proposal kami digunakan untuk kepentingan dia sendiri!". Setelah kami tanyai, ternyata yang mereka coba minta adalah sebuah genset kecil untuk menghidupkan pompa air pada saat listrik tidak nyala pada siang hari, sehingga air bersih tetap tersedia setiap saat.
Kedengarannya agak berlebihan, tetapi memang berlebihan.
Waktu saya kebetulan ke Lhok Nga (sekitar Banda Aceh), penduduk pengungsi setempat mengungkapkan kegeramannya kepada staff NGO, terutama yang lokal. Berkeliaran di kalangan warga pengungsi dengan gaya luar biasa, alat-alat canggih bergantungan di badan (rata-rata mempunyai kalung gantungan USB flash disk). Apa yang dia keluhkan lebih-lebih terhadap kenderaan dan gaya mengemudi pengemudi NGO-NGO. Dengan kenderaan 'mewah'nya, mereka ngebut melewati lokasi penduduk dengan kecepatan yang tidak berkurang - menimbulkan debu dan kekhawatiran akan terjadinya kecelakaan. "Makanya sekarang kami pasang kayu-kayu ini, sehingga kenderaan yang lewat terpaksa mengurangi kecepatannya", ungkapnya. Ide bagus juga.Kami juga pernah mengamati dua kenderaan yang berpapasan di lorong sempit yang saling tidak mau mengalah. Truk besar (mirip reo) masuk dari jalan besar, dan tidak mungkin mundur lagi, karena lalulintas agak padat. Double cabin, karena merasa dia sudah di ujung jalan, dia yang berhak lewat duluan, jadi dia merasa benar dalam perselisihan ini. Double cabin itu mendesak terus untuk maju, sementara di belakang dia ada tempat kosong untuk mundur. Truk jelas-jelas tidak bisa mundur, karena langsung masuk ke jalan besar yang ramai. Setelah diteriaki (dan digoblok-gobloki) oleh orang-orang di warung, baru dia bersedia mundur dan memberi jalan kepada truk tersebut untuk lewat. Dengan muka ketat dan kejam, tentu saja. Yang menjadi catatan saya di sini, truk tersebut milik suatu organisasi besar yang bekerja di Meulaboh (truknya juga besar -- tidak ada hubungannya). Tetapi yang membuat supir double cabin tersebut sangat percaya diri, dia bekerja pada organisasi yang LEBIH BESAR, bahkan SANGAT BESAR di planet bumi ini. Jadi, dengan nama SANGAT BESAR di belakangnya, dia merasa berkuasa untuk bertindak lebih. Itulah orang kita (orang ACEH!---eh, saya juga orang Aceh).
Tidak semua NGO seperti itu, memang, sekaligus mudah-mudahan.
Janji-janji juga bikin masalah. Bertemu dengan satu-dua-atau sekelompok masyarakat, tanya-tanya-tanya, catat-catat-catat, foto-foto-foto. Dan janji. Janji-janji memang akan terpenuhi, mudah-mudahan. Setelah sekian lama, janji belum terselesaikan juga. Masyarakat menagih ke kantor. "ooo, tolong dibikin proposalnya ..."
Tidak semua NGO seperti itu, memang, sekaligus mudah-mudahan.
Wednesday, October 05, 2005
Marhaban, ya Ramadhan ...
Bulan Ramadhan kali ini terasa berbeda. Puasa dijalani dalam suasana berduka, dalam ketidakhadiran sanak saudara yang menjadi korban dalam musibah beberapa bulan yang lalu. Sekaligus juga dalam suasana gembira dikarenakan akan pengharapan perdamaian tercipta pasca perjanjian Helsinki. Bagi saya, inilah bulan puasa pertama dalam sepuluh tahun terakhir ini yang dijalani di Aceh. Suasana berbeda sekali dibandingkan dengan masa-masa awal saya kembali ke Aceh. Tidak ada lagi pemeriksaan KTP di pos-pos militer, beragam pertanyaan yang harus dijawab dikarenakan KTP saya bukan merah-putih.
Seperti biasanya, masyarakat Aceh mengawali puasa dengan hari meugang, yang dimulai dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Setiap keluarga pada hari meugang mengupayakan ada daging di rumahnya. Di mana-mana orang menyembelih sapi dan kerbau. Harga daging yang membumbung tinggi (kesempatan!) tidak mengurangi minat masyarakat untuk membawa pulang sekilo dua kilo daging untuk keluarganya. Yang lebih mampu membawa lebih: tungkai sapi atau kerbau, kadang-kadang kepala kerbau (lengkap dengan tanduknya!). Kesibukan di dapur rumah-rumah luar biasa.
Malamnya menjalani salat taraweh di meunasah-meunasah atau di mesjid-mesjid. Suasana bulan puasa sangat terasa. Tidak ada orang yang berkeliaran (terutama di kampung). Yang tidak ikut shalat taraweh berdiam diri di rumah menunggu taraweh selesai, baru keluar untuk berkumpul rame-rame di pos jaga (di kampung-kampung di Pidie, pos jaga dari dulu sudah menjadi tempat publik untuk berkumpul dan berinteraksi) atau diwarung-warung kopi yang buka sampai subuh. Mereka mengobrol ngalor ngidul atau menonton televisi (di kebanyakan rumah tangga di kampung-kampung, televisi masih merupakan barang mahal. Warung-warung kopi memasang televisi dan antena parabola untuk menarik pengunjung). Yang lebih taat melaksanakan tadarus Quran di Mesjid atau di meunasah.
Ada kebiasaan yang terus berlangsung baik di kampung atau di kota: acara buka puasa bersama. Dikampung saya, penganan untuk berbuka disediakan oleh setiap rumah tangga secara bergilir. Hari ini lima rumah menyediakan kue-kue berbuka, besok lima rumah yang lain. Kalau semua sudah dapat giliran, putaran dimulai lagi dari awal. Minuman berbuka puasa disiapkan tiap hari di meunasah, dengan dana gotong royong dari masyarakat. "Ie bu lada", merupakan sejenis minuman dengan komposisi rempah-rempah dan daun-daunan dengan rasa pedas menyegarkan. Setiap sore, mulai sekitar jam tiga, seorang petugas yang ditunjuk sudah mulai melakukan persiapan untuk memasak. Karena harus cukup untuk memenuhi kebutuhan orang sekampung, memasak dilakukan dalam kancah besar. Sekitar jam lima, anak-anak mulai berdatangan dengan membawa teko ataupun tempat lainnya untuk mengambil "ie bu" untuk dibawa pulang (untuk kebutuhan kaum perempuan dan mereka yang tidak berbuka puasa di meunasah). Mereka yang kena giliran menyediakan penganan berbuka juga sudah datang dan mengantarkan kue-kue ke meunasah.
Sekitar jam enam sore, warga laki-laki mulai berdatangan ke meunasah untuk berbuka bersama. Makanan dibagikan dalam lembaran-lembaran daun pisang, jumlahnya harus cukup untuk semua orang yang hadir (pengalaman saya sewaktu masih dikampung, tidak pernah kurang, malah sering lebih dan tertinggal). "Ie bu" disediakan dalam berbagai wadah, tetapi yang paling disukai dalah dalam terpurung kelapa (yang sudah dibersihkan tentunya). Rasanya lebih "keluar".
Jenis minuman lainnya yang disiapkan di meunasah adalah "ie bu kanji" atau sering juga disebut dengan "kanji rumbi". Ini jarang, paling dua tiga kali saja dikarenakan membutuhkan biaya yang lebih mahal (walaupun ada juga desa yang tiap hari menyiapkan "ie bu kanji" untuk warganya). Rasanya seperti kari yang encer, dengan komposisi daging (ayam, itik, kambing, sapi atau lembu) yang dicacah sangat halus, rempah-rempah, beras dan lain-lainnya. Saya sendiri tidak suka dengan "ie bu kanji" ini.
Pada hari-hari tertentu di bulan Ramadhan, seperti tanggal 17, 21, 27 acara berbuka puasa tidak dengan makanan kecil, tetapi dengan nasi dan lauk-pauknya. Semua rumah tangga akan mengantar nasi dalam baskom besar, lauk-pauk disiapkan dalam rantang susun tiga atau empat (tergantung kemampuan). Penduduk kampung yang laki-laki akan memenuhi meunasah untuk berbuka puasa bersama.
Begitu juga malam hari. Setiap tamat Quran, petugas ("Peutua Meunasah") akan meminta beberapa keluarga (yang kena giliran) untuk menyiapkan nasi dan lauk-pauknya untuk dimakan bersama oleh penduduk kampung yang laki-laki di meunasah (biasanya acara makannya sekitar jam 10 - 11 malam). Acara ini berlangsung beberapa kali di bulan Ramadhan, setiap tamat Quran. Biasanya, kami dulu sehabis acara tamat Quran ini langsung tidur (bulan puasa kebanyakan yang lajang tidur di Meunasah) dan bangun pas subuh. Sahur sudah dicukupi dengan makanan dari acara tamat Quran semalam.
Penduduk yang di rantau bisanya menyempatkan diri pulang di bulan Ramadhan, terutama di awal bulan (istilahnya "tueng puasa"). Ini merupakan kesempatan untuk bersilaturrahmi dengan warga kampung yang kadang sudah bertahun-tahun tidak saling berjumpa. Suasana kampung menjadi ramai dan meriah, sore-sore sudah ramai warga di meunasah ataupun pos jaga, saling berinteraksi.
Di Banda Aceh, perjual makanan berbuka puasa sangat banyak. Mereka memasang lapak-lapak darurat, bahkan kadang-kadang hanya meja tanpa atap di pinggir-pinggir jalan utama. Tidak heran jika jalanan menjadi macet setiap sore hari. Kue-kue ataupun makanan tradisional yang jarang ditemui di hari-hari biasa, bermunculan di bulan puasa. Favorit kami adalah "mie caluek", mi lidi dengan kuah kacang (seperti kuah gado-gado). Banyak yang menjual "mie caluek" ini (di hari-hari biasa, sangat jarang, kecuali di kampung - terutama di Pidie yang banyak peminatnya. Di daerah lain, saya kurang tahu).
Selamat menjalankan Ibadah Puasa untuk semuanya.
Bulan Ramadhan kali ini terasa berbeda. Puasa dijalani dalam suasana berduka, dalam ketidakhadiran sanak saudara yang menjadi korban dalam musibah beberapa bulan yang lalu. Sekaligus juga dalam suasana gembira dikarenakan akan pengharapan perdamaian tercipta pasca perjanjian Helsinki. Bagi saya, inilah bulan puasa pertama dalam sepuluh tahun terakhir ini yang dijalani di Aceh. Suasana berbeda sekali dibandingkan dengan masa-masa awal saya kembali ke Aceh. Tidak ada lagi pemeriksaan KTP di pos-pos militer, beragam pertanyaan yang harus dijawab dikarenakan KTP saya bukan merah-putih.
Seperti biasanya, masyarakat Aceh mengawali puasa dengan hari meugang, yang dimulai dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Setiap keluarga pada hari meugang mengupayakan ada daging di rumahnya. Di mana-mana orang menyembelih sapi dan kerbau. Harga daging yang membumbung tinggi (kesempatan!) tidak mengurangi minat masyarakat untuk membawa pulang sekilo dua kilo daging untuk keluarganya. Yang lebih mampu membawa lebih: tungkai sapi atau kerbau, kadang-kadang kepala kerbau (lengkap dengan tanduknya!). Kesibukan di dapur rumah-rumah luar biasa.
Malamnya menjalani salat taraweh di meunasah-meunasah atau di mesjid-mesjid. Suasana bulan puasa sangat terasa. Tidak ada orang yang berkeliaran (terutama di kampung). Yang tidak ikut shalat taraweh berdiam diri di rumah menunggu taraweh selesai, baru keluar untuk berkumpul rame-rame di pos jaga (di kampung-kampung di Pidie, pos jaga dari dulu sudah menjadi tempat publik untuk berkumpul dan berinteraksi) atau diwarung-warung kopi yang buka sampai subuh. Mereka mengobrol ngalor ngidul atau menonton televisi (di kebanyakan rumah tangga di kampung-kampung, televisi masih merupakan barang mahal. Warung-warung kopi memasang televisi dan antena parabola untuk menarik pengunjung). Yang lebih taat melaksanakan tadarus Quran di Mesjid atau di meunasah.
Ada kebiasaan yang terus berlangsung baik di kampung atau di kota: acara buka puasa bersama. Dikampung saya, penganan untuk berbuka disediakan oleh setiap rumah tangga secara bergilir. Hari ini lima rumah menyediakan kue-kue berbuka, besok lima rumah yang lain. Kalau semua sudah dapat giliran, putaran dimulai lagi dari awal. Minuman berbuka puasa disiapkan tiap hari di meunasah, dengan dana gotong royong dari masyarakat. "Ie bu lada", merupakan sejenis minuman dengan komposisi rempah-rempah dan daun-daunan dengan rasa pedas menyegarkan. Setiap sore, mulai sekitar jam tiga, seorang petugas yang ditunjuk sudah mulai melakukan persiapan untuk memasak. Karena harus cukup untuk memenuhi kebutuhan orang sekampung, memasak dilakukan dalam kancah besar. Sekitar jam lima, anak-anak mulai berdatangan dengan membawa teko ataupun tempat lainnya untuk mengambil "ie bu" untuk dibawa pulang (untuk kebutuhan kaum perempuan dan mereka yang tidak berbuka puasa di meunasah). Mereka yang kena giliran menyediakan penganan berbuka juga sudah datang dan mengantarkan kue-kue ke meunasah.
Sekitar jam enam sore, warga laki-laki mulai berdatangan ke meunasah untuk berbuka bersama. Makanan dibagikan dalam lembaran-lembaran daun pisang, jumlahnya harus cukup untuk semua orang yang hadir (pengalaman saya sewaktu masih dikampung, tidak pernah kurang, malah sering lebih dan tertinggal). "Ie bu" disediakan dalam berbagai wadah, tetapi yang paling disukai dalah dalam terpurung kelapa (yang sudah dibersihkan tentunya). Rasanya lebih "keluar".
Jenis minuman lainnya yang disiapkan di meunasah adalah "ie bu kanji" atau sering juga disebut dengan "kanji rumbi". Ini jarang, paling dua tiga kali saja dikarenakan membutuhkan biaya yang lebih mahal (walaupun ada juga desa yang tiap hari menyiapkan "ie bu kanji" untuk warganya). Rasanya seperti kari yang encer, dengan komposisi daging (ayam, itik, kambing, sapi atau lembu) yang dicacah sangat halus, rempah-rempah, beras dan lain-lainnya. Saya sendiri tidak suka dengan "ie bu kanji" ini.
Pada hari-hari tertentu di bulan Ramadhan, seperti tanggal 17, 21, 27 acara berbuka puasa tidak dengan makanan kecil, tetapi dengan nasi dan lauk-pauknya. Semua rumah tangga akan mengantar nasi dalam baskom besar, lauk-pauk disiapkan dalam rantang susun tiga atau empat (tergantung kemampuan). Penduduk kampung yang laki-laki akan memenuhi meunasah untuk berbuka puasa bersama.
Begitu juga malam hari. Setiap tamat Quran, petugas ("Peutua Meunasah") akan meminta beberapa keluarga (yang kena giliran) untuk menyiapkan nasi dan lauk-pauknya untuk dimakan bersama oleh penduduk kampung yang laki-laki di meunasah (biasanya acara makannya sekitar jam 10 - 11 malam). Acara ini berlangsung beberapa kali di bulan Ramadhan, setiap tamat Quran. Biasanya, kami dulu sehabis acara tamat Quran ini langsung tidur (bulan puasa kebanyakan yang lajang tidur di Meunasah) dan bangun pas subuh. Sahur sudah dicukupi dengan makanan dari acara tamat Quran semalam.
Penduduk yang di rantau bisanya menyempatkan diri pulang di bulan Ramadhan, terutama di awal bulan (istilahnya "tueng puasa"). Ini merupakan kesempatan untuk bersilaturrahmi dengan warga kampung yang kadang sudah bertahun-tahun tidak saling berjumpa. Suasana kampung menjadi ramai dan meriah, sore-sore sudah ramai warga di meunasah ataupun pos jaga, saling berinteraksi.
Di Banda Aceh, perjual makanan berbuka puasa sangat banyak. Mereka memasang lapak-lapak darurat, bahkan kadang-kadang hanya meja tanpa atap di pinggir-pinggir jalan utama. Tidak heran jika jalanan menjadi macet setiap sore hari. Kue-kue ataupun makanan tradisional yang jarang ditemui di hari-hari biasa, bermunculan di bulan puasa. Favorit kami adalah "mie caluek", mi lidi dengan kuah kacang (seperti kuah gado-gado). Banyak yang menjual "mie caluek" ini (di hari-hari biasa, sangat jarang, kecuali di kampung - terutama di Pidie yang banyak peminatnya. Di daerah lain, saya kurang tahu).
Selamat menjalankan Ibadah Puasa untuk semuanya.
Thursday, September 15, 2005
Krueng Meureubo
Hari ini Jamie akan meninggalkan kami, balik ke Inggris. Dia akan kembali menekuni bisnisnya, perusahaan kecil yang menyediakan alat-alat perairan untuk rumah tangga dan pertanian. Pesta perpisahan dilakukan beberapa hari yang lalu, diwarung salah seorang rekan kami Alimudin Jamal yang terletak di kampung Kuta Padang. Makanan utamanya adalah mi kepiting, yang dinikmati oleh setiap orang dengan lahap, termasuk bule-bule. Dengan pengecualian Juanto. Dia tidak pernah tahu cara makan kepiting, begitu pengakuannya. Ross datang dengan istrinya Johara yang sedang hamil dan anaknya yang berusia tiga tahun yang bernama Naila. Loreen Lockwood juga ikut
Oleh-oleh untuk Jamie sudah kami siapkan, berupa foto-foto dari seluruh pelosok Aceh yang kami kumpulkan. Jumlahnya ada sekitar seribuan, disimpan dalam 3 buah CD. Jamie berjanji akan terus mengabari kami. Dia juga mengundang kami untuk ketempat dia suatu saat. “It will be easy to find a job there for a suitable people”, katanya. Ya, mudah-mudahan saja ada kesempatan.
Kami tidak bisa mengantar Jamie ke bandara Cut Nyak Dien, karena hari ini adalah jadwal kami bersama dengan Spanish Red Cross untuk melakukan survey kualitas air Krueng Meureubo. Rencananya, SRC akan membangun raw water intake untuk PDAM Meulaboh, dan mereka perlu bantuan kami untuk menganalisa kualitas air sungai Krueng Muereubo di berbagai titik. Karena kami menginap di kantor Dinkes – yang juga menjadi laboratorium analisa air – jam 5 pagi Rimbawan dari Palang Merah Spanyol bersama Pak Saifudin – the driver – menjemput kami. Rencananya, kami akan memantau kualitas air sungai setidaknya pas pasang tertinggi dan surut terendah, yang diperkirakan akan memakan waktu sekitar dua belas jam. Dari informasi yang dikumpulkan sebelumnya, saat ini, pasang tertinggi akan berlangsung sekitar jam 6 sampai jam 7 pagi. Setelah menikmati segelas teh dan kopi panas kamipun berangkat menuju Jembatan Besi Krueng Meureubo, dimana seharusnya speedboat yang akan dikemudikan oleh Pak Dahlan sudah menunggu. Alat-alat analisa yang kami bawa adalah deep sampler – alat untuk mengambil sample air pada kedalaman tertentu, conductivity meter, pH meter dan turbidity meter. Tidak ketinggalan kamera digital dan aserorisnya, serta GPS untuk pemetaan lokasi sample. Deep samplernya sendiri adalah milih SDC – sebuah NGO dari Swiss. Seharusnya, kami menggunakan alat itu beberapa waktu yang lalu, bersama dengan seorah ahli kualitas air dari Amerika. Tetapi takdir menentukan lain. Satu hari sebelum jadwal, pada hari Minggu yang cerah, bule tersebut tewas tenggelam di Pantai Lhok Nga Banda Aceh pada saat berselancar. “Fate is funny, isn’t it? This very guy was scheduled to meet us today, but last day he just has already gone to meet his maker”, kata Ross. Ya, siapa yang bisa menduga takdir. Sama seperti halnya musibah tsunami yang memakan ratusan ribu korban 24 Desember 2004 lalu.
Dari CRS, kami Cuma bertiga: saya, Ramang dan Pak Syukur yang saya ajak untuk membantu. Tidak ada masalah bagi mereka, tetapi bagi saya jelas-jelas sangat membantu. Mereka adalah nelayan yang pandai, yang pasti akan sangat mengenal liku-liku Krueng Meureubo sampai ke laut. Juanto sendiri pulang ke Medan dua hari yang lalu.
Tidak ada siapa-siapa di Jembatan Besi pada saat kami sampai. Pak Dahlan seharusnya sudah siap di sama dengan speedboatnya. Rimbawan pergi menjemputnya. Kami menunggu dalam udara dingin di bawah Jembatan Besi. Cahaya terang mulai nampak di timur. Saya mengambil gambar-gambar yang tidak setiap hari bisa saya ambil.
Akhirnya Pak Dahlan tiba dengan speedboatnya yang baru, bantuan dari pemerintah Kuwait. Dia adalah warga Padang Seurahet – lokasi yang hancur total pada saat tsunami melanda. Tidak ada yang kembali ke lokasi semula, semua warga yang selamat dialihkan ke lokasi baru – desa Cukok Mariek, yang kebetulan juga desa binaan Palang Merah Spanyol. Sebelum berkeliling, kami melapor dulu ke pos aparat di pingir sungai dekat Jembatan Besi.
Pengambilan sample air dilakukan setiap jam di beberapa titik, dimulai jam tujuh pagi selama dua belas jam. Setiap kedalaman menunjukkan hasil yang berbeda. Rata-rata, Krueng Meurebo berkedalaman sampai 5 meter pada saat pasang tertinggi, dengan kualitas air paling buruk (conductivity tertinggi) pada kedalaman 3 dan 4 meter. Makin dekat ke muara, nilai conductivity makin tinggi. Dekat laut conductivitinya mencapai 30000 us/cm. Di Jembatan Besi sendiri, conductivity air sungai adalah sekitar 20000 us/cm. Ini menimbulkan kecurigaan mengenai sample air yang diantar oleh petugas PDAM beberapa waktu yang lalu, dengan nilai conductivity mendekati angka tersebut. Mungkin mereka mengabaikan perintah untuk mengambil sample dengan benar, hanya menimba air dari Jembatan Besi dan mengantarkannya ke Lab CRS.
Beragam kegiatan penduduk kami jumpai sepanjang perjalanan kami di Krueng Meurebo. Penambang pasir dengan truk, penambang pasir dengan perahu, penambang pasir dengan truk-truk yang langsung parkir ke dalam air, pemancing, pencari kerang, orang-orang yang mandi, mencuci dan lain-lainnya. Makin kehulu airnya semakin jernih, dan Pak Dahlan harus lebih berhati-hati karena banyak jaring yang dipasang melintang. “ Itu jaring untuk menangkap ikan ‘keruelieng’”, katanya. Seorang bapak dan anaknya yang berusia belasan sedang mencari kerang dengan menyelam. Tumpukan kerang bulu hitam sudah tinggi di perahu mereka. Jam dua belas siang kami menuju ke Desa Cukok Mariek untuk beristirahat dan makan siang.
Sesampai di lokasi relokasi warga Padang Seurahet di desa Cukok Mariek, kami mendapati banyak penduduk sedang bekerja membersihkan lokasi. Rencananya mereka akan membangun barak-barak sementara, sambil menunggu rumah yang juga dibangun oleh Palang Merah Spanyol di lokasi yang sama selesai. Andi Diah – manager Watsan Palang Merah Spanyol Meulaboh sudah menunggu kami di tempat tersebut.
Makan siang datang – menu yang agak aneh untuk cuaca yang sepanas ini. Kari kambing khas Aceh mungkin lebih cocok dinikmati pada saat cuaca dingin, atau bagi mereka yang tidak berencana untuk melakukan aktivitas ditempat terbuka yang panas. Tetapi yang jelas, semua makan seperti musafir. Panas dan pedas, kami nyaris menghabiskan semua makanan yang tersedia. Minumnya adalah air timum, sekedang pendingin untuk meredakan panas yang disebabkan oleh kari kambing. Kekenyangan, kami berpencar mencari keteduhan dibawah pohon untuk meluruskan badan sebentar.
Jam satu siang kami berangkat kembali. Penumpang bertambah satu orang – Mirza dari bagian Housing Palang Merah Spanyol yang ingin berjalan-jalan. Setelah mengambil sample yang pertama siang itu, Pak Dahlan mengajak kami kelaut untuk melihat-lihat. Ajakan yang pasti tidak akan kami tolak. Perahu diarahkan ke muara Krueng Meureubo, kemudian dibelokkan menuju sungai kecil yang melewati Rundeng, kemudian terus ke Padang Seurahet.
Hari ini Jamie akan meninggalkan kami, balik ke Inggris. Dia akan kembali menekuni bisnisnya, perusahaan kecil yang menyediakan alat-alat perairan untuk rumah tangga dan pertanian. Pesta perpisahan dilakukan beberapa hari yang lalu, diwarung salah seorang rekan kami Alimudin Jamal yang terletak di kampung Kuta Padang. Makanan utamanya adalah mi kepiting, yang dinikmati oleh setiap orang dengan lahap, termasuk bule-bule. Dengan pengecualian Juanto. Dia tidak pernah tahu cara makan kepiting, begitu pengakuannya. Ross datang dengan istrinya Johara yang sedang hamil dan anaknya yang berusia tiga tahun yang bernama Naila. Loreen Lockwood juga ikut
Oleh-oleh untuk Jamie sudah kami siapkan, berupa foto-foto dari seluruh pelosok Aceh yang kami kumpulkan. Jumlahnya ada sekitar seribuan, disimpan dalam 3 buah CD. Jamie berjanji akan terus mengabari kami. Dia juga mengundang kami untuk ketempat dia suatu saat. “It will be easy to find a job there for a suitable people”, katanya. Ya, mudah-mudahan saja ada kesempatan.
Kami tidak bisa mengantar Jamie ke bandara Cut Nyak Dien, karena hari ini adalah jadwal kami bersama dengan Spanish Red Cross untuk melakukan survey kualitas air Krueng Meureubo. Rencananya, SRC akan membangun raw water intake untuk PDAM Meulaboh, dan mereka perlu bantuan kami untuk menganalisa kualitas air sungai Krueng Muereubo di berbagai titik. Karena kami menginap di kantor Dinkes – yang juga menjadi laboratorium analisa air – jam 5 pagi Rimbawan dari Palang Merah Spanyol bersama Pak Saifudin – the driver – menjemput kami. Rencananya, kami akan memantau kualitas air sungai setidaknya pas pasang tertinggi dan surut terendah, yang diperkirakan akan memakan waktu sekitar dua belas jam. Dari informasi yang dikumpulkan sebelumnya, saat ini, pasang tertinggi akan berlangsung sekitar jam 6 sampai jam 7 pagi. Setelah menikmati segelas teh dan kopi panas kamipun berangkat menuju Jembatan Besi Krueng Meureubo, dimana seharusnya speedboat yang akan dikemudikan oleh Pak Dahlan sudah menunggu. Alat-alat analisa yang kami bawa adalah deep sampler – alat untuk mengambil sample air pada kedalaman tertentu, conductivity meter, pH meter dan turbidity meter. Tidak ketinggalan kamera digital dan aserorisnya, serta GPS untuk pemetaan lokasi sample. Deep samplernya sendiri adalah milih SDC – sebuah NGO dari Swiss. Seharusnya, kami menggunakan alat itu beberapa waktu yang lalu, bersama dengan seorah ahli kualitas air dari Amerika. Tetapi takdir menentukan lain. Satu hari sebelum jadwal, pada hari Minggu yang cerah, bule tersebut tewas tenggelam di Pantai Lhok Nga Banda Aceh pada saat berselancar. “Fate is funny, isn’t it? This very guy was scheduled to meet us today, but last day he just has already gone to meet his maker”, kata Ross. Ya, siapa yang bisa menduga takdir. Sama seperti halnya musibah tsunami yang memakan ratusan ribu korban 24 Desember 2004 lalu.
Dari CRS, kami Cuma bertiga: saya, Ramang dan Pak Syukur yang saya ajak untuk membantu. Tidak ada masalah bagi mereka, tetapi bagi saya jelas-jelas sangat membantu. Mereka adalah nelayan yang pandai, yang pasti akan sangat mengenal liku-liku Krueng Meureubo sampai ke laut. Juanto sendiri pulang ke Medan dua hari yang lalu.
Tidak ada siapa-siapa di Jembatan Besi pada saat kami sampai. Pak Dahlan seharusnya sudah siap di sama dengan speedboatnya. Rimbawan pergi menjemputnya. Kami menunggu dalam udara dingin di bawah Jembatan Besi. Cahaya terang mulai nampak di timur. Saya mengambil gambar-gambar yang tidak setiap hari bisa saya ambil.
Akhirnya Pak Dahlan tiba dengan speedboatnya yang baru, bantuan dari pemerintah Kuwait. Dia adalah warga Padang Seurahet – lokasi yang hancur total pada saat tsunami melanda. Tidak ada yang kembali ke lokasi semula, semua warga yang selamat dialihkan ke lokasi baru – desa Cukok Mariek, yang kebetulan juga desa binaan Palang Merah Spanyol. Sebelum berkeliling, kami melapor dulu ke pos aparat di pingir sungai dekat Jembatan Besi.
Pengambilan sample air dilakukan setiap jam di beberapa titik, dimulai jam tujuh pagi selama dua belas jam. Setiap kedalaman menunjukkan hasil yang berbeda. Rata-rata, Krueng Meurebo berkedalaman sampai 5 meter pada saat pasang tertinggi, dengan kualitas air paling buruk (conductivity tertinggi) pada kedalaman 3 dan 4 meter. Makin dekat ke muara, nilai conductivity makin tinggi. Dekat laut conductivitinya mencapai 30000 us/cm. Di Jembatan Besi sendiri, conductivity air sungai adalah sekitar 20000 us/cm. Ini menimbulkan kecurigaan mengenai sample air yang diantar oleh petugas PDAM beberapa waktu yang lalu, dengan nilai conductivity mendekati angka tersebut. Mungkin mereka mengabaikan perintah untuk mengambil sample dengan benar, hanya menimba air dari Jembatan Besi dan mengantarkannya ke Lab CRS.
Beragam kegiatan penduduk kami jumpai sepanjang perjalanan kami di Krueng Meurebo. Penambang pasir dengan truk, penambang pasir dengan perahu, penambang pasir dengan truk-truk yang langsung parkir ke dalam air, pemancing, pencari kerang, orang-orang yang mandi, mencuci dan lain-lainnya. Makin kehulu airnya semakin jernih, dan Pak Dahlan harus lebih berhati-hati karena banyak jaring yang dipasang melintang. “ Itu jaring untuk menangkap ikan ‘keruelieng’”, katanya. Seorang bapak dan anaknya yang berusia belasan sedang mencari kerang dengan menyelam. Tumpukan kerang bulu hitam sudah tinggi di perahu mereka. Jam dua belas siang kami menuju ke Desa Cukok Mariek untuk beristirahat dan makan siang.
Sesampai di lokasi relokasi warga Padang Seurahet di desa Cukok Mariek, kami mendapati banyak penduduk sedang bekerja membersihkan lokasi. Rencananya mereka akan membangun barak-barak sementara, sambil menunggu rumah yang juga dibangun oleh Palang Merah Spanyol di lokasi yang sama selesai. Andi Diah – manager Watsan Palang Merah Spanyol Meulaboh sudah menunggu kami di tempat tersebut.
Makan siang datang – menu yang agak aneh untuk cuaca yang sepanas ini. Kari kambing khas Aceh mungkin lebih cocok dinikmati pada saat cuaca dingin, atau bagi mereka yang tidak berencana untuk melakukan aktivitas ditempat terbuka yang panas. Tetapi yang jelas, semua makan seperti musafir. Panas dan pedas, kami nyaris menghabiskan semua makanan yang tersedia. Minumnya adalah air timum, sekedang pendingin untuk meredakan panas yang disebabkan oleh kari kambing. Kekenyangan, kami berpencar mencari keteduhan dibawah pohon untuk meluruskan badan sebentar.
Jam satu siang kami berangkat kembali. Penumpang bertambah satu orang – Mirza dari bagian Housing Palang Merah Spanyol yang ingin berjalan-jalan. Setelah mengambil sample yang pertama siang itu, Pak Dahlan mengajak kami kelaut untuk melihat-lihat. Ajakan yang pasti tidak akan kami tolak. Perahu diarahkan ke muara Krueng Meureubo, kemudian dibelokkan menuju sungai kecil yang melewati Rundeng, kemudian terus ke Padang Seurahet.
Foto: Mirza dan Rimbawan dari Cruz Roja Espanola (Palang Merah Spanyol)
Pemandangan kota Meulaboh nampak berbeda dari laut. Kerusakan ternyata jauh lebih parah daripada yang nampak dari darat. Padang Seurahet, daerah tempat Pak Dahlan berasal, kerusakannya sangat parah. Lokasi tersebut terisolir sama sekali. Jembatan penghubung satu-satunya dari Meulaboh daratan sudah hilang, dan kemungkinan tidak akan dibangun kembali untuk waktu yang cukup lama, terlebih lagi karena warga daerah tersebut akan di relokasi. Ada satu mesjid yang hanya tinggal kubahnya saja yang nampak. Mulanya kami kira kubah itu adalah sisa dari mesjid yang hancur, ternyata bukan. “Mesjid tersebut amblas ke dalam tanah sampai kebatas kubah yang nampak sekarang ini pada saat gempa, sebelum air naik”, kata Pak Dahlan. Seluruh bangunan mesjid amblas. Mesjid yang satu lagi hanya tinggal tiang-tiangnya saja, kolom-kolom beton. Daerah lainnya seperti Suak Ujong Kalak, Rundeng, Ujong Karang, nampak kosong – tidak banyak bangunan. “Dulu, daerah ini adalah daerah yang sangat padat”. Bencana tsunami menyapu semuanya.
Kecapekan sepanjang hari di atas sungai, lewat jam tujuh malam kami mendarat. Mobil sudah menunggu, siap mengantar kami kembali menuju kantor Dinkes Aceh Barat di Seuneubok. Data sudah terkumpul, dan saya harus menyiapkannya malam ini, karena akan dibawa ke meeting Unicef besok.
Subscribe to:
Posts (Atom)