Sunday, October 23, 2005

Setelah hari-hari dengan hujan berkepanjangan, akhirnya matahari kembali muncul dari balik awan. Tidak tanggung-tanggung, dengan panas yang lebih dari biasanya (mungkin karena sudah terbiasa dengan cuaca dingin), mengisap air dari tubuh mereka yang bekerja pada tempat terbuka. Cuaca berat, membuat orang-orang menjadi malas berkeliaran jika tidak ada keperluan, dan lebih memilih berada di tempat teduh yang nyaman.
Cuaca yang berat mungkin menjadi salah satu alasan bagi kawan-kawan serombongan untuk tidak berpuasa saat berada di lapangan. Cukup menyedihkan bagi yang berpendapat seperti itu. Bergabung pada organisasi asing yang jelas-jelas berbeda haluan keyakinan dengan kita, memakai atribut organisasi tersebut saat berada di lapangan, berkendaraan dengan logo BESAR organisasi AGAMA lain (ok,ok, organisasi tersebut adalah CRS - Catholic Relief Services, bagi yang penasaran) di bodi mobil - bukan pembenaran untuk bersikap demonstatif tidak puasa, terutama di depan masyarakat. Pendapat masyarakat bisa ditebak: inilah dia masyarakat Islam yang lebih k---r daripada manusia tempat dia bekerja! Pada saat kami berada di salah satu tempat di lapangan, seorang rekan dengan ringannya mengambil buah dari pekarangan penduduk (sementara kami menunggu di mobil, dan dia ada keperluan untuk menemui salah seorang penduduk di wilayah tersebut). Sementara, dari balik pagar-pagar rumah, para penduduk melihat perbuatan tersebut. Dengan muka yang menunjukkan rasa jijik, tentu saja.
Terus ada lagi cerita, bahwa beberapa waktu yang lalu seorang Cina (maaf bagi warga Cina-tidak bermaksud rasialis) telah diarak karena menjual makanan terlalu cepat, dan ada orang yang tidak berpuasa yang membelinya. Kenapa bukan orang yang tidak berpuasa itu yang diarak? Toh, kalaupun orang Cina itu berjualan sepanjang hari, jika semua orang berpuasa, bisa dipastikan TIDAK akan ada orang yang akan belanja makanan padanya, dan hal ini akan cukup untuk membuatnya jera (dan sekaligus rugi!) --- atau rugi sekaligus jera. Jika seseorang memang tidak ingin berpuasa, usahkan ada orang Cina berjualan makanan, tidak ada orang jualanpun dia akan cari jalan untuk dapat makan sesuatu. (Ini hanya pendapat pribadi. Tidak ada maksud tertentu. Saya sendiri, Alhamdulillah, selama berpuasa ini tidak terpengaruh oleh orang yang makan dan minum di depan saya).
---------
Beberapa berita dari koran lokal beberapa hari ini: "Masyarakat Punge Banda Aceh menurunkan papan nama INGO xxxx xxxxxx". "LSM pengobral janji supaya tinggalkan Aceh". Isu yang disampaikan seorang kawan dari bagian Community Liasion Watsan "Masyarakat Kubang Gajah rusak rumah yang dibangun oleh INGO xxx karena spesifikasinya tidak sesuai dengan kesepakatan". Masih banyak lagi mungkin, baik yang diketahui ataupun tidak diketahui.

Friday, October 14, 2005

Kegiatan-kegiatan menjadi rutin sekarang. Day in, day out. Manusia-manusia baru berdatangan, berseliweran sebentar, menghilang. Atau petinggi-petinggi organisasi yang datang dari berbagai penjuru, mengumpulkan orang-orang (ada rapat penting!), mendesingkan fatwa dan nasehat tentang pentingnya apa yang sedang dilakukan sekarang. Bla-bla-bla. Keluar dari ruangan sehabis meeting, kayaknya semua orang melupakan apa yang barusan didengarnya
Selama bulan puasa, kegiatan tetap berjalan sebagaimana semula. Semua sektor berjalan pada kecepatan yang tertinggi, mempersiapkan semuanya agar beres sebelum liburan massal selama 10 hari dimulai. Kami tetap kelapangan mengambil dan menganalisa sampel-sampel air. Hari ini di kamp pengungsi ini, besok di barak pengungsi sana. Lusa di desa anu. Begitu seterusnya.
Liburan massal akan dimulai pada tanggal 28 Oktober 2005, sampai dengan tanggal 7 November 2005. Bisa dipastikan, semua manusia lokal yang beragama Islam akan menghilang dari tempat pekerjaan. Bahkan yang berasal dari pulau Jawa mulai sekarang sudah mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi cuti. Mengurus cuti dengan bagian personalia, mengurus transportasi dan lain sebagainya. Saya sendiri tidak ambil pusing, toh dekat saja. Kapan saja saya bisa menghilang ke kampung halaman.
Hari ini kembali kami menuju ke Arongan Lambalek, untuk mengambil sampel air dari beberapa lokasi pengungsi. Tujuan kami adalah ke Cot Buloh, Seuneubok Teungon, Kubu dan lokasi pengungsi lainnya di Arongan. Perjalanan terasa lebih mudah sekarang, walaupun ada beberapa tempat di daerah Samatiga yang tetap harus melewati pasir pantai dan medan lumpur.
xxxxxxxx
Medan berat di daerah Suak Seuke, Samatiga
xxxxx
Disuatu lokasi pembangunan perumahan, kami amati proses pembongkaran batu-bata yang dilakukan dengan sepenuh hati: secara serampangan. Biasanya dimana-mana (termasuk di Aceh, juga di Aceh Barat) pembongkaran batu batu dilakukan dengan hati-hati, batunya disusun rapi, mengingat kondisi batu bata yang gampang patah. Tetapi yang ini agak berbeda. Membongkar batu-bata sama seperti membongkar pasir, atau batu koral. Mungkin maksudnya supaya cepat selesai, tanpa mempertimbangkan banyak batu-bata yang pecah dan hancur karena dilemparkan. Atau dikarenakan ada orang lain yang mendanai? Coba kalau uang sendiri. Pasti pemilik atau bertengger di samping truk untuk memastikan setiap keping bata yang dia beli dibongkar dalam keadaan tidak kurang sesuatu apapun. Pemilik rumah yang dibangunpun tidak banyak mulut, cukup tau diri, karena bukan dia yang membayar semua ini. Kalaupun dia protes, paling jawabannya sangat memuaskan, "Ah, ditempat lain juga begini cara membongkarnya! Tidak ada yang ribut!". Supervisor proyekpun hanya berkeliaran saja, tanpa protes apa-apa, kelihatannya. Ketiga salah satu dari kami berteriak supaya batu-batanya dibongkar dengan cara lebih baik dan disusun rapi, mereka hanya menengok saja, saling pandang sebentar, dan meneruskan pekerjaannya seperti biasa (lokasi tersebut adalah lokasi kerja CRS). Mungkin pada pendengaran mereka apa yang diteriakkan kami adalah dalam bahasa asing yang tidak dipahami mereka? Atau mereka berpendapat, walaupun sama-sama satu organisasi, supervisor mereka saja tidak protes tentang apa yang mereka lakukan.

Proses pembongkaran batu-bata di salah satu lokasi perumahan

--------------
Sikap masyarakat akhir-akhir ini mulai berbeda tentang kehadiran NGO, baik lokal ataupun internasional. Saaangat berbeda dibandingkan masa-masa bulan Maret - Juni. Apa yang kami amati pada saat kami mengambil sampel air di salah satu lokasi pengungsi, kami diteriaki (dalam bahasa Aceh) -- "Ini dia datang lagi! Apa lagi yang kalian perlukan?" --- dimasa-masa awal --"Apa yang kalian tawarkan untuk membantu kami?" --- kira-kira seperti itu. Atau seperti ini "Mudah-mudahan ini yang terakhir! Capek aku memberikan data ini itu, tanpa hasil! Bikin sibuk orang saja!". Ada juga yang tidak terlalu kejam, "Sudah dua puluh lima proposal kami buat ke organisasi ini, organisasi anu. Setiap kami mencoba memohon sesuatu, manusia yang kami temui selalu berpesan untuk menyiapkan proposal! Proposal! Jangan-jangan proposal kami digunakan untuk kepentingan dia sendiri!". Setelah kami tanyai, ternyata yang mereka coba minta adalah sebuah genset kecil untuk menghidupkan pompa air pada saat listrik tidak nyala pada siang hari, sehingga air bersih tetap tersedia setiap saat.
Kedengarannya agak berlebihan, tetapi memang berlebihan.
Waktu saya kebetulan ke Lhok Nga (sekitar Banda Aceh), penduduk pengungsi setempat mengungkapkan kegeramannya kepada staff NGO, terutama yang lokal. Berkeliaran di kalangan warga pengungsi dengan gaya luar biasa, alat-alat canggih bergantungan di badan (rata-rata mempunyai kalung gantungan USB flash disk). Apa yang dia keluhkan lebih-lebih terhadap kenderaan dan gaya mengemudi pengemudi NGO-NGO. Dengan kenderaan 'mewah'nya, mereka ngebut melewati lokasi penduduk dengan kecepatan yang tidak berkurang - menimbulkan debu dan kekhawatiran akan terjadinya kecelakaan. "Makanya sekarang kami pasang kayu-kayu ini, sehingga kenderaan yang lewat terpaksa mengurangi kecepatannya", ungkapnya. Ide bagus juga.
Kami juga pernah mengamati dua kenderaan yang berpapasan di lorong sempit yang saling tidak mau mengalah. Truk besar (mirip reo) masuk dari jalan besar, dan tidak mungkin mundur lagi, karena lalulintas agak padat. Double cabin, karena merasa dia sudah di ujung jalan, dia yang berhak lewat duluan, jadi dia merasa benar dalam perselisihan ini. Double cabin itu mendesak terus untuk maju, sementara di belakang dia ada tempat kosong untuk mundur. Truk jelas-jelas tidak bisa mundur, karena langsung masuk ke jalan besar yang ramai. Setelah diteriaki (dan digoblok-gobloki) oleh orang-orang di warung, baru dia bersedia mundur dan memberi jalan kepada truk tersebut untuk lewat. Dengan muka ketat dan kejam, tentu saja. Yang menjadi catatan saya di sini, truk tersebut milik suatu organisasi besar yang bekerja di Meulaboh (truknya juga besar -- tidak ada hubungannya). Tetapi yang membuat supir double cabin tersebut sangat percaya diri, dia bekerja pada organisasi yang LEBIH BESAR, bahkan SANGAT BESAR di planet bumi ini. Jadi, dengan nama SANGAT BESAR di belakangnya, dia merasa berkuasa untuk bertindak lebih. Itulah orang kita (orang ACEH!---eh, saya juga orang Aceh).
Tidak semua NGO seperti itu, memang, sekaligus mudah-mudahan.
Janji-janji juga bikin masalah. Bertemu dengan satu-dua-atau sekelompok masyarakat, tanya-tanya-tanya, catat-catat-catat, foto-foto-foto. Dan janji. Janji-janji memang akan terpenuhi, mudah-mudahan. Setelah sekian lama, janji belum terselesaikan juga. Masyarakat menagih ke kantor. "ooo, tolong dibikin proposalnya ..."
Tidak semua NGO seperti itu, memang, sekaligus mudah-mudahan.

Wednesday, October 05, 2005

Marhaban, ya Ramadhan ...

Bulan Ramadhan kali ini terasa berbeda. Puasa dijalani dalam suasana berduka, dalam ketidakhadiran sanak saudara yang menjadi korban dalam musibah beberapa bulan yang lalu. Sekaligus juga dalam suasana gembira dikarenakan akan pengharapan perdamaian tercipta pasca perjanjian Helsinki. Bagi saya, inilah bulan puasa pertama dalam sepuluh tahun terakhir ini yang dijalani di Aceh. Suasana berbeda sekali dibandingkan dengan masa-masa awal saya kembali ke Aceh. Tidak ada lagi pemeriksaan KTP di pos-pos militer, beragam pertanyaan yang harus dijawab dikarenakan KTP saya bukan merah-putih.
Seperti biasanya, masyarakat Aceh mengawali puasa dengan hari meugang, yang dimulai dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Setiap keluarga pada hari meugang mengupayakan ada daging di rumahnya. Di mana-mana orang menyembelih sapi dan kerbau. Harga daging yang membumbung tinggi (kesempatan!) tidak mengurangi minat masyarakat untuk membawa pulang sekilo dua kilo daging untuk keluarganya. Yang lebih mampu membawa lebih: tungkai sapi atau kerbau, kadang-kadang kepala kerbau (lengkap dengan tanduknya!). Kesibukan di dapur rumah-rumah luar biasa.
Malamnya menjalani salat taraweh di meunasah-meunasah atau di mesjid-mesjid. Suasana bulan puasa sangat terasa. Tidak ada orang yang berkeliaran (terutama di kampung). Yang tidak ikut shalat taraweh berdiam diri di rumah menunggu taraweh selesai, baru keluar untuk berkumpul rame-rame di pos jaga (di kampung-kampung di Pidie, pos jaga dari dulu sudah menjadi tempat publik untuk berkumpul dan berinteraksi) atau diwarung-warung kopi yang buka sampai subuh. Mereka mengobrol ngalor ngidul atau menonton televisi (di kebanyakan rumah tangga di kampung-kampung, televisi masih merupakan barang mahal. Warung-warung kopi memasang televisi dan antena parabola untuk menarik pengunjung). Yang lebih taat melaksanakan tadarus Quran di Mesjid atau di meunasah.
Ada kebiasaan yang terus berlangsung baik di kampung atau di kota: acara buka puasa bersama. Dikampung saya, penganan untuk berbuka disediakan oleh setiap rumah tangga secara bergilir. Hari ini lima rumah menyediakan kue-kue berbuka, besok lima rumah yang lain. Kalau semua sudah dapat giliran, putaran dimulai lagi dari awal. Minuman berbuka puasa disiapkan tiap hari di meunasah, dengan dana gotong royong dari masyarakat. "Ie bu lada", merupakan sejenis minuman dengan komposisi rempah-rempah dan daun-daunan dengan rasa pedas menyegarkan. Setiap sore, mulai sekitar jam tiga, seorang petugas yang ditunjuk sudah mulai melakukan persiapan untuk memasak. Karena harus cukup untuk memenuhi kebutuhan orang sekampung, memasak dilakukan dalam kancah besar. Sekitar jam lima, anak-anak mulai berdatangan dengan membawa teko ataupun tempat lainnya untuk mengambil "ie bu" untuk dibawa pulang (untuk kebutuhan kaum perempuan dan mereka yang tidak berbuka puasa di meunasah). Mereka yang kena giliran menyediakan penganan berbuka juga sudah datang dan mengantarkan kue-kue ke meunasah.
Sekitar jam enam sore, warga laki-laki mulai berdatangan ke meunasah untuk berbuka bersama. Makanan dibagikan dalam lembaran-lembaran daun pisang, jumlahnya harus cukup untuk semua orang yang hadir (pengalaman saya sewaktu masih dikampung, tidak pernah kurang, malah sering lebih dan tertinggal). "Ie bu" disediakan dalam berbagai wadah, tetapi yang paling disukai dalah dalam terpurung kelapa (yang sudah dibersihkan tentunya). Rasanya lebih "keluar".
Jenis minuman lainnya yang disiapkan di meunasah adalah "ie bu kanji" atau sering juga disebut dengan "kanji rumbi". Ini jarang, paling dua tiga kali saja dikarenakan membutuhkan biaya yang lebih mahal (walaupun ada juga desa yang tiap hari menyiapkan "ie bu kanji" untuk warganya). Rasanya seperti kari yang encer, dengan komposisi daging (ayam, itik, kambing, sapi atau lembu) yang dicacah sangat halus, rempah-rempah, beras dan lain-lainnya. Saya sendiri tidak suka dengan "ie bu kanji" ini.
Pada hari-hari tertentu di bulan Ramadhan, seperti tanggal 17, 21, 27 acara berbuka puasa tidak dengan makanan kecil, tetapi dengan nasi dan lauk-pauknya. Semua rumah tangga akan mengantar nasi dalam baskom besar, lauk-pauk disiapkan dalam rantang susun tiga atau empat (tergantung kemampuan). Penduduk kampung yang laki-laki akan memenuhi meunasah untuk berbuka puasa bersama.
Begitu juga malam hari. Setiap tamat Quran, petugas ("Peutua Meunasah") akan meminta beberapa keluarga (yang kena giliran) untuk menyiapkan nasi dan lauk-pauknya untuk dimakan bersama oleh penduduk kampung yang laki-laki di meunasah (biasanya acara makannya sekitar jam 10 - 11 malam). Acara ini berlangsung beberapa kali di bulan Ramadhan, setiap tamat Quran. Biasanya, kami dulu sehabis acara tamat Quran ini langsung tidur (bulan puasa kebanyakan yang lajang tidur di Meunasah) dan bangun pas subuh. Sahur sudah dicukupi dengan makanan dari acara tamat Quran semalam.
Penduduk yang di rantau bisanya menyempatkan diri pulang di bulan Ramadhan, terutama di awal bulan (istilahnya "tueng puasa"). Ini merupakan kesempatan untuk bersilaturrahmi dengan warga kampung yang kadang sudah bertahun-tahun tidak saling berjumpa. Suasana kampung menjadi ramai dan meriah, sore-sore sudah ramai warga di meunasah ataupun pos jaga, saling berinteraksi.
Di Banda Aceh, perjual makanan berbuka puasa sangat banyak. Mereka memasang lapak-lapak darurat, bahkan kadang-kadang hanya meja tanpa atap di pinggir-pinggir jalan utama. Tidak heran jika jalanan menjadi macet setiap sore hari. Kue-kue ataupun makanan tradisional yang jarang ditemui di hari-hari biasa, bermunculan di bulan puasa. Favorit kami adalah "mie caluek", mi lidi dengan kuah kacang (seperti kuah gado-gado). Banyak yang menjual "mie caluek" ini (di hari-hari biasa, sangat jarang, kecuali di kampung - terutama di Pidie yang banyak peminatnya. Di daerah lain, saya kurang tahu).

Selamat menjalankan Ibadah Puasa untuk semuanya.