Tuesday, November 15, 2005

Lebaran ...

Lebaran di kampung kali ini terasa sekali ramainya. Manusia-manusia bermunculan dari segala penjuru perantauan. Yang dulu tidak berani pulang karena berbagai alasan kini melenggang dengan nyaman di kampung halaman. Wajah-wajah tidak begitu dikenal berseliweran, dengan bisik-bisik yang beredar begitu mereka lewat, “dia baru turun”. Atau, “Dia sudah lima belas tahun tidak pulang”.
Dua hari menjelang lebaran, sama seperti di awal puasa, adalah hari meugang. Pasar-pasar menyediakan daging sapi dan kerbau. Harga daging yang kembali membumbung tinggi (terutama kerbau, karena di tempat kami, daging kerbau lebih bergengsi dibandingkan dengan daging sapi). Orang-orang kembali memenuhi pasar, terutama yang laki-laki (di tempat kami, yang belanja untuk kebutuhan dapur adalah laki-laki. Kaum perempuan, kalau tidak mendesak sekali, hanya belanja ‘kecil’ diwarung-warung terdekat). Orang-orang berusaha membawa sekilo dua kilo daging untuk keluarga, baik dibayar tunai ataupun hutang. Mereka yang kurang mampu mengupayakan makan daging dengan memotong ayam atau bebek. Kaum perempuan kembali dibuat sibuk di dapur memasak daging, yang biasanya dalam bentuk masakan tradisional aceh: sie (daging) puteh, sie mirah, reundang, sop dan lain-lain. Anak-anak tiap sebentar masuk dapur, minta izin untuk segera berbuka puasa dengan masakan daging yang mengepul-ngepul dikuali.Jawabannya biasanya hardikan untuk segera meyingkir sejauh mungkin dari dapur.
Takbiran dilakukan di meunasah beramai-ramai. Tidak ada pawai ataupun arak-arakan takbiran di kampung-kampung, hanya di kota-kota saja. Anak-anak tanggung memenuhi meunasah, kemudian menghilang. Mereka berkelompok-kelompok mengunjungi rumah-rumah, meminta kue (terutama timphan yang masih berasap-asap karena baru dimasak). Kue-kue tersebut mereka bawa ke meunasah untuk dimakan bersama-sama. Selesai takbiran, acara dilanjutkan dengan penerimaan zakat fitrah dan kemudian lagsung dibagikan malam itu juga. Biasanya, tidak ada yang tidur lagi, atau langsung tidur di meunasah.
Setelah Shalat Ied di mesjid, masyarakat yang laki-laki jarang langsung pulang ke rumah. Mereka berkumpul dulu di simpang-simpang jalan, di pos ronda atau di warung kopi yang sudah buka (seperti pernah saya ceritakan, pos jaga di kampung kami – mungkin juga di kampung-kampung lainnya di Pidie – menjadi tempat masyarakat berinteraksi, terumana yang laki-laki). Masyarakat saling berjumpa di sini, bermaaf-maafan, ngobrol ringan tentang segala hal. Jika ada wajah baru yang pulang dari perantauan, uang segera keluar (seringkali ditodong!) untuk membeli kopi dan sekedar penganan kecil.
Yang pulang dari rantau merasa harus menunjukkan suksesnya. Kenderaan-kenderaan dengan plat luar daerah parkir di mana-mana. Jalanan kampung yang biasanya sepi kini tak pernah sunyi dari kenderaan yang melintas. Kelompok-kelompok kecil terbentuk untuk mendengarkan cerita-cerita yang dibawa perantau. Makin jauh perantauannya, makin seru ceritanya dan makin banyak pendengarnya.
Rumah-rumah di kampung menyediakan kue-kue tradisional Aceh, timphan dan juga kue-kue lainnya, peukarah, samaloyang, bhoi. Kadang ada juga yang menyediakan meuseukat dan dodoi, manisan yang tingkat kemanisannya sangat mengerikan (manis sekali!). Setiap bertamu hampir pasti disuguhi timphan dalam berbagai versi: ada yang berisi sarikaya, ada yang hanya berisi kelapa manis karena dicampur gula. Mereka yang merasa dirinya lebih modern menyediakan kue-kue buatan pabrik yang nampak mewah dalam kehidupan di kampung. Untuk anak-anak yang bertamu (biasanya mereka menjalaninya dari rumah ke rumah) selalu ada salam temple yang besarnya tergantung dari kemampuan tuan rumah.
Sepeda motor sangat ramai dijalan raya, kebanyakan ditunggangi oleh anak-anak tanggung yang baru saja mengetahui cara memutar gas dan menekan rem beberapa waktu yang lalu. Jalanan menjadi berbahaya dan rawan kecelakaan.
Setelah dua atau tiga hari saling bersilaturrahmi ketempat kerabat dan keluarga, tibalah saatnya untuk melakukan hal yang selama konflik bersenjata nyaris terlupakan: berdarmawisata. Kenderaan roda dua dan empat, seringkali pikap terbuka yang baknya disesaki dengan manusia menuju berbagai tempat wisata. Tempat wisatanya sendiri unik: tempat yang ada airnya. Irigasi besar dengan sungai besar yang teduh (seperti irigasi Keumala dan Batee Iliek) menjadi tempat favorit dari dulu. Batee Iliek sendiri penuh sesak dengan manusia. Keluarga-keluarga menggelar tikar, mengeluarkan makanan yang sudah disiapkan dari rumah. Ada juga kelompok yang memotong kambing, dan sebentar kemudian harum kari sudah menyebar ke mana-mana. Pasangan-pasangan muda memilih untuk mojok ketempat-tempat yang lebih sepi. Ada juga yang mandi di sungai dangkal yang berair sangat jernih.
Kami sekeluarga juga sudah berniat ke sana. Setelah bersilaturrahmi dengan beberapa kerabat, tersadari bahwa Batee Iliek hanya berjarak beberapa belas kilometer lagi. Dengan mengendarai sepeda motor sewaan, kamipun menuju kesana - sekedar ingin mengetahui. Jalanan sangat ramai, sepeda motor dan mobil, kebanyakan pikap berisi penumpang. Semuanya menuju ke sana. Karena sudah waktunya makan siang, kami berhenti dulu di di Ulee Glee, kota kecil terdekat dengan Batee Iliek. Semua rumah makan di Ulee Glee penuh sesak dengan pengunjung. Susah kali untuk bisa makan dengan tenang – bahkan ada yang bersedia makan sambil berdiri. Kalau di Ulee Gle saja sudah begitu ramainya, bagaimana pula di Batee Iliek? Lebih baik tidak usah ke sana. Pulang saja, kami mengambil keputusan. Ternyata keputusan yang tepat, karena ternyata kemudian Batee Iliek menjadi rusuh.
Seperti yang diceritakan oleh sekelompok orang yang kami jumpai di pondok ie tubee (tempat jualan air tebu), pemuda-pemuda setempat yang dibuat gerah oleh pasangan-pasangan yang berpacaran tampa menghiraukan keadaan sekitar, mengambil tindakan kasar: dengan sepotong kayu mereka menggebuki setiap orang yang tidak mau menyingkir dari lokasi Batee Iliek. Orang-orang yang lagi makan dipaksa pergi, yang baru saja mau memasak kambing disuruh pulang. Ada juga yang konyol: ditengah keributan seorang anak tanggung menggebuk seorang kakek-kakek sambil berteriak, “dilarang berbuat maksiat di sini!”. Tentu saja keluarga si kakek menjadi marah dan membalas. Saling pukul terjadi, berakhir dengan keributan kecil.
Tempat-tempat lain yang dulunya (semasa konflik) merupakan tempat mengerikan yang harus dihindari sejauh-jauhnya, kini menjadi tempat favorit. Air terjun kecil di dekat Tangse, misalnya. Air terjun tersebut kecil saja, dengan ketinggian sekitar duapuluh atau tiga puluh meter. Letaknya persis dipinggir jalan lintas Beureunuen – Melaboh menjelang kota Tangse. Sebelah kiri jalan, langsung jurang dengan kedalaman sekitar empat puluhan meter, dengan sungai mengalir deras di dasarnya. Bulan Oktober lalu, jurang ini memakan korban. Sebuah L300 sarat penumpang dari Medan, dibawa oleh supir yang mungkin mengantuk di tempat tersebut. Bus terjun bebas menghantam air (luput dari batu-batu besar yang menunggu), menyebabkan dua orang meninggal dunia. Menengok kondis busnya yang hancur berantakan, bisa dibayangkan bahwa sulit untuk selamat dari kecelakaan tersebut. Selama musim lebaran (sejak kapan lebaran jadi musim?), pondok-pondok pedagang berdiri menyesaki pinggir jalan yang memang sudah sempit. Tangga tanah dibentuk untuk menuruni tebing yang menuju sungai di dasar jurang. Manusia memenuhi seluruh tempat: di kolam yang terbentuk oleh air terjun, di pondok-pondok pedagang, di pinggir sungai di dasar jurang. Orang-orang mandi dan berendam. Kenderaan-kenderaan, mobil dan sepeda motor parkir seadanya, asal tidak menutupi jalan saja. Pemuda-pemuda setempat langsung mengambil posisi terhormat, menjadi petugas parkir dan sekaligus melantik diri mereka menjadi penjaga keamanan. Sama seperti di daerah-daerah lain, petugas-petugas amatir ini kadang juga bertindak aneh. Suara-suara keras dilontarkan melalui hardikan terhadap pengunjung yang mereka anggap melanggar ketentuan yang mereka buat. Penjual makanan sangat laris. Mi Aceh yang disiapkan seadanya, kopi, martabak telur habis diserbu pengunjung. Mungkin cuaca dingin menyengat membuat selera makan meningkat pesat, apalagi mereka yang habis mandi dan berendam di air terjun.
Di Banda Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman menjadi lautan manusia. Orang-orang datang dari berbagai pelosok, berkelompok-kelompok. Keluarga-keluarga menggelar tikar, mengeluarkan makanan dan minuman. Sudut-sudut taman mesjid dipenuhi oleh orang-orang, laki-laki dan perempuan. Anak-anak berlarian dengan riang, memamerkan mainan yang baru mereka beli. Mainan biasanya berupa benda-benda yang akrab dengan kekerasan: senjata dalam berbagai tipe untuk anak laki-laki. Hampir setiap anak laki-laki memegang senjata mainan dalam berbagai ukuran, pistol besar dan kecil, senapan serbu, senapan untuk penembak jitu. Hampir tidak ada yang memegang pisau atau golok mainan. Anak perempuan saya yang baru tiga tahun nampak bangga sekali dengan mainannya – sebuah tiruan shot gun dengan peluru mimis plastik dengan ukuran yang hampir sepanjang badannya. Dia tidak tahu cara menggunakannya, tetapi menyeret-nyeret senapan itu sudah cukup bagi dia.
Anak-anak perempuan memilih mainan yang lebih feminin dan lebih manusiawi - balon berbagai warna, asesoris pakaian, boneka. Penjual mainan memenuhi jalan di depan mesjid, mereka tidak boleh berjualan dalam kompleks mesjid. Tukang foto keliling meraup rezeki yang berlimpah saat-saat tersebut, orang-orang berfoto dengan latar belakang mesjid. Ada belasan mereka di sana, sibuk melayani pelanggan mereka dalam berbagai pose.

No comments: