Wednesday, December 28, 2005

Kuburan Teuku Umar – Desa Meugoe

Tanggal 21 Desember 2005 saya, Hidayat, Sabri dan Anto dengan menggunakan Ranger menuju ke Desa Meugoe, kira-kira 30 km dari Meulaboh ke arah Tutut. Jalan kecil beraspal, awalnya cukup mulus, kemudian berganti dengan aspal kasar begitu keluar dari kota Meulaboh. Perkampungan rapat di kiri kanan jalan, dengan sawah-sawah yang baru dibajak menunggu tanah masak untuk ditanam. Di beberapa tempat jalan aspal retak besar nyaris terbelah, bekas gempa besar 24 Desember 2004 lalu.

Desa Meugoe adalah tempat Teuku Umar dimakamkan. Tertembak pada malam 11 Februari 1899 di Suak Ujong Kalak, Teuku Umar dibawa lari pengikutnya menghindari tangkapan tentara Belanda. Melintasi hutan belantara, menepuh jarak 30 km dari Suak Ujong Kalak ke Meugoe di malam hari bukan perkara mudah. Jika jasad Teuku Umar jatuh ke tangan Belanda, tentu akan dipergunakan untuk menjatuhkan mental pejuang-pejuang Aceh lainnya.

+++

Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh (sekarang ibu kota Kabupaten Aceh Barat) pada tahun 1854. Semasa kecilnya, Teuku Umar tidak pernah mendapatkan pendidikan yang baik. Hidupnya bebas, berandalan, suka berkelahi. Ia memiliki kemauan yang keras dan sukar untuk ditundukkan. Teman-temanya mengenalnya sebagai orang yang tidak mengenal rasa takut. Dalam segala persoalan Teuku Umar memiki sifat yang keras dan pantang menyerah.

Teuku Umar aslinya adalah keturunan Minangkabau. Kakeknya adalah Datuk Machdum Sakti, yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh Sultan Machmud Syah yang lebih dikenal dengan Sultan Buyung. Datuk Machdum Sakti waktu itu adalah penguasa daerah Meureubo.Datuk Machdum Sakti punya dua putra, Nantan Seutia dan Akhmad Mahmud. Teuku Akhmad Mahmud merupakan orang tua Teuku Umar.

Pada usia muda, ia sudah diangkat menjadi kepala kampung di daerah Dayah Meulaboh.

Pada usia dua puluh tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sapiah, putri Uleebalang (Hulubalang Geumpang). Kemudian Teuku Umar menikah lagi dengan Nyak Meuligoe, anak Panglima Sagoe XXV Mukim. Sejak pernikahan yang kedua ini, ia mulai menggunakana gelar bangsawannya, Teuku.

Pada saat Belanda menyerbu Aceh pada tahun 1873, Teuku Umar baru berusia sembilan belas tahun. Pada usianya yang sangat belia tersebut, Teuku Umar ikut berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya.

Pada saat ia berusia 26 tahun, Teuku Umar melamar Cut Nyak Dien waktu itu statusnya janda karena ditinggal mati suaminya Ibrahim Lamnga yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 di Gle Tarum. Awalnya Cut Nyak Dien menolak, tetapi kemudia dia menerima lamaran tersebut dengan syarat dia boleh ikut serta ke medan perang. Mereka punya seorang putri yang diberi nama Cut Gambang. Selama perkawinannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dien ikut serta dalam berbagai pertempuran melawan Belanda.

Peperangan terus berlanjut. Teuku Umar dengan pengkutnya melakukan gerakan mendekati pihak Belanda dan membina hubungan baik. Kelanjutannya adalah pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pengikutnya yang berjumlah sekitar 250 orang berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh) untuk menyerahkan diri ke pemerintah Belanda. Teuku Umar dicap sebagai pengkhianat oleh rakyat Aceh. Belanda jelas kesenangan, karena musuh mereka yang sangat berbahaya dan berpengaruh balik arah membantu mereka. Teuku Umar diberi gelar Johan Pahlawan, dan pasukannya dipersenjatai dengan lengkap. Cut Nyak Dien yang malu karena tindakan suaminya ini, menjadi ribut dengan Teuku Umar. Ajakan Cut Nyak Dien supaya suaminya kembali melawan Belanda bersama rakyat Aceh lainnya tidak dihiraukan oleh Teuku Umar. Menghargai kesetiaan Teuku Umar, kepala pemerintahan Belanda di Aceh Deykerhoff mengabulkan permintaan Teuku Umar untuk menambah 17 panglima dan seratus dua puluh prajurit, termasuk seorang Panglima Laot sebagai wakilnya.

Tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kembali balik arah bergabung dengan pejuang Aceh. Selama berada dalam pasukan Belanda, pelan-pelan ia memperkuat pasukannya dengan gerilyawan Aceh, sesuatu yang tidah pernah diungkapkannya sebelumnya. Berbelotnya Teuku Umar membawa 800 pucuk senjata, 25000 peluru, 500 kg mesiu dan uang 18000 gulden. Pengkhianatan ini dikenal dengan het verrad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Berbelotnya Teuku Umar menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi untuk menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dien beserta pasukannya. Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya. Gerilyawan Aceh menggunakan senjata yang dibawa lari dari Belanda untuk menjawab tantangan Belanda dan berhasil mempermalukan Jenderal Van Swieten. Penggantinya Jenderal Pel tewas dalam pertempuran dan pasukan Belanda kembali berada dalam kekacauan. Gerilyawan Aceh berhasil mendesak Belanda dan menduduki Kutaradja dan Meulaboh. Belanda terus menerus mengganti Jenderalnya, sementara kedudukan gerilyawan Aceh semakin kuat. Pada saat Jenderal Van der Heyden bertugas, tindakan-tindakan brutal untuk menekan gerilyawan Aceh dilakukan dengan segala cara, termasuk membantai semua laki-laki, wanita dan anak-anak yang ada di desa-desa. Akibatnya, rakyat Aceh hidup dalam ketakutan.

Pengganti Jenderal Van der Heyden, Jenderal Van Heutz, memanfaatkan ketakutan rakyat Aceh dan meneruskan aksi terornya untuk menekan Teuku Umar. Ia memanfaatkan orang Aceh untuk mendapatkan informasi mengenai Teuku Umar. Cuak (mata-mata) Belanda Tengku Leubeh memberikan informasi kepada Belanda mengenai rencana Teuku Umar dan pasukannya untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Teuku Umar tertembak di malam hari di Suak Ujong Kalak.

+++

Desa Meugoe nampak sepi ketika kami sampai. Rumah-rumah berbaris di kiri kanan jalan. Tidak banyak orang-orang yang kami jumpai. Ranger yang kami tumpangi berbelok ke kiri, menyusuri jalan aspal kecil dan berhendi di depan gapura, yang merupakan pintu masuk ke kompleks makan. Nampaknya Anto, supir kami, sudah terbiasa kemari.

Di kedua tiang gapura dengan prasasti yang ditandatangani oleh Bupati Aceh Barat Teuku Rusman pada 11 Februari 1992. Tertulis di salah satu prasasti ucapan Teuku Umar yang sangat terkenal, sebelum ia tertembak, “Beugoh singoh geutanyoe jeb kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid”. Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh, atau saya akan gugur.
Kami menyusuri jalan beton. Mobil tidak bisa lagi melewati jalan ini. Pohon akasia manaungi kiri kanan jalan, dengan daun-daun menutupi tanah memberikan suasana kusam. Rumput tumbuh tinggi di beberapa tempat. Beberapa ekor kambing berkeliaran mencari makan. Jalan mendaki dan menuruni bukit, menuju ke kompleks makam. Seorang lelaki tua sedang memotong rumput. Saya mengangguk memberi salam. Sejenak kami berhenti untuk bercakap-cakap. “Tidak banyak orang ke sini pada waktu-waktu seperti ini”, orang tua tersebut menjawab pertanyaan kami dalam bahasa Aceh, dengan logat kental Aceh Barat. “Nanti, tanggal 11 Februari, kompleks ini akan ramai seperti ‘piasan’. Orang-orang akan berdatangan untuk memperingati hari meninggalnya Teuku Umar”. Piasan adalah pesta ataupun perayaan.

Kami meneruskan perjalanan kami menaiki tangga-tangga beton. Cukup banyak anak tangga yang harus dijalani, untung saja tidak curam. Dan di depan kami tiba-tiba ada bangunan yang berbentuk benteng. Ternyata gapura lainnya yang merupakan pintu masuk ke kompleks makam. Kami melangkah ke dalamnya. Bangunan-bangunan dengan arsitektur Aceh berdiri megah, semuanya terbuat dari kayu. Sebelah kiri kami ada makam, yang diberi atap dan lantai keramik yang bersih. Sang Johan Pahlawan berbaring di sana dalam keabadian, dalam pelukan bumi Aceh yang dibelanya sampai titik darah yang penghabisan. Plang nama besar dari beton berdiri di sebelah kiri makam, dengan tulisan “Makan Pahlawan Nasional – Teuku Umar Johan Pahlawan. Lahir tahun 1854 gugur 11 Februari 1899 Suak Ujong Kalak Meulaboh”. Sebelah kiri plang nama tersebut terdapat bangunan bale-bale seperti Meunasah, begitu juga bangunan di sebelahnya, hanya saja panggungnya lebih tinggi. Dapur umum terletak di bagian bawah. Alat-alat masak terletak dengan rapi. Sebuah kancah besar menunjukkan jumlah tamu yang harus dilayani pada waktu-waktu tertentu. Tidak ada satu orangpun di sana saat itu. Penjaganya pasti pergi untuk suatu keperluan.

Disebelah dapur umum terletak sumber air, yang berupa bangunan beton dengan keramik yang bersih. Airnya dingin dan segar. Kami mengambil wudhu di sini untuk melaksanakan shalat asar. Kemudian saya berkeliling kompleks untuk mengambil gambar. Suasana hening tenang. Bahkan suara hewan hutanpun nyaris tidak terdengar. Tidak ada angin berhembus sedikitpun. Daun-dan pepohonan tidak bergerak. Cahaya suram matahari dengan malas berusaha menembus daun-daun tebal untuk mencapai tanah. Kami berada di tengah hutan yang lembab, tetapi tidak ada seekor nyamukpun menggigit kami. Kompleks ini bersih dan terawat dengan baik.

Di tengah kompleks tumbuh sebatang pohon yang menjulang. Diameternya di bagian bawah lebih dari satu meter. Pada ketinggian sekitar tiga meter, pohon tersebut seolah terbelah menjadi tiga bagian. Sebuah gayung tersangkut di paku. Saya tidak mengerti maksudnya, sampai Anto menjelaskan. Dia menaiki sebuah bangku yang nampaknya sengaja diletakkan di sana, dan mengambil air yang ada di tempat pohon terbelah menjadi tiga dengan gayung. Airnya kemudian diminumnya. “Banyak orang mengatakan air yang diambil dari pohon ini mempunyai khasiat tertentu. Bisa menyembuhkan penyakit ataupun lain-lainnya”. Entah dari mana mitos tersebut bermula, yang jelas banyak orang mempercayainya.

Kompleks makam ini dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang tinggi menjulang, daun-daunya membuat payung tebal yang menghalangi cahaya matahari. Sesuatu yang aneh, karena di berbagai bagian Aceh lainnya – apalagi daerah sini, pohon-pohon besar nyaris tidak ada lagi. Semuanya dibabat habis oleh penjarah hutan yang hanya memikirkan keuntungan yang bisa diperolehnya. Ternyata keberadaan hutan perawan di sekitar kompleks makam Teuku Umar berhubungan dengan mitos lainnya.

Sering saya mendengar dari supir-supir L300 yang saya tumpangi dalam perjalanan Meulaboh – Banda Aceh lewat Geumpang, dalam radius beberapa kilometer di sekitar Desa Meugoe ini sering dijumpai harimau. Ada yang mengatakan harimau tersebut berwarna putih, ada yang mengatakan merah belang. Serinkali dijumpai pada saat matahari baru terbenam, menyeberangi jalan menuju ke arah sisi di mana kuburan Teuku Umar berada. Hewan tersebut berjalan dengan santai, tidak memperdulikan lampu mobil yang menyorot terang, bahkan melirikpun tidak. Saya sendiri, beberapa kali sampai ke daerah ini pada saat matahari terbenam, tidak seberuntung itu. Sekalipun saya belum pernah menengok hewan tersebut secara langsung. Harimau tersebut dipercaya sebagai penjaga kuburan Teuku Umar, sekaligus peronda abadi daerah ini. Kehadiran harimau tersebut membuat penebang-penebang pohon baik yang legal ataupun ilegal tidak berani mendekati daerah ini.

Di bagian kepala kuburan terletak sebuah kupiah meukeutob, penutup kepala khas Aceh yang biasa dipakai oleh Teuku Umar. Kuburannya sendiri ditaburi dengan kerikil yang berwarna putih, dengan nisan di bagian kepala dan kaki. Lebah-lebah berukuran besar nampaknya menyukai kerikil-kerikil tersebut dan memanfaatkannya sebagai sarang mereka. “Lebah-lebah ini ada setiap saat di sini, tetapi tidak pernah mengganggu siapapun. Belum pernah terdengar ada orang tersengat lebah-lebah tersebut,” Anto menjelaskan.

Kami duduk di tangga makam. Matahari semakin turun ke barat, sinarnya semakin suram. Hidayat minta difoto dengan latar belakang kompleks makam. “Untuk kenang-kenangan nanti waktu balik ke Jawa”, katanya.

Saatnya untuk balik ke Meulaboh. Kami kembali ke mobil melalui jalan tangga yang lain. Rupanya jalan beton bertangga dibuat mengelilingi makam, sehingga pengunjung yang masuk dan keluar tidak usah melalui jalan yang sama. Jalannya lebih landai, bahkan sebagian cenderung rata. Sama seperti jalan kami masuk tadi, kiri kanan jalan ditutupi oleh daun-daun kering yang menumpuk tebal. Sekali lagi saya menengok ke belakang. Beristirahatlah dengan tenang wahai sang Pahlawan. Tugasmu sudah selesai, kamu sudah syahid, pangkat tertinggi yang bisa diperoleh dalam hidup. Kaum bangsamu yang lain akan meneruskan cita-cita perjuanganmu ...

Tuesday, November 15, 2005

Lebaran ...

Lebaran di kampung kali ini terasa sekali ramainya. Manusia-manusia bermunculan dari segala penjuru perantauan. Yang dulu tidak berani pulang karena berbagai alasan kini melenggang dengan nyaman di kampung halaman. Wajah-wajah tidak begitu dikenal berseliweran, dengan bisik-bisik yang beredar begitu mereka lewat, “dia baru turun”. Atau, “Dia sudah lima belas tahun tidak pulang”.
Dua hari menjelang lebaran, sama seperti di awal puasa, adalah hari meugang. Pasar-pasar menyediakan daging sapi dan kerbau. Harga daging yang kembali membumbung tinggi (terutama kerbau, karena di tempat kami, daging kerbau lebih bergengsi dibandingkan dengan daging sapi). Orang-orang kembali memenuhi pasar, terutama yang laki-laki (di tempat kami, yang belanja untuk kebutuhan dapur adalah laki-laki. Kaum perempuan, kalau tidak mendesak sekali, hanya belanja ‘kecil’ diwarung-warung terdekat). Orang-orang berusaha membawa sekilo dua kilo daging untuk keluarga, baik dibayar tunai ataupun hutang. Mereka yang kurang mampu mengupayakan makan daging dengan memotong ayam atau bebek. Kaum perempuan kembali dibuat sibuk di dapur memasak daging, yang biasanya dalam bentuk masakan tradisional aceh: sie (daging) puteh, sie mirah, reundang, sop dan lain-lain. Anak-anak tiap sebentar masuk dapur, minta izin untuk segera berbuka puasa dengan masakan daging yang mengepul-ngepul dikuali.Jawabannya biasanya hardikan untuk segera meyingkir sejauh mungkin dari dapur.
Takbiran dilakukan di meunasah beramai-ramai. Tidak ada pawai ataupun arak-arakan takbiran di kampung-kampung, hanya di kota-kota saja. Anak-anak tanggung memenuhi meunasah, kemudian menghilang. Mereka berkelompok-kelompok mengunjungi rumah-rumah, meminta kue (terutama timphan yang masih berasap-asap karena baru dimasak). Kue-kue tersebut mereka bawa ke meunasah untuk dimakan bersama-sama. Selesai takbiran, acara dilanjutkan dengan penerimaan zakat fitrah dan kemudian lagsung dibagikan malam itu juga. Biasanya, tidak ada yang tidur lagi, atau langsung tidur di meunasah.
Setelah Shalat Ied di mesjid, masyarakat yang laki-laki jarang langsung pulang ke rumah. Mereka berkumpul dulu di simpang-simpang jalan, di pos ronda atau di warung kopi yang sudah buka (seperti pernah saya ceritakan, pos jaga di kampung kami – mungkin juga di kampung-kampung lainnya di Pidie – menjadi tempat masyarakat berinteraksi, terumana yang laki-laki). Masyarakat saling berjumpa di sini, bermaaf-maafan, ngobrol ringan tentang segala hal. Jika ada wajah baru yang pulang dari perantauan, uang segera keluar (seringkali ditodong!) untuk membeli kopi dan sekedar penganan kecil.
Yang pulang dari rantau merasa harus menunjukkan suksesnya. Kenderaan-kenderaan dengan plat luar daerah parkir di mana-mana. Jalanan kampung yang biasanya sepi kini tak pernah sunyi dari kenderaan yang melintas. Kelompok-kelompok kecil terbentuk untuk mendengarkan cerita-cerita yang dibawa perantau. Makin jauh perantauannya, makin seru ceritanya dan makin banyak pendengarnya.
Rumah-rumah di kampung menyediakan kue-kue tradisional Aceh, timphan dan juga kue-kue lainnya, peukarah, samaloyang, bhoi. Kadang ada juga yang menyediakan meuseukat dan dodoi, manisan yang tingkat kemanisannya sangat mengerikan (manis sekali!). Setiap bertamu hampir pasti disuguhi timphan dalam berbagai versi: ada yang berisi sarikaya, ada yang hanya berisi kelapa manis karena dicampur gula. Mereka yang merasa dirinya lebih modern menyediakan kue-kue buatan pabrik yang nampak mewah dalam kehidupan di kampung. Untuk anak-anak yang bertamu (biasanya mereka menjalaninya dari rumah ke rumah) selalu ada salam temple yang besarnya tergantung dari kemampuan tuan rumah.
Sepeda motor sangat ramai dijalan raya, kebanyakan ditunggangi oleh anak-anak tanggung yang baru saja mengetahui cara memutar gas dan menekan rem beberapa waktu yang lalu. Jalanan menjadi berbahaya dan rawan kecelakaan.
Setelah dua atau tiga hari saling bersilaturrahmi ketempat kerabat dan keluarga, tibalah saatnya untuk melakukan hal yang selama konflik bersenjata nyaris terlupakan: berdarmawisata. Kenderaan roda dua dan empat, seringkali pikap terbuka yang baknya disesaki dengan manusia menuju berbagai tempat wisata. Tempat wisatanya sendiri unik: tempat yang ada airnya. Irigasi besar dengan sungai besar yang teduh (seperti irigasi Keumala dan Batee Iliek) menjadi tempat favorit dari dulu. Batee Iliek sendiri penuh sesak dengan manusia. Keluarga-keluarga menggelar tikar, mengeluarkan makanan yang sudah disiapkan dari rumah. Ada juga kelompok yang memotong kambing, dan sebentar kemudian harum kari sudah menyebar ke mana-mana. Pasangan-pasangan muda memilih untuk mojok ketempat-tempat yang lebih sepi. Ada juga yang mandi di sungai dangkal yang berair sangat jernih.
Kami sekeluarga juga sudah berniat ke sana. Setelah bersilaturrahmi dengan beberapa kerabat, tersadari bahwa Batee Iliek hanya berjarak beberapa belas kilometer lagi. Dengan mengendarai sepeda motor sewaan, kamipun menuju kesana - sekedar ingin mengetahui. Jalanan sangat ramai, sepeda motor dan mobil, kebanyakan pikap berisi penumpang. Semuanya menuju ke sana. Karena sudah waktunya makan siang, kami berhenti dulu di di Ulee Glee, kota kecil terdekat dengan Batee Iliek. Semua rumah makan di Ulee Glee penuh sesak dengan pengunjung. Susah kali untuk bisa makan dengan tenang – bahkan ada yang bersedia makan sambil berdiri. Kalau di Ulee Gle saja sudah begitu ramainya, bagaimana pula di Batee Iliek? Lebih baik tidak usah ke sana. Pulang saja, kami mengambil keputusan. Ternyata keputusan yang tepat, karena ternyata kemudian Batee Iliek menjadi rusuh.
Seperti yang diceritakan oleh sekelompok orang yang kami jumpai di pondok ie tubee (tempat jualan air tebu), pemuda-pemuda setempat yang dibuat gerah oleh pasangan-pasangan yang berpacaran tampa menghiraukan keadaan sekitar, mengambil tindakan kasar: dengan sepotong kayu mereka menggebuki setiap orang yang tidak mau menyingkir dari lokasi Batee Iliek. Orang-orang yang lagi makan dipaksa pergi, yang baru saja mau memasak kambing disuruh pulang. Ada juga yang konyol: ditengah keributan seorang anak tanggung menggebuk seorang kakek-kakek sambil berteriak, “dilarang berbuat maksiat di sini!”. Tentu saja keluarga si kakek menjadi marah dan membalas. Saling pukul terjadi, berakhir dengan keributan kecil.
Tempat-tempat lain yang dulunya (semasa konflik) merupakan tempat mengerikan yang harus dihindari sejauh-jauhnya, kini menjadi tempat favorit. Air terjun kecil di dekat Tangse, misalnya. Air terjun tersebut kecil saja, dengan ketinggian sekitar duapuluh atau tiga puluh meter. Letaknya persis dipinggir jalan lintas Beureunuen – Melaboh menjelang kota Tangse. Sebelah kiri jalan, langsung jurang dengan kedalaman sekitar empat puluhan meter, dengan sungai mengalir deras di dasarnya. Bulan Oktober lalu, jurang ini memakan korban. Sebuah L300 sarat penumpang dari Medan, dibawa oleh supir yang mungkin mengantuk di tempat tersebut. Bus terjun bebas menghantam air (luput dari batu-batu besar yang menunggu), menyebabkan dua orang meninggal dunia. Menengok kondis busnya yang hancur berantakan, bisa dibayangkan bahwa sulit untuk selamat dari kecelakaan tersebut. Selama musim lebaran (sejak kapan lebaran jadi musim?), pondok-pondok pedagang berdiri menyesaki pinggir jalan yang memang sudah sempit. Tangga tanah dibentuk untuk menuruni tebing yang menuju sungai di dasar jurang. Manusia memenuhi seluruh tempat: di kolam yang terbentuk oleh air terjun, di pondok-pondok pedagang, di pinggir sungai di dasar jurang. Orang-orang mandi dan berendam. Kenderaan-kenderaan, mobil dan sepeda motor parkir seadanya, asal tidak menutupi jalan saja. Pemuda-pemuda setempat langsung mengambil posisi terhormat, menjadi petugas parkir dan sekaligus melantik diri mereka menjadi penjaga keamanan. Sama seperti di daerah-daerah lain, petugas-petugas amatir ini kadang juga bertindak aneh. Suara-suara keras dilontarkan melalui hardikan terhadap pengunjung yang mereka anggap melanggar ketentuan yang mereka buat. Penjual makanan sangat laris. Mi Aceh yang disiapkan seadanya, kopi, martabak telur habis diserbu pengunjung. Mungkin cuaca dingin menyengat membuat selera makan meningkat pesat, apalagi mereka yang habis mandi dan berendam di air terjun.
Di Banda Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman menjadi lautan manusia. Orang-orang datang dari berbagai pelosok, berkelompok-kelompok. Keluarga-keluarga menggelar tikar, mengeluarkan makanan dan minuman. Sudut-sudut taman mesjid dipenuhi oleh orang-orang, laki-laki dan perempuan. Anak-anak berlarian dengan riang, memamerkan mainan yang baru mereka beli. Mainan biasanya berupa benda-benda yang akrab dengan kekerasan: senjata dalam berbagai tipe untuk anak laki-laki. Hampir setiap anak laki-laki memegang senjata mainan dalam berbagai ukuran, pistol besar dan kecil, senapan serbu, senapan untuk penembak jitu. Hampir tidak ada yang memegang pisau atau golok mainan. Anak perempuan saya yang baru tiga tahun nampak bangga sekali dengan mainannya – sebuah tiruan shot gun dengan peluru mimis plastik dengan ukuran yang hampir sepanjang badannya. Dia tidak tahu cara menggunakannya, tetapi menyeret-nyeret senapan itu sudah cukup bagi dia.
Anak-anak perempuan memilih mainan yang lebih feminin dan lebih manusiawi - balon berbagai warna, asesoris pakaian, boneka. Penjual mainan memenuhi jalan di depan mesjid, mereka tidak boleh berjualan dalam kompleks mesjid. Tukang foto keliling meraup rezeki yang berlimpah saat-saat tersebut, orang-orang berfoto dengan latar belakang mesjid. Ada belasan mereka di sana, sibuk melayani pelanggan mereka dalam berbagai pose.

Sunday, October 23, 2005

Setelah hari-hari dengan hujan berkepanjangan, akhirnya matahari kembali muncul dari balik awan. Tidak tanggung-tanggung, dengan panas yang lebih dari biasanya (mungkin karena sudah terbiasa dengan cuaca dingin), mengisap air dari tubuh mereka yang bekerja pada tempat terbuka. Cuaca berat, membuat orang-orang menjadi malas berkeliaran jika tidak ada keperluan, dan lebih memilih berada di tempat teduh yang nyaman.
Cuaca yang berat mungkin menjadi salah satu alasan bagi kawan-kawan serombongan untuk tidak berpuasa saat berada di lapangan. Cukup menyedihkan bagi yang berpendapat seperti itu. Bergabung pada organisasi asing yang jelas-jelas berbeda haluan keyakinan dengan kita, memakai atribut organisasi tersebut saat berada di lapangan, berkendaraan dengan logo BESAR organisasi AGAMA lain (ok,ok, organisasi tersebut adalah CRS - Catholic Relief Services, bagi yang penasaran) di bodi mobil - bukan pembenaran untuk bersikap demonstatif tidak puasa, terutama di depan masyarakat. Pendapat masyarakat bisa ditebak: inilah dia masyarakat Islam yang lebih k---r daripada manusia tempat dia bekerja! Pada saat kami berada di salah satu tempat di lapangan, seorang rekan dengan ringannya mengambil buah dari pekarangan penduduk (sementara kami menunggu di mobil, dan dia ada keperluan untuk menemui salah seorang penduduk di wilayah tersebut). Sementara, dari balik pagar-pagar rumah, para penduduk melihat perbuatan tersebut. Dengan muka yang menunjukkan rasa jijik, tentu saja.
Terus ada lagi cerita, bahwa beberapa waktu yang lalu seorang Cina (maaf bagi warga Cina-tidak bermaksud rasialis) telah diarak karena menjual makanan terlalu cepat, dan ada orang yang tidak berpuasa yang membelinya. Kenapa bukan orang yang tidak berpuasa itu yang diarak? Toh, kalaupun orang Cina itu berjualan sepanjang hari, jika semua orang berpuasa, bisa dipastikan TIDAK akan ada orang yang akan belanja makanan padanya, dan hal ini akan cukup untuk membuatnya jera (dan sekaligus rugi!) --- atau rugi sekaligus jera. Jika seseorang memang tidak ingin berpuasa, usahkan ada orang Cina berjualan makanan, tidak ada orang jualanpun dia akan cari jalan untuk dapat makan sesuatu. (Ini hanya pendapat pribadi. Tidak ada maksud tertentu. Saya sendiri, Alhamdulillah, selama berpuasa ini tidak terpengaruh oleh orang yang makan dan minum di depan saya).
---------
Beberapa berita dari koran lokal beberapa hari ini: "Masyarakat Punge Banda Aceh menurunkan papan nama INGO xxxx xxxxxx". "LSM pengobral janji supaya tinggalkan Aceh". Isu yang disampaikan seorang kawan dari bagian Community Liasion Watsan "Masyarakat Kubang Gajah rusak rumah yang dibangun oleh INGO xxx karena spesifikasinya tidak sesuai dengan kesepakatan". Masih banyak lagi mungkin, baik yang diketahui ataupun tidak diketahui.

Friday, October 14, 2005

Kegiatan-kegiatan menjadi rutin sekarang. Day in, day out. Manusia-manusia baru berdatangan, berseliweran sebentar, menghilang. Atau petinggi-petinggi organisasi yang datang dari berbagai penjuru, mengumpulkan orang-orang (ada rapat penting!), mendesingkan fatwa dan nasehat tentang pentingnya apa yang sedang dilakukan sekarang. Bla-bla-bla. Keluar dari ruangan sehabis meeting, kayaknya semua orang melupakan apa yang barusan didengarnya
Selama bulan puasa, kegiatan tetap berjalan sebagaimana semula. Semua sektor berjalan pada kecepatan yang tertinggi, mempersiapkan semuanya agar beres sebelum liburan massal selama 10 hari dimulai. Kami tetap kelapangan mengambil dan menganalisa sampel-sampel air. Hari ini di kamp pengungsi ini, besok di barak pengungsi sana. Lusa di desa anu. Begitu seterusnya.
Liburan massal akan dimulai pada tanggal 28 Oktober 2005, sampai dengan tanggal 7 November 2005. Bisa dipastikan, semua manusia lokal yang beragama Islam akan menghilang dari tempat pekerjaan. Bahkan yang berasal dari pulau Jawa mulai sekarang sudah mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi cuti. Mengurus cuti dengan bagian personalia, mengurus transportasi dan lain sebagainya. Saya sendiri tidak ambil pusing, toh dekat saja. Kapan saja saya bisa menghilang ke kampung halaman.
Hari ini kembali kami menuju ke Arongan Lambalek, untuk mengambil sampel air dari beberapa lokasi pengungsi. Tujuan kami adalah ke Cot Buloh, Seuneubok Teungon, Kubu dan lokasi pengungsi lainnya di Arongan. Perjalanan terasa lebih mudah sekarang, walaupun ada beberapa tempat di daerah Samatiga yang tetap harus melewati pasir pantai dan medan lumpur.
xxxxxxxx
Medan berat di daerah Suak Seuke, Samatiga
xxxxx
Disuatu lokasi pembangunan perumahan, kami amati proses pembongkaran batu-bata yang dilakukan dengan sepenuh hati: secara serampangan. Biasanya dimana-mana (termasuk di Aceh, juga di Aceh Barat) pembongkaran batu batu dilakukan dengan hati-hati, batunya disusun rapi, mengingat kondisi batu bata yang gampang patah. Tetapi yang ini agak berbeda. Membongkar batu-bata sama seperti membongkar pasir, atau batu koral. Mungkin maksudnya supaya cepat selesai, tanpa mempertimbangkan banyak batu-bata yang pecah dan hancur karena dilemparkan. Atau dikarenakan ada orang lain yang mendanai? Coba kalau uang sendiri. Pasti pemilik atau bertengger di samping truk untuk memastikan setiap keping bata yang dia beli dibongkar dalam keadaan tidak kurang sesuatu apapun. Pemilik rumah yang dibangunpun tidak banyak mulut, cukup tau diri, karena bukan dia yang membayar semua ini. Kalaupun dia protes, paling jawabannya sangat memuaskan, "Ah, ditempat lain juga begini cara membongkarnya! Tidak ada yang ribut!". Supervisor proyekpun hanya berkeliaran saja, tanpa protes apa-apa, kelihatannya. Ketiga salah satu dari kami berteriak supaya batu-batanya dibongkar dengan cara lebih baik dan disusun rapi, mereka hanya menengok saja, saling pandang sebentar, dan meneruskan pekerjaannya seperti biasa (lokasi tersebut adalah lokasi kerja CRS). Mungkin pada pendengaran mereka apa yang diteriakkan kami adalah dalam bahasa asing yang tidak dipahami mereka? Atau mereka berpendapat, walaupun sama-sama satu organisasi, supervisor mereka saja tidak protes tentang apa yang mereka lakukan.

Proses pembongkaran batu-bata di salah satu lokasi perumahan

--------------
Sikap masyarakat akhir-akhir ini mulai berbeda tentang kehadiran NGO, baik lokal ataupun internasional. Saaangat berbeda dibandingkan masa-masa bulan Maret - Juni. Apa yang kami amati pada saat kami mengambil sampel air di salah satu lokasi pengungsi, kami diteriaki (dalam bahasa Aceh) -- "Ini dia datang lagi! Apa lagi yang kalian perlukan?" --- dimasa-masa awal --"Apa yang kalian tawarkan untuk membantu kami?" --- kira-kira seperti itu. Atau seperti ini "Mudah-mudahan ini yang terakhir! Capek aku memberikan data ini itu, tanpa hasil! Bikin sibuk orang saja!". Ada juga yang tidak terlalu kejam, "Sudah dua puluh lima proposal kami buat ke organisasi ini, organisasi anu. Setiap kami mencoba memohon sesuatu, manusia yang kami temui selalu berpesan untuk menyiapkan proposal! Proposal! Jangan-jangan proposal kami digunakan untuk kepentingan dia sendiri!". Setelah kami tanyai, ternyata yang mereka coba minta adalah sebuah genset kecil untuk menghidupkan pompa air pada saat listrik tidak nyala pada siang hari, sehingga air bersih tetap tersedia setiap saat.
Kedengarannya agak berlebihan, tetapi memang berlebihan.
Waktu saya kebetulan ke Lhok Nga (sekitar Banda Aceh), penduduk pengungsi setempat mengungkapkan kegeramannya kepada staff NGO, terutama yang lokal. Berkeliaran di kalangan warga pengungsi dengan gaya luar biasa, alat-alat canggih bergantungan di badan (rata-rata mempunyai kalung gantungan USB flash disk). Apa yang dia keluhkan lebih-lebih terhadap kenderaan dan gaya mengemudi pengemudi NGO-NGO. Dengan kenderaan 'mewah'nya, mereka ngebut melewati lokasi penduduk dengan kecepatan yang tidak berkurang - menimbulkan debu dan kekhawatiran akan terjadinya kecelakaan. "Makanya sekarang kami pasang kayu-kayu ini, sehingga kenderaan yang lewat terpaksa mengurangi kecepatannya", ungkapnya. Ide bagus juga.
Kami juga pernah mengamati dua kenderaan yang berpapasan di lorong sempit yang saling tidak mau mengalah. Truk besar (mirip reo) masuk dari jalan besar, dan tidak mungkin mundur lagi, karena lalulintas agak padat. Double cabin, karena merasa dia sudah di ujung jalan, dia yang berhak lewat duluan, jadi dia merasa benar dalam perselisihan ini. Double cabin itu mendesak terus untuk maju, sementara di belakang dia ada tempat kosong untuk mundur. Truk jelas-jelas tidak bisa mundur, karena langsung masuk ke jalan besar yang ramai. Setelah diteriaki (dan digoblok-gobloki) oleh orang-orang di warung, baru dia bersedia mundur dan memberi jalan kepada truk tersebut untuk lewat. Dengan muka ketat dan kejam, tentu saja. Yang menjadi catatan saya di sini, truk tersebut milik suatu organisasi besar yang bekerja di Meulaboh (truknya juga besar -- tidak ada hubungannya). Tetapi yang membuat supir double cabin tersebut sangat percaya diri, dia bekerja pada organisasi yang LEBIH BESAR, bahkan SANGAT BESAR di planet bumi ini. Jadi, dengan nama SANGAT BESAR di belakangnya, dia merasa berkuasa untuk bertindak lebih. Itulah orang kita (orang ACEH!---eh, saya juga orang Aceh).
Tidak semua NGO seperti itu, memang, sekaligus mudah-mudahan.
Janji-janji juga bikin masalah. Bertemu dengan satu-dua-atau sekelompok masyarakat, tanya-tanya-tanya, catat-catat-catat, foto-foto-foto. Dan janji. Janji-janji memang akan terpenuhi, mudah-mudahan. Setelah sekian lama, janji belum terselesaikan juga. Masyarakat menagih ke kantor. "ooo, tolong dibikin proposalnya ..."
Tidak semua NGO seperti itu, memang, sekaligus mudah-mudahan.

Wednesday, October 05, 2005

Marhaban, ya Ramadhan ...

Bulan Ramadhan kali ini terasa berbeda. Puasa dijalani dalam suasana berduka, dalam ketidakhadiran sanak saudara yang menjadi korban dalam musibah beberapa bulan yang lalu. Sekaligus juga dalam suasana gembira dikarenakan akan pengharapan perdamaian tercipta pasca perjanjian Helsinki. Bagi saya, inilah bulan puasa pertama dalam sepuluh tahun terakhir ini yang dijalani di Aceh. Suasana berbeda sekali dibandingkan dengan masa-masa awal saya kembali ke Aceh. Tidak ada lagi pemeriksaan KTP di pos-pos militer, beragam pertanyaan yang harus dijawab dikarenakan KTP saya bukan merah-putih.
Seperti biasanya, masyarakat Aceh mengawali puasa dengan hari meugang, yang dimulai dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Setiap keluarga pada hari meugang mengupayakan ada daging di rumahnya. Di mana-mana orang menyembelih sapi dan kerbau. Harga daging yang membumbung tinggi (kesempatan!) tidak mengurangi minat masyarakat untuk membawa pulang sekilo dua kilo daging untuk keluarganya. Yang lebih mampu membawa lebih: tungkai sapi atau kerbau, kadang-kadang kepala kerbau (lengkap dengan tanduknya!). Kesibukan di dapur rumah-rumah luar biasa.
Malamnya menjalani salat taraweh di meunasah-meunasah atau di mesjid-mesjid. Suasana bulan puasa sangat terasa. Tidak ada orang yang berkeliaran (terutama di kampung). Yang tidak ikut shalat taraweh berdiam diri di rumah menunggu taraweh selesai, baru keluar untuk berkumpul rame-rame di pos jaga (di kampung-kampung di Pidie, pos jaga dari dulu sudah menjadi tempat publik untuk berkumpul dan berinteraksi) atau diwarung-warung kopi yang buka sampai subuh. Mereka mengobrol ngalor ngidul atau menonton televisi (di kebanyakan rumah tangga di kampung-kampung, televisi masih merupakan barang mahal. Warung-warung kopi memasang televisi dan antena parabola untuk menarik pengunjung). Yang lebih taat melaksanakan tadarus Quran di Mesjid atau di meunasah.
Ada kebiasaan yang terus berlangsung baik di kampung atau di kota: acara buka puasa bersama. Dikampung saya, penganan untuk berbuka disediakan oleh setiap rumah tangga secara bergilir. Hari ini lima rumah menyediakan kue-kue berbuka, besok lima rumah yang lain. Kalau semua sudah dapat giliran, putaran dimulai lagi dari awal. Minuman berbuka puasa disiapkan tiap hari di meunasah, dengan dana gotong royong dari masyarakat. "Ie bu lada", merupakan sejenis minuman dengan komposisi rempah-rempah dan daun-daunan dengan rasa pedas menyegarkan. Setiap sore, mulai sekitar jam tiga, seorang petugas yang ditunjuk sudah mulai melakukan persiapan untuk memasak. Karena harus cukup untuk memenuhi kebutuhan orang sekampung, memasak dilakukan dalam kancah besar. Sekitar jam lima, anak-anak mulai berdatangan dengan membawa teko ataupun tempat lainnya untuk mengambil "ie bu" untuk dibawa pulang (untuk kebutuhan kaum perempuan dan mereka yang tidak berbuka puasa di meunasah). Mereka yang kena giliran menyediakan penganan berbuka juga sudah datang dan mengantarkan kue-kue ke meunasah.
Sekitar jam enam sore, warga laki-laki mulai berdatangan ke meunasah untuk berbuka bersama. Makanan dibagikan dalam lembaran-lembaran daun pisang, jumlahnya harus cukup untuk semua orang yang hadir (pengalaman saya sewaktu masih dikampung, tidak pernah kurang, malah sering lebih dan tertinggal). "Ie bu" disediakan dalam berbagai wadah, tetapi yang paling disukai dalah dalam terpurung kelapa (yang sudah dibersihkan tentunya). Rasanya lebih "keluar".
Jenis minuman lainnya yang disiapkan di meunasah adalah "ie bu kanji" atau sering juga disebut dengan "kanji rumbi". Ini jarang, paling dua tiga kali saja dikarenakan membutuhkan biaya yang lebih mahal (walaupun ada juga desa yang tiap hari menyiapkan "ie bu kanji" untuk warganya). Rasanya seperti kari yang encer, dengan komposisi daging (ayam, itik, kambing, sapi atau lembu) yang dicacah sangat halus, rempah-rempah, beras dan lain-lainnya. Saya sendiri tidak suka dengan "ie bu kanji" ini.
Pada hari-hari tertentu di bulan Ramadhan, seperti tanggal 17, 21, 27 acara berbuka puasa tidak dengan makanan kecil, tetapi dengan nasi dan lauk-pauknya. Semua rumah tangga akan mengantar nasi dalam baskom besar, lauk-pauk disiapkan dalam rantang susun tiga atau empat (tergantung kemampuan). Penduduk kampung yang laki-laki akan memenuhi meunasah untuk berbuka puasa bersama.
Begitu juga malam hari. Setiap tamat Quran, petugas ("Peutua Meunasah") akan meminta beberapa keluarga (yang kena giliran) untuk menyiapkan nasi dan lauk-pauknya untuk dimakan bersama oleh penduduk kampung yang laki-laki di meunasah (biasanya acara makannya sekitar jam 10 - 11 malam). Acara ini berlangsung beberapa kali di bulan Ramadhan, setiap tamat Quran. Biasanya, kami dulu sehabis acara tamat Quran ini langsung tidur (bulan puasa kebanyakan yang lajang tidur di Meunasah) dan bangun pas subuh. Sahur sudah dicukupi dengan makanan dari acara tamat Quran semalam.
Penduduk yang di rantau bisanya menyempatkan diri pulang di bulan Ramadhan, terutama di awal bulan (istilahnya "tueng puasa"). Ini merupakan kesempatan untuk bersilaturrahmi dengan warga kampung yang kadang sudah bertahun-tahun tidak saling berjumpa. Suasana kampung menjadi ramai dan meriah, sore-sore sudah ramai warga di meunasah ataupun pos jaga, saling berinteraksi.
Di Banda Aceh, perjual makanan berbuka puasa sangat banyak. Mereka memasang lapak-lapak darurat, bahkan kadang-kadang hanya meja tanpa atap di pinggir-pinggir jalan utama. Tidak heran jika jalanan menjadi macet setiap sore hari. Kue-kue ataupun makanan tradisional yang jarang ditemui di hari-hari biasa, bermunculan di bulan puasa. Favorit kami adalah "mie caluek", mi lidi dengan kuah kacang (seperti kuah gado-gado). Banyak yang menjual "mie caluek" ini (di hari-hari biasa, sangat jarang, kecuali di kampung - terutama di Pidie yang banyak peminatnya. Di daerah lain, saya kurang tahu).

Selamat menjalankan Ibadah Puasa untuk semuanya.

Thursday, September 15, 2005

Krueng Meureubo

Hari ini Jamie akan meninggalkan kami, balik ke Inggris. Dia akan kembali menekuni bisnisnya, perusahaan kecil yang menyediakan alat-alat perairan untuk rumah tangga dan pertanian. Pesta perpisahan dilakukan beberapa hari yang lalu, diwarung salah seorang rekan kami Alimudin Jamal yang terletak di kampung Kuta Padang. Makanan utamanya adalah mi kepiting, yang dinikmati oleh setiap orang dengan lahap, termasuk bule-bule. Dengan pengecualian Juanto. Dia tidak pernah tahu cara makan kepiting, begitu pengakuannya. Ross datang dengan istrinya Johara yang sedang hamil dan anaknya yang berusia tiga tahun yang bernama Naila. Loreen Lockwood juga ikut
Oleh-oleh untuk Jamie sudah kami siapkan, berupa foto-foto dari seluruh pelosok Aceh yang kami kumpulkan. Jumlahnya ada sekitar seribuan, disimpan dalam 3 buah CD. Jamie berjanji akan terus mengabari kami. Dia juga mengundang kami untuk ketempat dia suatu saat. “It will be easy to find a job there for a suitable people”, katanya. Ya, mudah-mudahan saja ada kesempatan.
Kami tidak bisa mengantar Jamie ke bandara Cut Nyak Dien, karena hari ini adalah jadwal kami bersama dengan Spanish Red Cross untuk melakukan survey kualitas air Krueng Meureubo. Rencananya, SRC akan membangun raw water intake untuk PDAM Meulaboh, dan mereka perlu bantuan kami untuk menganalisa kualitas air sungai Krueng Muereubo di berbagai titik. Karena kami menginap di kantor Dinkes – yang juga menjadi laboratorium analisa air – jam 5 pagi Rimbawan dari Palang Merah Spanyol bersama Pak Saifudin – the driver – menjemput kami. Rencananya, kami akan memantau kualitas air sungai setidaknya pas pasang tertinggi dan surut terendah, yang diperkirakan akan memakan waktu sekitar dua belas jam. Dari informasi yang dikumpulkan sebelumnya, saat ini, pasang tertinggi akan berlangsung sekitar jam 6 sampai jam 7 pagi. Setelah menikmati segelas teh dan kopi panas kamipun berangkat menuju Jembatan Besi Krueng Meureubo, dimana seharusnya speedboat yang akan dikemudikan oleh Pak Dahlan sudah menunggu. Alat-alat analisa yang kami bawa adalah deep sampler – alat untuk mengambil sample air pada kedalaman tertentu, conductivity meter, pH meter dan turbidity meter. Tidak ketinggalan kamera digital dan aserorisnya, serta GPS untuk pemetaan lokasi sample. Deep samplernya sendiri adalah milih SDC – sebuah NGO dari Swiss. Seharusnya, kami menggunakan alat itu beberapa waktu yang lalu, bersama dengan seorah ahli kualitas air dari Amerika. Tetapi takdir menentukan lain. Satu hari sebelum jadwal, pada hari Minggu yang cerah, bule tersebut tewas tenggelam di Pantai Lhok Nga Banda Aceh pada saat berselancar. “Fate is funny, isn’t it? This very guy was scheduled to meet us today, but last day he just has already gone to meet his maker”, kata Ross. Ya, siapa yang bisa menduga takdir. Sama seperti halnya musibah tsunami yang memakan ratusan ribu korban 24 Desember 2004 lalu.
Dari CRS, kami Cuma bertiga: saya, Ramang dan Pak Syukur yang saya ajak untuk membantu. Tidak ada masalah bagi mereka, tetapi bagi saya jelas-jelas sangat membantu. Mereka adalah nelayan yang pandai, yang pasti akan sangat mengenal liku-liku Krueng Meureubo sampai ke laut. Juanto sendiri pulang ke Medan dua hari yang lalu.
Tidak ada siapa-siapa di Jembatan Besi pada saat kami sampai. Pak Dahlan seharusnya sudah siap di sama dengan speedboatnya. Rimbawan pergi menjemputnya. Kami menunggu dalam udara dingin di bawah Jembatan Besi. Cahaya terang mulai nampak di timur. Saya mengambil gambar-gambar yang tidak setiap hari bisa saya ambil.
Akhirnya Pak Dahlan tiba dengan speedboatnya yang baru, bantuan dari pemerintah Kuwait. Dia adalah warga Padang Seurahet – lokasi yang hancur total pada saat tsunami melanda. Tidak ada yang kembali ke lokasi semula, semua warga yang selamat dialihkan ke lokasi baru – desa Cukok Mariek, yang kebetulan juga desa binaan Palang Merah Spanyol. Sebelum berkeliling, kami melapor dulu ke pos aparat di pingir sungai dekat Jembatan Besi.
Pengambilan sample air dilakukan setiap jam di beberapa titik, dimulai jam tujuh pagi selama dua belas jam. Setiap kedalaman menunjukkan hasil yang berbeda. Rata-rata, Krueng Meurebo berkedalaman sampai 5 meter pada saat pasang tertinggi, dengan kualitas air paling buruk (conductivity tertinggi) pada kedalaman 3 dan 4 meter. Makin dekat ke muara, nilai conductivity makin tinggi. Dekat laut conductivitinya mencapai 30000 us/cm. Di Jembatan Besi sendiri, conductivity air sungai adalah sekitar 20000 us/cm. Ini menimbulkan kecurigaan mengenai sample air yang diantar oleh petugas PDAM beberapa waktu yang lalu, dengan nilai conductivity mendekati angka tersebut. Mungkin mereka mengabaikan perintah untuk mengambil sample dengan benar, hanya menimba air dari Jembatan Besi dan mengantarkannya ke Lab CRS.
Beragam kegiatan penduduk kami jumpai sepanjang perjalanan kami di Krueng Meurebo. Penambang pasir dengan truk, penambang pasir dengan perahu, penambang pasir dengan truk-truk yang langsung parkir ke dalam air, pemancing, pencari kerang, orang-orang yang mandi, mencuci dan lain-lainnya. Makin kehulu airnya semakin jernih, dan Pak Dahlan harus lebih berhati-hati karena banyak jaring yang dipasang melintang. “ Itu jaring untuk menangkap ikan ‘keruelieng’”, katanya. Seorang bapak dan anaknya yang berusia belasan sedang mencari kerang dengan menyelam. Tumpukan kerang bulu hitam sudah tinggi di perahu mereka. Jam dua belas siang kami menuju ke Desa Cukok Mariek untuk beristirahat dan makan siang.
Sesampai di lokasi relokasi warga Padang Seurahet di desa Cukok Mariek, kami mendapati banyak penduduk sedang bekerja membersihkan lokasi. Rencananya mereka akan membangun barak-barak sementara, sambil menunggu rumah yang juga dibangun oleh Palang Merah Spanyol di lokasi yang sama selesai. Andi Diah – manager Watsan Palang Merah Spanyol Meulaboh sudah menunggu kami di tempat tersebut.
Makan siang datang – menu yang agak aneh untuk cuaca yang sepanas ini. Kari kambing khas Aceh mungkin lebih cocok dinikmati pada saat cuaca dingin, atau bagi mereka yang tidak berencana untuk melakukan aktivitas ditempat terbuka yang panas. Tetapi yang jelas, semua makan seperti musafir. Panas dan pedas, kami nyaris menghabiskan semua makanan yang tersedia. Minumnya adalah air timum, sekedang pendingin untuk meredakan panas yang disebabkan oleh kari kambing. Kekenyangan, kami berpencar mencari keteduhan dibawah pohon untuk meluruskan badan sebentar.
Jam satu siang kami berangkat kembali. Penumpang bertambah satu orang – Mirza dari bagian Housing Palang Merah Spanyol yang ingin berjalan-jalan. Setelah mengambil sample yang pertama siang itu, Pak Dahlan mengajak kami kelaut untuk melihat-lihat. Ajakan yang pasti tidak akan kami tolak. Perahu diarahkan ke muara Krueng Meureubo, kemudian dibelokkan menuju sungai kecil yang melewati Rundeng, kemudian terus ke Padang Seurahet.
Foto: Mirza dan Rimbawan dari Cruz Roja Espanola (Palang Merah Spanyol)

Pemandangan kota Meulaboh nampak berbeda dari laut. Kerusakan ternyata jauh lebih parah daripada yang nampak dari darat. Padang Seurahet, daerah tempat Pak Dahlan berasal, kerusakannya sangat parah. Lokasi tersebut terisolir sama sekali. Jembatan penghubung satu-satunya dari Meulaboh daratan sudah hilang, dan kemungkinan tidak akan dibangun kembali untuk waktu yang cukup lama, terlebih lagi karena warga daerah tersebut akan di relokasi. Ada satu mesjid yang hanya tinggal kubahnya saja yang nampak. Mulanya kami kira kubah itu adalah sisa dari mesjid yang hancur, ternyata bukan. “Mesjid tersebut amblas ke dalam tanah sampai kebatas kubah yang nampak sekarang ini pada saat gempa, sebelum air naik”, kata Pak Dahlan. Seluruh bangunan mesjid amblas. Mesjid yang satu lagi hanya tinggal tiang-tiangnya saja, kolom-kolom beton. Daerah lainnya seperti Suak Ujong Kalak, Rundeng, Ujong Karang, nampak kosong – tidak banyak bangunan. “Dulu, daerah ini adalah daerah yang sangat padat”. Bencana tsunami menyapu semuanya.
Kecapekan sepanjang hari di atas sungai, lewat jam tujuh malam kami mendarat. Mobil sudah menunggu, siap mengantar kami kembali menuju kantor Dinkes Aceh Barat di Seuneubok. Data sudah terkumpul, dan saya harus menyiapkannya malam ini, karena akan dibawa ke meeting Unicef besok.

Monday, September 12, 2005

Air tebu Jembatan Besi

Sama seperti pondok pisang goreng, dalam setiap waktu senggang kami setiap sore, kami sering menghabiskan waktu dipondok-pondok air tebu di sekitar Jembatan Besi. Pondok di ujung jembatan ditepi sungai adalah favorit kami. Tidak ada yang istimewa dengan air tebu di Meulaboh ini, sebenarnya. Tebunya adalah tebu hijau muda, dengan ruas yang panjang-panjang dan batang yang diameternya bisa lebih dari lima sentimeter. Airnya berwarna kehijauan, yang akan tetap kehijauan dan tidak berubah menjadi gelap setelah terkena udara. Pasangan air tebu adalah payeh, yaitu beras ketan yang diberi santan, dibungkus dengan daun pisang muda dan dipanggang dibara api. Rasanya mengesankan. Pasangan air tebu lainnya – ini agak ganjil bagi kami dan bagi orang luar Meulaboh lainnya – kerupuk kulit sapi atau kerbau. Cukup aneh, karena makan kerupuk kulit justru membuat haus, sementara minum air tebu dingin adalah untuk menghilangkan dahaga yang mendera karena panas. Tetapi kenyataannya, justru kami menyukai makan kerupuk kulit sebagai kawan minum air tebu. Saya dan Juanto bisa menghabiskan dua gelas masing-masing pada cuaca yang panas terik.

Menikmati air tebu Jembatan Besi Meulaboh

Bukan cuma kami, orang-orang asingpun kami temui juga menyukai minum air tebu. Jamie juga. Pertama kali ke pondok air tebu setelah main bola melawan Mercy Corps dengan kekalahan yang memalukan, pemain bola dan supporternya singgah ke pondok air tebu. Kehausan, gelas kosong terus minta diisi. “Good sugarcane juice”, kata Jamie. “Never drink stuff like this before.” Tentu saja, minuman seperti ini tidak ada dinegara seperti negara dia.
Cara memerasnya tidak pakai mesin. Tebu yang dipotong pendek-pendek, kira-kira 50 – 60 sentimeter setelah dibersihkan dari kulit luarnya dengan cara dikikis dengan pisau atau parang, dijemur di panas matahari supaya lunak dan alot. Baru kemudian dicuci dan diperas. Pemerasnya berupa kayu yang dibentuk sedemikian rupa dengan bagian bawah yang tidak bergerak, dan sepotong kayu lainnya yang akan menjepit tebu. Tenaga pijakan berasal dari kaki pemijaknya. Air tebu keluar melalui ujung kayu bagian bawah, melalui saringan dan berakhir di tempat penampung. Setelah dikasih batu es, nikmat sekali untuk diminum.
Di bulan puasa, penjual air tebu lebih banyak lagi. Selain yang biasa, juga bermunculan penjual air tebu musiman. Air tebunya dijual dipinggir jalan, dikemas dalam botol-botol berukuran tertentu, yang airnya akan dipindahkan ke kantongan plastik jika ada yang membeli. Harga air tebu tidak termasuk botolnya, tentu saja. Namun kami curiga dengan warna air tebunya yang lebih muda. Walaupun kami tidak pernah membelinya, kami menduga rasanya kemungkinan berbeda dengan air tebu yag biasa kami minum di Jembatan Besi.
Tempat lain yang menjual air tebu yang sering kami kunjungi adalah terletak hampir diluar kota Meulaboh, dijalan yang menuju je Tutut. Tertetak persis dipinggir jalan, pondok-pondok tempat jualan berderet-deret, menjorok kedalam sawah. Tidak air tebu saja yang dijual di tempat tersebut. Kelapa muda, mi aceh, buah-buahan, juga minuman lain yang lebih umum seperti kopi, teh dan juga minuman kemasan. Di beberapa kedai pisang goreng juga ada. Tempatnya gersang tanpa pepohonan, tetapi udaranya sejuk berangin. Duduk didalam ruangan yang hanya berdinding setengah, dengan pemandangan sawah dan lalu lintas yang lalu lalang, dengan udara semilir sangat cocok untuk menghabiskan waktu sore-sore. Banyak juga yang pasangan abg yang menjadikan tempat ini untuk pacaran.

Saturday, September 10, 2005

Pisang goreng ...

Kami – saya dengan Juanto – sangat menyukai pisang goreng. Walaupun sama-sama pisang yang digoreng, pisang goreng Meulaboh khas sekali. Dibelah tipis-tipis membentuk kipas, keras setelah digoreng, dengan rasa tepung yang berbeda, khas sekali seperti halnya pisang goreng dari daerah Aceh lainnya. Hampir setiap sore seusai jam kerja kami ke pondok pisang goreng di ruas Jalan Meulaboh – Tutut. Pisang yang sudah digoreng ditumpuk membentuk gundukan tinggi dalam talam besar, terpisah antara pisang dan tempe. Tidak ada ubi, ketela ataupun lainnya. Hanya pisang dan tempe. Sebagai minumnya disediakan bandrek, dengan rasa pedas segar, enak sekali diminum panas-panas. Bagi lidah orang Medan seperti Juanto, pisang goreng dan bandrek Meulaboh merupakan sesuatu yang baru. Jarang di Medan kita bisa memenui pisang yang digoreng dengan gaya seperti di sini. Rata-rata lembek berminyak, yang akan menjadi semakin lembek setelah dingin. Berbeda dengan pisang goreng disini, tetap tinggal keras setelah dingin, dan tidak berminyak. Pengunjung pondok pisang goreng tersebut ramai, harus mengantri kadang-kadang, terlebih lagi pada saat hujan dan cuaca dingin. Setelah beberapa kali kesitu, kami sudah dianggap pengunjung tetap. Tempat duduknya hanya sepotong papan tebal yang diberi kaki, membentuk huruf L yang melingkari meja dimana semuanya terletak: pisang yang akan dibelah, yang sudah dibelah, yang sudah masak. Hanya tepung dan sambal yang diletakkan ditempat lain. Disitulah pengunjung duduk, makan dengan nikmat, tanpa memperdulikan pengunjung lain yang mengantri.
Ada tiga orang ibu-ibu yang melayani pembeli: satu orang membelah pisang dan mempersiapkan bumbu, satu orang menggoreng, satu lagi melayani pembeli. Perhiasan mereka menunjukkan kesuksesan dibidang bisnis pisang goreng: kalung emas sebesar kelingking Juanto yang melingkari leher, gaya berjalan yang miring karena sebelah tangan menanggung beban berat gelang emas dan cincin. Nampaknya perempuan-perempuan di Meulaboh sangat gemar memakai perhiasan, terutama yang terbuat dari emas.
Pisang gorengnya dimakan dengan sambal dengan rasa yang sangat khas, dan memperkuat rasa pisang gorengnya sendiri. Kami sudah mencoba makan pisang goreng di beberapa tempat lainnya di Meulaboh, tetapi selalu kami kembali ke pondok ini. Tidak ada rasa pisang goreng dan sambalnya yang menyamai di pondok goreng tersebut.
Kadang kami ajak kawan lain, paling sering Hidayat. Sekali saya bawa Jamie kesitu untuk minum bandrek dan makan pisang goreng. Rasa bandrek yang pedas dan panas membuat Jamie berdesis-desis kepedasan dengan mata berair. Ibu yang melayani pembeli memberi sejumput garam untuk ditaruh dibawah lidah, dan sekejap kemudian penderitaan Jamiepun berakhir. Pisang gorengnya enak sekali, katanya. Baru sekali ini ia makan pisang goreng sebaik ini.
Kalau hari hujan dan kami tidak bisa ke pondok goreng tersebut, sementara keinginan untuk makan pisang goreng semakin meningkat, biasanya kami menyusuh petugas security untuk ke tempat tersebut. Sepuluh ribu rupiah sudah cukup untuk membuat beberapa orang kekenyangan dengan pisang goreng.
Setelah bulan puasa, pondok tersebut lama tutup. Tukang-tukang bekerja merenovasi tempat tersebut menjadi lebih bagus. Setelah dibuka kembali lebih kurang sebulan kemudian, pada saat pertama kembali ke tempat tersebut, kami merasa ada yang kurang. Makan pisang goreng di tempat tersebut tidak lagi semenarik dulu pada perasaan kami. Mungkin kami lebih menginginkan makan disamping kompor yang menderu-deru, berdesak-desak pada bangku yang sempit, sambil hati-hati memegang gelas berisi bandrek yang panas mendidih karena takut tersenggol dan tumpah. Ataupun tempat yang sekarang sudah jauh lebih bagus dan lapang, dengan kursi-kursi yang jauh lebih nyaman dibandingkan dengan sepotong papan yang diberi kaki, membuat suasana yang asing bagi kami. Pada akhirnya, kunjungan kami ke situ semakin jarang, sampai akhirnya terhenti sama sekali, terlebih lagi karena kami sudah menemukan pondok goreng baru dengan rasa pisang goreng dan sambal yang lebih enak bagi lidah kami di Jalan Nasional.

Thursday, September 01, 2005

Jamie Ashe dan motor

Motor yang seharusnya menyelesaikan masalah transportasi bagi Jamie, hampir menjadi seperti kutukan bagi dia. Pada awalnya, proses mengendarai motor – yang ini adalah type pakai kopling – hampir mirip dengan proses mengendarai kuda liar. Setiap kali mengerem, motor mati. Dengan kakinya yang panjang, dia mendorong mengayuh sepeda motornya, menghindari hambatan bagi kenderaan di belakang dia. Bisa dibayangkan, dalam cuaca panas terik seperti di Meulaboh, mengendarai sepeda motor bagi Jamie membuatnya basah kuyup dengan keringat.
Motor tersebut tiba sekitar bulan Juni 2005. Bermerek Yamaha, type YT115, dengan ban cangkul. Tiga motor adalah untuk Watsan, yang rencana Ross dua unit untuk teknisi yang bertugas di lapangan, satu unit untuk kami yang bekerja di laboratorium. Karena Ross tidak ada pada waktu itu – dia harus keluar dari Indonesia untuk memperpanjang Visanya setiap bulan – satu unit kami ambil, satu unit kami kasih ke Seno, dan satu unit lagi kami putuskan untuk dititipkan pada Jamie. Jadi, selepas makan malam kami antar motor tersebut ke Guest House no 4, tempat Jamie tinggal.
Saat kami sampai, Jamie sedang nonton televisi. Dengan segera kami menuju ke halaman tempat kedua sepeda motor diparkir. Dengan antusias Jamie mengamati setiap bagian sepeda motor, menanyakan fungsi dan fiturnya, bahan bakar, dan lain-lain. Saatnya untuk merayakan datangnya sepeda motor, kaja Jamie. Kami sepakat untuk keluar untuk minum jus dan makan mi aceh. Saya berboncengan dengan Juanto berangkat duluan, Jamie seharusnya menyusul. Tetapi, dia tidak muncul-muncul. Setelah beberapa menit menunggu, kamipun balik ke Guest House no 4, hanya untuk mendapati Jamie sedang sibuk mengengkol. Motor mati setiap dia memasukkan gigi 1 dan melepaskan kopling untuk berangkat. Keringat sudah mengucur dengan deras, tanpa hasil yang berarti. Baru kami sadari dia belum terbiasa dengan motor berkopling seperti yang beredar di Indonesia. Perlu waktu untuk membuat Jamie terbiasa dengan cara melepaskan kopling yang tidak menyebabkan mesin mati. Jalan beberapa puluh meter, mati lagi saat mengerem. Dayung dengan kaki ke pinggir, engkol lagi, jalan lagi, kemudian mati lagi. Tak heran sesampainya di warung mi aceh yang kami tuju, bajunya sudah kuyup oleh keringat.
Beberapa hari kemudian, kondisi motor menjadi compang camping. Setangnya miring, speedometer nyaris lepas, kaca lampu depan hampir lepas dari batoknya. Informasi Jamie, dia menabrak tiang pagar Guest House pada saat mau keluar. Dianya sendiri tidak apa-apa.
Rosspun hampir sama dengan Jamie gayanya naik motor. Walaupun tidak separah Jamie, gaya mengemudi yang kaku meliuk-liuk dikeramaian sungguh berbahaya, apalagi untuk kondisi lalu lintas Meulaboh yang cukup ramai oleh kenderaan roda dua.
Membonceng Jamiepun bukan hal yang mudah. Dengan postur tinggi besar, sepeda motor seperti terjungkit oleh keberatan beban di belakang, ditambah lagi dengan kedua tangannya yang memegang bahu kita dengan kuat. Jalan mesti cukup pelan untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan.
Tambah lama Jamie tambah mahir bersepeda motor, tentu saja. Tetapi kemudian, motor tersebut lebih banyak dibawa Ross kemana-mana, walaupun mereka tinggal ditempat yang sama. Jamie lebih suka jalan kaki kalau diluar jam kerja, atau pakai mobil, kalau dalam jam kerja. Lebih aman, katanya.

Sunday, August 14, 2005

“Air Tsunami Asli”

Entah kapan isu tersebut mulai beredar. Beberapa waktu setelah laboratorium kami pindah ke lokasi kantor Dinas Kesehatan Aceh Barat, dan mulai dibuka untuk umum, orang-orang berdatangan membawa sampel-sampel air mereka untuk dianalisa. Ada juga yang mempunyai maksud lain. Sampel yang mereka bawa bukan untuk dianalisa, tetapi karena mereka ingin menjualnya. Mereka mendengar kabar bahwa laboratorium air milik CRS ingin mendapatkan air tsunami, yang asli, untuk dianalisa. Nilainya sangat tinggi, mencapai milyaran, kabar angin mengatakan, karena orang asing sangat ingin mengetahui kandungan apa yang ada dalam air tsunami, yang membuat mayat-mayat menghitam dan tanaman mati seperti terbakar. Ada yang membawa air dalam botol kecil, yang diperlakukan dengan sangat hati-hati, seperti memperlakukan benda yang sangat mahal harganya tetapi sangat mudah rusak. Orang tersebut mengatakan air tersebut diambilnya pada saat gelombang pasang pertama melanda Meulaboh, dan dia merasa beruntung karena terpikir untuk mengambil air tsunami pada waktu itu. Ada juga yang mengatakan air tsunami tersebut diambilnya dari lampu mobilnya, yang hancur terseret air pada waktu tsunami. Air tersebut asli air tsunami, katanya dengan meyakinkan. Dia berani bersumpah untuk itu.
Dengan geli kami menjelaskan bahwa hal tersebut tidak benar. Tidak ada orang asing ataupun NGO yang mau membeli sampel air tsunami sampai berharga milyaran. Tidak betul itu. Itu adalah kabar angin yang bohong. Tetapi orang-orang terus berdatangan, dengan sampel-sampel air yang mereka katakan sebagai air tsunami asli yang sempat mereka ambil pada saat bencana tersebut terjadi. Dengan susah payah kami menolak, berusaha sebaik-baiknya untuk tidak menyinggung perasaan mereka. Ada juga yang berani menjanjikan persentase tinggi untuk kami jika mereka bisa menjual sampel air tsunami tersebut. Seorang ibu guru, yang kami panggil dengan Ibu Cut, yang berasal dari Kampong Likot (sebagian orang menyebutnya Kampong Belakang) paling sering muncul ke lab kami. Awalnya membawa sampel air sumurnya untuk dianalisa, dan mengikuti saran kami, setiap beberapa waktu tertentu dia membawa kembali sampel air sumurnya untuk mengetahui perkembangan kebersihan sumurnya dari pencemaran air laut. Kemudian iapun ikut-ikutan membawa sampel air tsunami. Sudah tentu kami menolaknya. Menduga kami menolak karena sampel airnya tidak asli, beberapa waktu kemudia, dia muncul lagi dengan sampel air. “Ini betul-betul asli”, katanya. Seorang tetangganya sempat mengambil dan menyimpan air tsunami, tambahnya. Kami hanya bisa tersenyum geli mendengarnya. Perlu waktu lama untuk meyakinkan Ibu Cut bahwa kabar yang didengarnya adalah tidak benar.
Ikan "Keureulieng"


Ikan Keureulieng

Ada satu jenis ikan langka yang hanya didapati di sungai-sungai berbatu di daerah pegunungan di Aceh Barat, Nagan Raya dan Pidie: ikan keureulieng. Seumur-umur saya belum pernah mengetahui bagaimana bentuk ikan tersebut. Kalau memakannya sudah beberapa kali, di Tangse atau Geumpang, tetapi tidak pernah kalau di Meulaboh. Nasi ramas dengan sepotong ikan keureulieng dihargai belasan ribu di Tangse atau Geumpang. Di sekitar kota Meulaboh jauh lebih mahal. Kalau kepalanya bisa lebih mahal lagi. Di pasar, satu ekor ikan keureulieng segar dengan panjang sekitar 40 – 50 cm bisa dihargai puluhan hingga seratusan ribu. Bentuknya mirip arwana, dengan muka kejam dan sisik yang besar-besar. Sisik inipun tidak dibuang, digoreng atau dimasak. Rasanya mendekati emping melinjo, kenyal jika digulai dan renyah jika digoreng. Rasa ikan keureulieng sangat khas. Seperti campuran ikan lele, bandeng, kerapu dan patin.
Foto di atas saya ambil pas ada orang menawarkan ikan keureulieng kepada kami di depan kantor Bupati Aceh Barat.

Friday, August 12, 2005

Akhir-akhir ini sering diterima keluhan dari masyarakat mengenai air yang didistribusikan dengan truk tangki terasa sekali asinya. Muncul isu bahwa air tersebut langsung diambil dari sungai dengan menggunakan truk, bukan air dari PDAM (memang benar, ada truk yang mengambil air di sungai di daerah Samatiga. Ada yang melihat dan melaporkan pada meeting koordinasi Watsan, sehingga timbul kecurigaan bahwa hal tersebut adalah benar. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata air yang diambil tersebut adalah untuk keperluan pengecoran mesjid di daerah Cot Seulamat, Samatiga).
Pada saat petugas PDAM mengantar sampel air dari raw water intake mereka untuk kami analisa, kami memperoleh hasil bahwa konduktivitas air pada posisi raw water intake sangat besar: 19200 us/cm! Ya, 19.2 ms/cm, pada posisi pengambilan sample 4 meter di bawah permukaan (posisi rencana intake baru). Pantas saja air yang dikirim ke penduduk kadang kala asin rasanya, karena kadang-karang raw waternya sendiri konduktivitinya tinggi.

Thursday, August 11, 2005

Ross Tomlinson - Kristenisasi di Meulaboh

Pertengahan 2005, marak kabar beredar di Meulaboh bahwa ada NGO tertentu yang menjalankan misi Kristenisasi di Meulaboh. Modusnya beragam. Mulai dari pembagian makanan dan pakaian dengan logo salib, sampai bahan pendidikan yang mengarah ke agama Kristen. Juga melalui konseling anti trauma pasca bencana. Selebaran-selebaran beredar secara gelap, foto copy ataupun print out yang menggambarkan salib melindungi orang-orang dari amukan gelombang raksasa. Hal ini jelas dilarang, dan ada unit khusus polisi yang khusus untuk memastikan hal-hal seperti itu tidak terjadi. Sudah ada NGO yang diusir keluar dari Aceh pada saat masa-masa darurat (Januari – Februari 2005), karena menjalankan misi Kristenisasi secara terseubung.
Suatu sore saat kami pulang kerja, ibu kos kami dengan tampang hati-hati membisikkan ke saya, bahwa dia mendapatkan bukti nyata bahwa sebuah NGO asing menjalankan misi Kristenisasi terhadap anak-anak SD. Dia berbicara dengan bahasa Aceh, karena khawatir Juanto tersinggung (Juanto berbeda agama dengan saya). Setelah Juanto masuk kamar, ibu kos kami menunjukkan beberapa lembar kertas yang berisi cerita dan materi pelajaran untuk anak kelas satu SD. Isinya menggambarkan bagaimana salib melindungi anak-anak dari sebaga bencana di dunia, termasuk bencana amukan gelombang raksasa. Dia juga mengatakan, pegawai NGO tersebut, seorang perempuan muda, telah diusir dari Aceh karena ketahuan perbuatannya. Dia merupakan seorang guru, yang mengajar anak-anak SD untuk melupakan trauma akibat bencana. Penampilannya yang berjilbab membuat orang tidak mengetahui siapa dia sebenarnya. Anak-anak kelas satu dan kelas dua SD diajari cara berdoa yang berbeda dengan yang mereka pelajari selama ini di tempat pengajian, dan anak-anak tersebut ada yang mempraktekkannya di rumah. Orang tua mereka yang terkejut menanyakan kepada anaknya dari mana mereka mempelajari hal tersebut. Orang tua yang resah mengadu kepada guru-guru, dan begitulah sehingga kegiatan NGO tersebut terbongkar dan mereka terusir dari Aceh.
Beberapa waktu kemudian, saat saya, Ross dan Jamie dalam perjalanan pulang dari Arongan Lambalek, saya menunjukkan fotocopy pelajaran tersebut kepada mereka, dan menanyakan pendapat mereka tentang hal tersebut. Jamie tidak berkomentar, sementara Ross bercerita panjang lebar. Dia yakin, memang ada organisasi non profit yang misi dasarnya jelas untuk evangelis. Dia menunjukkan beberapa NGO yang misi dasarnya seperti itu: XXXX yang bergerak merehabilitasi dan membangun kembali sekolah-sekolah yang rusak, XXX, XXXXXXXXX XXXX dan beberapa lagi yang lainnya. Walaupun dibungkus dengan misi kemanusiaan, mereka tetap menyisipkan pendakwah-pendakwah mereka didalam pekerja-pekerja mereka untuk menjalankan misi mereka. Bagaimana dengan CRS sendiri, tanya saya. CRS, sepanjang pengetahuan dia, tidak seperti itu. CRS bekerja lintas agama, ras dan negara. Walaupun didirikan dan dimiliki oleh warga Khatolik Amerika Serikat, CRS bekerja bukan untuk misi Khatolik. Misinya adalah murni kemanusiaan, katanya. Pekerjanya, di Aceh dan di berbagai negara lainnya, terdiri dari beragam agama dan suku bangsa. Mereka bekerja murni untuk kemanusian, bukan untuk kemajuan agama Khatolik, tambahnya. Dia sendiri – karena dia Kristen – pada saat wawancara dengan personalia CRS, dia ditanyakan bagaimana hubungannya dengan Yesus. “Baik-baik saja”, katanya. Terakhir dia bertemu Yesus di bar sepulang pertandingan bola pada suatu akhir minggu beberapa waktu yang lalu. Yesus lagi minum di bar,dan Ross menepuk bahunya dan menanyakan kabarnya. “Tidak pernah sebaik ini semenjak saya disalib”, jawab Yesus. Saya dan Jamie ketawa mendengan cerita Ross.
Saya sendiri, pada saat wawancara dengan Croix Rouge Francaise (Palang Merah Perancis), ditanyai kenapa saya mau bekerja dengan CRS padahal saya seorang Muslim. Saya bekerja untuk kemanusian, jawab saya, bukan untuk misi Khatolik. “Kan sama saja, kamu bekerja untuk mereka ataupun kamu bekerja bersama mereka”, kata Frédéric Gros, orang yang mewawancara saya. Well, tidak seperti itu ...

Tuesday, August 09, 2005

Kamp Pengungsi Masyarakat Rundeng Lingkungan IV di Lapang

Suasana di Kamp Pengungsi Mayarakat Lingkungan IV Rundeng di Lapang


Hari ini kami melakukan analisa air ke Kamp Pengungsi di Lapang. Kamp tersebut didiami oleh masyarakat Lingkungan IV Rundeng, yang daerahnya mengalami kerusakan sangat parah. Mereka akan dipindahkan ke tempat mereka mengungsi sekarang. Ada sekitar 1000 jiwa yang tinggal di kamp pengungsi tersebut. Tidak ada barak sementara di sana, hanya tenda-tenda dengan logo CRS yang (nampaknya) sudah mulai lapuk. Sumber air tidak ada, selain beberapa sumur gali. Air minum diantar oleh truk-truk tangki dua kali sehari.

Warga Rundeng sedang membersihkan lokasi perumahan mereka yang baru. Latar depan: Jamie Ashe


Ada empat sumur gali yang akan kami analisa. Airnya sewaktu diambil tampak jernih, dengan kekeruhan yang rendah dan warna yang tidak terlalu menonjol. Hal ini mungkin disebabkan karena lokasi sumur-sumur tersebut di hutan karet, dengan kondisi tanah yang berawa-rawa.Masyarakat nampak sibuk membersihkan lokasi baru yang bakal menjadi lokasi perumahan baru nantinya (mereka melakukannya secara gotong royong, tetapi CRS membayar semua yang bekerja secara harian). Ada beberapa penduduk yang sedang menyiapkan septic tank untuk WC-WC umum yang sedang dibangun. Si Jamie langsung menyisingkan lengan baju dan menggulung celananya, membuka sandalnya dan langsung turun ke lubang. Sejurus kemudian dia sudah mencangkuli lubang bersama dengan penduduk lainnya. Keterbatasan komunikasi antara Jamie dan penduduk nampaknya tidak menjadi kendala, dengan bahasa Indonesia yang sangat minim ditambah dengan bahasa isyarat komunikasi bisa juga berlangsung. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, air dari keempat sumur tersebut mengandung kadar besi antara 4 – 5 ppm. Cukup besar. Beberapa waktu setelah diambil, air berubah menjadi coklat dan keruh sekali. Saya menyarankan kepada Jamie, supaya sistem distribusi air yang akan dibangun harus sistem aerasi sederhana dan harus mempunyai waktu kontak yang cukup supaya setidaknya kadar besinya dapat berkurang. Rencanaya, sistem air tersebut juga akan dilengkapi dengan filter pasir sederhana untuk menghasilkan air yang lebih bersih.

"Hei, don't just take picture! Get your ass down here and give us a hand!" Jamie protes saat saya mengambil fotonya di dalam lubang WC

Saturday, August 06, 2005

Test Arsen di Lapangan: Arongan Lambalek

Kemarin, saya bersama LSM Peacewinds Japan melakukan test asnenik di daerah Pasi Mali (Kecamatan Arongan Lambalek) dan barak pengungsi di Kubu, juga masuk wilayah kecamatan Arongan Lambalek. Dengan menggunakan kenderaan Ford Ranger milik Peacewinds, kami berempat dengan supir berangkat jam 09:00. Keluar dari kota Meulaboh, kondisi jalan sangat parah. Dengan kecepatan 10 - 20 km/jam, masih terasa guncangan dalam kenderaan. Di pinggir jalan nampak truk Fuso yang berisi muatan karet dalam posisi rebah kuda. Kayaknya, dua rodanya terperosok ke dalam tanah berpasir dipinggir jalan, dan terguling pada saat mereka mencoba untuk keluar.
Setengah jam kemudian, jalan berubah total: jalan aspal mulus. Supir kami ngebut, kayaknya dia sudah terbiasa dengan wilayah tersebut. Melewati kecamatan Samatiga, kami mulai menyusuri pantai. Jembatan-jembatan yang putus sewaktu bencana tsunami dulu, sudah dibangun secara darurat oleh Oxfam dan YKM, bekerja sama dengan masyarakat setempat secara gotong-royong (tidak sepenuhnya dibilang gotong-royong, karena masyarakat dibayar secara harian oleh Oxfam). Kadang kenderaan harus melewati pasir pantai, menembus genangan air laut yang disebabkan oleh pasang tinggi pada malam sebelumnya. Diperkampungan di sepanjang jalan, denyut kehidupan mulai terasa. Rumah-rumah mulai dibangun oleh LSM-LSM yang bekerja di wilayah tersebut. Orang-orang mulai ramai lalu lalang dengan kegiatannya masing-masing.
10 menit melewati daerah Samatiga, di ruas jalan yang sempit nampak kenderaan penumpang jenis L-300 terperosok di pinggir jalan, sedang berusaha ditarik dengan menggunakan bus. Usaha tersebut gagal karena talinya putus. Kenderaan kami berhenti dan kami meminjamkan sling untuk membantu. Rupanya, L300 tersebut dalam perjalanan dari Calang menuju Meulaboh. Di jalan yang sempit tersebut, kenderaan tersebut memberi jalan kepada Ford Ranger CRS yang ingin memotong. Akibatnya, L300 tersebut terperosok dan hampir terguling (kami menduga kenderaan yang menyebabkan masalah adalah mobil yang ditumpangi si Jamie dan si Ross yang juga sedang menuju ke Arongan).
Jam 11:05 kami sampai ke Pasi Mali. Rumah-rumah penduduk semuanya mengibarkan bendera merah putih. Di pintu-pintu rumah juga ada gambar bendera merah putih dan tulisan NKRI besar-besar. Kata supir mobil kami, penduduk sekarang berinisiatif sendiri memasang bendera menjelang 17 Agustus.
Setelah melakukan test arsen di sumber air Puskesmas Pasi Mali dan berbasa-basi sebentar dengan petugas medis di sana, kami melanjutkan perjalanan ke Arongan Lambalek, yang memakan waktu lebih kurang 1 jam. Sehaktu habis tsunami sampai kira-kira bulan Mei 2005, perjalanan ke Arongan Lambalek sangat berat. Melewati medan yang sangat berat dikarenakan kerusakan infrastruktur, dan kadang harus melewari air sungai, perjalanan bisa memakan waktu lebih dari empat jam, melalui jalan alternatif lewat Kuala Bhee. Sekarang, melewati jalan biasa, perjalanan ke Arongan hanya memakan waktu sekitar dua jam (kalau sebelum tsunami hanya sekitar 40 menit). Sampai di Arongan saya minta diturunkan di Mesjid Arongan, karena waktu Jumat sudah tiba. Yang lainnya melanjutkan perjalanan ke lokasi kerja.
L300 yang terperosok di wilayah Samatiga

Setelah shalat, ternyata mereka sudah menunggu: staff dari Peacewinds dan boss saya Ross Tomlinson dengan si Jamie Ashe. Rencana si Ross dan Jamie untuk mengadakan meeting dengan masyarakat gagal, karena orang yang mereka bawa dari Meulaboh (bagian Shelter CRS) ternyata tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka sudah bersiap-siap mau pulang ketika mereka berjumla dengan Peacewinds yang mengatakan saya ikut dengan mereka. Tugas saya bertambah: selain mengambil sample dan menganalisa arsen untuk Peacewinds, saya harus ikut Ross dan Jamie sebagai penerjemah.

Perjalanan diteruskan ke Barak Pengungsi Kubu. Setelah mengambil sampel dan melakukan analisa Arsen, saya berpisah dari rombongan Peacewinds dan bergabung dengan rombongan CRS. Banyak masalah yang ditemukan di Barak Kubu. Sarana air bersih yang layak untuk dijadikan air minum tidak ada. Pengungsi yang tinggal di Barak tersebut harus mengambil air ke Drien Rampak yang berjarak 3 km dari tempat tersebut, atau membayar Rp 1500 per jerigen air yang berisi 30 liter. Sumur bor yang ada airnya mengandung gas dan bisa terbakar. Lagipula, karena airnya asin (conductivitinya sekitar 1500) tidak ada warga yang mau minum air tersebut.

Di barak seberang jalan, kondisinya tidak jauh berbeda. Sumur bor yang dibangun terpaksa ditutup kembali karena dinilai berbahaya kandungan gasnya. Si Ross mengomel bahwa ada tujuh LSM internasional yang bekerja di Barak ini tetapi tidak ada yang memberikan hasil yang nyata.

Ada satu sumur milik penduduk yang nampaknya memberikan hasil yang lebih memuaskan. Untuk menghitung debit air sumur tersebut, si Jamie melakukan metode tradisional: dengan ember besar dia menguras sumur tersebut sampai kering, kemudian dihitungnya berapa cepat air kembali mengisi sumur. Setelah saya hitung, ternyata diperoleh angka 16 liter/menit. Cukup besar untuk sumur cincin dangkal. Nampaknya, sumur ini akan dipergunakan untuk sementara sebagai sumber air bagi warga di barak. Tinggal membereskan lantai sumur, menyediakan pompa dan tangki air beserta towernya.

Hard-working boy Jamie Ashe sedang menguras sumur

Pada pertemuan dengan Pak Adnan, Kepala Desa setempat, banyak hal-hal yang menjadi catatan Ross dan Jamie. Mulai kegiatan-kegiatan LSM asing di tempat tersebut sampai kepada illegal logging ditempat baru penduduk akan di relokasi. Juga mengenai LSM-LSM asing yang terlalu banyak menjanjikan ini dan itu, tetapi lambat atau bahkan hampir tidak ada realisasinya.

Jam 05 sore kami berangkat pulang. Sampai di Suak Seuke saya mengajak mereka singgah di 'kafe terapung b'medi' untuk minum.

Santai di 'cafe terapung b'medi' di Suak Seuke

Monday, August 01, 2005

Setelah beberapa waktu pantai-pantai sepi dikarenakan berbagai hal (terutama karena kerusakan oleh tsunami), kini pantai-pantai di kota Meulaboh sudah mulai ramai lagi. Kalau sore hari, biasanya tempat-tempat yang dulunya memang menjadi tujuan untuk tempat jalan-jalan sore, banyak orang-orang yang mungkin hanya sekedar melintas dengan keluarga, ataupun duduk-duduk di tepi pantai mengamati ombak besar (karena sekarang musim barat). Ada juga yang mencoba memancing. Sore Sabtu, keramaian sangat terasa. Banyak yang berpacaran di tepi pantai. Setelah magrib (malam Minggu), jangat ditanya lagi. Walaupun keadaan pantai gelap gulita tanpa penerangan (sarana listrik yang diperbaiki belum mencapai pantai) banyak pasangan yang mencari posisi tersamar. Kayaknya, sudah mulai kembali kearah kondisi sebelum tsunami (banyak informasi yang saya dengan dari masyarakat Meulaboh, kondisi Meulaboh sebelum tsunami adalah sangat bebas - dalam artian pergaulan pria dengan wanita). Pacaran ditepi pantai, menjadi hal yang sangat biasa (walaupun di bagian Aceh lainnya, ini merupakan sesuatu yang tabu dan hal yang memalukan bagi pelakunya).
Keramaia di Pantai Suak Ribee pada sore hari
Juanto di 'cafe terapung bang Medi', Suak Seuke, Samatiga

Saturday, July 30, 2005

Training Design Septic Tank

Hari ini Jamie Ashe mengadakan training tidak resmi mengenai prinsip dasar perancangan septic tank, baik untuk rumah tangga ataupun komunal. Trainingnya menarik untuk diikuti, apalagi bagi saya hal ini merupakan sesuatu yang sama sekali baru. Selama dua jam yang sesekali diisi dengan canda dan juga snack, training berlangsung lancar dan berakhir pada jam 12:00.

Friday, July 29, 2005

Analisa Arsen di Lapangan

Jumat, 29 Juli 2005. Kandungan Arsen dalam air di daerah Aceh Barat menjadi isu serius akhir-akhir ini. Beberapa sample ditemukan kandungan Arsennya sangat tinggi (101 ppb). Setelah dilakukan tes pembanding ke laboratorium BTKL di Medan yang hasilnya lebih kurang mirip (93 ppb, karena waktu pengambilan sampelnya berbeda), diambil keputusan untuk melakukan tes Arsen langsung di lapangan pada setiap hari Jumat. Jam 08:40 saya berangkat, hanya berdua dengan supir. Tujuan kami adalah wilayah kecamatan Johan Pahlawan dan kecamatan Meurebo yang saling berdekatan. Sampai jam 12:00 siang saya bisa menyelesaikan lima sampel dari lima lokasi yang berbeda.
Setelah makan siang dan mengikuti Salat Jumat di Mesjid Pasi Pinang (Meureubo) yang rusak parah (kami melakukan salat di ruangan darurat), perjalanan dilanjutkan. Di daerah Alue Penyareng pada kamp pengungsi, salah satu sumur bor yang ada level Arsennya ternyata tidak berubah, 100 ppb. Sementara sumur bor yang dibangun oleh salah satu NGO asing yang hanya berjarak sekitar 200 m level Arsennya adalah 0 ppb. Mungkin tidak ada pilihan lain bagi Dinas Kesehatan Aceh Barat: menyuruh NGO yang membangun sumur bor tersebut untuk memasang Arsen treatment atau menutup sumur tersebut dan menggali sumur lain yang kandungan Arsennya diharapkan lebih rendah atau tidak ada sama sekali. Atau memasang pengumuman bahwa sumur tersebut mengandung arsen dan tidak layak untuk diminum.

Analisa Arsen diapangan dengan menggunakan Arsenator dari Wagtech


Warna yang semakin pekat menunjukkan Arsen yang tinggi. Warna putih menunjukkan tidak ada Arsen. Bacaan akhir ditunjukkan secara digital pada alat Arsenator (prinsip analisa adalah photometri)

Wednesday, July 27, 2005

27 Juli 2005

Tadi pagi saya mengikuti meeting dengan Bagian Kesehatan Lingkungan di Dinas Kesehatan Aceh Barat, bersama dengan Ross. Unicef turut hadir pada meeting tersebut (Eka Setiawan dan orang Malaysia keturunan India Cyril Chandrapala). Kami membahas mengenai berbagai hal, terutama mengenai isu arsen (sumber-sumber air di Aceh Barat sekitar Meulaboh ada yang mengandung arsen, kasus terburuk kandungan arsennya adalah 101 ppb. Standar pemerintah Indonesia adalah 10 ppb). Disepakati untuk tidak menggunakan lagi air yang mengandung arsen diatas yang diperbolehkan pemerintah. Dengan kata lain, sumur bor yang digali NGO yang jelas mengandung arsen harus ditutup dan mereka dipersilahkan membuat sumur baru.
Setelah dua jam berdiskusi ngalor ngidul (sampai topik utama meeting terlupakan: pengadaan alat lab untuk Dinkes Aceh Barat, training staff Dinkes, manajemen data dsb), disepakati meeting berikutnya akan diadakan hari Rabu dua Minggu yang akan datang. Inilah meeting gaya India, kata saya kepada Ross. Hasil meeting kali ini adalah menentukan kapan dan dimana meeting yang akan datang dilaksanakan. "Tidak sepenuhnya juga", jawab Ross. "Paling tidak kita mendapatkan beberapa hal yang kita perlukan dari pembicaraan tadi". Ya juga, seperti kami mendapat info nama staff Dinkes yang akan bekerja bersama kami nantinya. Rencananya, dalam minggu ini staff tersebut akan tiba di Meulaboh dari Woyla.
Jadwal pengambilan sampel air yang baru sudah ditentukan. Tiap NGO diperbolehkan mengantar 5 sample setiap dua minggu pada saat padat, atau delapan sampel dalam dua minggu kalau tidak terlalu banyak sampel yang harus dianalisa. Analisa secara kimia akan dilakukan setiap hari Senin, Selasa dan Rabu. Analisa bakteri akan dilakukan pada hari Kamis. Sedangkan untuk hari Jumat, saya harus berkeliling untuk melakukan analisa arsenik langsun di tempat. Hari Sabtu, kerja administrasi: mempersiapkan laporan dan sebagainya. Walaupun jadwalnya sudah ditentukan, ada juga NGO yang mengantar sample sesuka mereka saja. Tanpa menelepon dulu untuk konfirmasi, tiba-tiba sudah ada yang muncul membawa selusin sampel untuk dianalisa. Untuk ditolak, nggak tega juga. Akhirnya sample-sample tersebut disimpan di kulkas menunggu waktu untuk dianalisa.


Analisa bakteri dalam sample air di laboratorium alanisa air CRS Meulaboh

Tuesday, July 26, 2005

Senja di Suak Ribee

Ini adalah foto saya yang pertama yang berhasil menggambarkan matahari tenggelam di laut. Setelah puluhan kali mencoba (dan gagal), inilah yang memberi hasil seperti yang saya harapkan.

Monday, July 25, 2005

Blang Pidie
Foto kota Blang Pidie, sekitar dua jam dari Meulaboh ke arah Medan. Dibandingkan dengan Meulaboh yang harga-harganya menggila, harga barang di Blang Pidie jauh lebih murah. Masyarakat Aceh Barat dan sekitarnya lebih memilih belanja ke Blang Pidie (dalam partai besar) daripada ke Meulaboh. Foto-foto berikut diambil pada saat saya dan beberapa orang kawan berjalan-jalan ke sana pada hari Minggu di bulan Mei 2005 lalu.

Sungai di Babah Rot

Jembatan Sungai Babah Rot

Kota Blang Pidie

Pemandangan di Blang Pidie

Pantai di Blang Pidie

Sunday, July 24, 2005

Wajah Indo Warga Lamno

Selama ini, saya cuma mendengar keberadaan orang-orang keturunan Eropa di daerah Lamno, Aceh Jaya. Saya belum pernah melihat secara langsung. Pada acara Piasan Raya (Pesta Besar) yang diadakan Mercy Corps di Meulaboh tanggal 25 - 26 Juni 2005, kami berjumpa dengan satu keluarga kecil. Saya curi-curi mengambil foto mereka (foto suaminya saya hilangkan dari gambar).



Berikut ini adalah kutipan dari Koran Pikiran Rakyat tentang melacak warga lamno keturunan Portugis sehabis Tsunami.

Jejak Porto Ratusan Tahun Disikat Tsunami
KEHADIRAN orang Portugis di daerah Aceh, ratusan tahun yang lalu, hingga sekarang masih meninggalkan bekasnya. Tepatnya di daerah Lamno, Kabupaten Aceh Jaya atau kurang lebih 81 km dari Banda Aceh ke sebelah barat. Peninggalan orang Porto (begitu panggilannya-red) di Lamno yakni gadis cantik yang bermata biru, hidung mancung, kulih putih dengan perawakan yang tinggi di atas rata-rata warga Aceh lainnya.
Gadis-gadis cantik itu bak bule tadi adalah keturunan dari pedagang Porto yang singgah di Lamno beberapa abad yang lalu. Di antara pedagang Porto ini ada yang menetap lama di Lamno dan meminang perempuan setempat. Keturunan mereka hingga sekarang masih ada, dengan ciri fisik sebagaimana orang-orang Eropa.
Budayawan Lamno M. Yunus mengemukakan orang Portugis masuk ke Lamno sekira tahun 1492. Waktu itu, di Lamno ada kerajaan kecil yang kaya dengan rempah-rempah, seperti lada dan lainnya. Di bawah Raja Pahlawan Syah (Sultan Alaidin Riayah Syah II) atau lebih dikenal dengan nama Marhum Daya, Kerajaan Lamno berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan orang Portugis.
Kerajaan Lamno ini berpusat di Keluang atau Kuala Daya daerah pinggir pantai. Di lokasi itu juga dulu dibangun pelabuhan laut Lamno sebagai tempat berlabuh kapal laut dari luar daerah. Karena memiliki pelabuhan yang memadai dan strategis di Samudra Hindia, perdagangan antara Portugis dengan Lamno berjalan dengan baik. Sistem perdagangan waktu itu masih menggunakan barter. Orang-orang Porto itu membawa lada dan tembakau dari Lamno.
Karena hubungan perdagangan itu, ada di antara pedagang Portugis yang tertarik dengan gadis asal Lamno. Akhirnya di antara mereka ada yang meminang gadis setempat, dan menetap tinggal di daerah Kuala Daya dan di Lamso, masih masuk ke daerah Lamno. Saat itulah secara turun-temurun lahir keturunan orang Portugis di Lamno.
Selain orang Portugis di Lamno, sebenarnya masuk juga pedagang dari Cina, India, Arab, hingga VOC sendiri. Bahkan konon ACEH adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan (India). Maka pada zaman itu, Aceh benar-benar merupakan sebuah daerah kosmopolitan.
Itu dibuktikan dengan ditemukannya mata uang kuno di Lamno. Yunus menunjukkan delapan mata uang kuno, yang di temukan di sekitar pelabuhan. Mata uang itu, diyakini mata uang VOC karena berlambangkan atau bertuliskan VOC, Arab (ada tulisan Arabnya), Cina (bahasa Cina), dan India.
Dengan adanya mata uang itu, kemungkinan besar pelabuhan di Lamno ini dulu sangat ramai sebagai pusat perdagangan. "Makanya, saat ini selain ada keturunan Portugis, ada juga keturunan Arab maupun India di daerah Lamno ini," papar Yunus kepada "PR". Keturunan Arab juga dimungkinkan adalah yang menyebarkan Islam di daerah ini, termasuk keturunan Portugis juga beragama Islam.
Hanya, kejayaan Lamno mulai pudar, itu terjadi saat Raja Alaidin Riayah Syah II yang merupakan putra dari Raja Inayatsyah meninggal pada 1508. Setelah raja Alaidin ini meninggal, Kerajaan Lamno masuk menjadi bagian wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Hal itu terjadi karena Putri Alaidin yakni putri Hur (pewaris takhta) menikah dengan Raja Sultan Halim Murayat Syah (Raja Aceh Darussalam). Sejak itu, pelabuhan Lamno menjadi sepi, karena pusat perdaganan dialihkan oleh raja baru ke Sabang dan Banda Aceh.
Para pedagang dari Portugis maupun India saat itu juga tidak lagi masuk ke Lamno. Namun, orang Portugis yang sudah berkeluarga di daerah itu menetap untuk selamanya. Mereka bekerja sebagaimana warga setempat yaitu melaut dan bertani. Karena pelabuhan sepi, lambat laun usaha lada dan tembakau mulai ditinggalkan oleh warga setempat.
Alasannya, karena untuk menjualnya menjadi sulit dan harga murah. Nama Lamno sebagai penghasil lada dan tembakau pun sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional akhirnya meredup dari tahun ke tahun. Bahkan, kini sangat jarang sekali tanaman lada atau usaha tembakau digeluti oleh warga daerah ini. Julukan kota perdagangan untuk Lamno pun akhirnya memudar.
Julukan kota perdagangan serta penghasil rempah-rempah boleh saja pudar. Tapi, satu julukan yang akhirnya tak pernah pudar untuk daerah Lamno adalah sebagai tempat lahirnya gadis si mata biru. Karena kecantikan gadis yang tetap bersinar dari abad ke abad, akhirnya membuat daerah Lamno masih terkenal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), hingga sekarang. Menyebut nama Lamno, di Aceh sepertinya sudah identik dengan gadis keturunan Porto yang jelita.
Menurut Burhanudin (58), warga Lamno yang masih keturunan Portugis, kepada masalah kecantikan keturunan Portugis, sudah lama dikenal di Aceh. Bahkan, kalau ada perayaan Marhum Daya, banyak orang berdatangan ke Lamno. Perayaan pada hari Lebaran Iduladha itu dapat dipastikan gadis-gadis Porto yang ada di daerah Lamno kumpul. Baik yang ada di Lamno maupun di luar daerah ini. "Itu orang banyak memperhatikan kecantikan gadis-gadis Lamno yang keturunan Portugis," paparnya.
Burhanudin yang mengaku generasi kelima asal Porto, memaparkan, keluarga yang masih keturunan Portugis itu, sebagian besar tinggal di Kuala Daya dan Lamso. Diperkirakan jumlahnya kurang lebih 150 orang (sebelum tsunami). Keluarga asal darah Porto ini bekerja sebagai nelayan dan bertani sawah atau kebun, sebagaimana umumnya warga sekitar.
"Kehidupannya juga tidak jauh atau sama dengan warga sekitar. Ada yang istimewa dari keluarga keturunan Porto, seperti kami ini. Karena hanya fisik saja yang beda, lainnya mulai dari bahasa, budaya, dan pekerjaan sama saja," jelasnya.

Syukur, Masih Ada Penerus Gen Portugis
LALU bagaimana nasib keturunan Portugis di Lamno, setelah terjadi bencana tsunami menerjang daerah itu?
Daerah Lamno, yang berada di Aceh Jaya atau pesisir pantai barat Aceh, tidak luput juga dari gempa dan badai tsunami. Akibatnya, jalur darat antara Banda Aceh-Lamno sepanjang 81 km putus total, sehingga pada awal-awal terjadi gempa, daerah ini sempat terisolasi. Sebelum putus, Banda Aceh ke Lamno bisa ditempuh dua jam dengan kendaraan pribadi, menelusuri pinggir pantai. Sedangkan angkutan umum tarifnya Rp 15 ribu, dari Banda Aceh ke Lamno.
Pada Minggu (30/1), bersama Abang Aa, warga Banda Aceh, saya mencoba masuk ke Lamno menggunakan sepeda motor atau berusaha untuk menebus jalur darat. Dari Banda Aceh-lewat Lhoknga, lalu masuk ke Kec. Leupung. Untuk jalur Lhoknga-Leupung sudah bisa dilalui karena jembatan darurat yang dibangun Zeni TNI AD sudah beres.
Di Leupung, TNI AD juga membuat jalan sementara/darurat untuk mengganti jalan utama yang hancur. Sepanjang 15 km jalur di Leupung made in tentara ini harus dilalui dengan susah payah, karena jalannya masih labil, licin, dan bergelombang. Ketika akan masuk Lhok Seudu-Pulut, terpaksa sepeda motor diangkut dengan rakit karena jembatan yang menghubungkan dua daerah itu belum selesai dibangun oleh TNI AD.
Sebenarnya setelah masuk Pulut hanya tinggal menembus dua daerah lagi agar bisa masuk ke Lamno, yaitu Layeun dan Lung atau kurang lebih 40 km. Namun perjalanan selanjutnya mesti melewati bukit dengan jalan darurat buatan masyarakat. Lebar jalannya hanya satu meter. Jalur ini banyak dihuni tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena itu, atas pertimbangan warga setempat, kami putuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.
Saat itu juga kami balik lagi ke Banda Aceh. Harapan untuk bisa ke Lamno pun buyar. Cara yang memungkinkan untuk ke Lamno adalah menggunakan speed boat atau heli. Namun untuk naik speed boat, ongkos carternya mahal hingga Rp 700 ribu/hari. Padahal kalau menggunakannya mesti menempuh waktu dua hari. Berangkat pagi dengan menempuh perjalanan lima hingga enam jam. Perahu baru bisa balik lagi besok harinya waktu pagi hari. "Siang tidak berani, karena angin kencang sangat bahaya," kata Bukhori, pemilik speed boat.
Setelah dipertimbangkan, untuk menggunakan perahu adalah alternatif terakhir. Karena ada cara yang belum dicoba yaitu heli dari Lapangan Udara Iskandar Muda, Banda Aceh. Hari Senin (31/1) pagi hari, akhirnya saya berangkat ke bandara karena ada informasi WFP (World Food Program) akan berangkat ke Lamno dengan menggunakan heli. Mereka membawa wartawan asing untuk meninjau Lamno. Begitu di Lanud Iskadar Muda, saya berusaha menghubungi pihak WFP Chesy yang mengatur perjalanan ke Lamno.
Kepada WFP, saya berusaha meminta tolong untuk ikut ke Lamno. Hanya, mereka secara halus menolak. Alasannya, wartawan asing yang ikut sudah daftar sehari sebelumnya. Lalu kapasitas tempat duduk heli juga terbatas.
Jawaban WFP tidak membuat saya patah arang. Di hadapan dia, saya mengangguk seolah bisa menerima penjelasannya. Namun saat heli itu dihidupkan untuk berangkat ke Lamno, saya segera lari masuk ke dalam heli. Waktu itu pihak yang mengurus keberangkatan ke Lamno masih berada di tendanya sehingga tak melihat saya masuk ke heli. Tak lama kemudian sejumlah wartawan asing masuk ke heli dengan mengambil tempat duduk.
Agar di pesawat tidak langsung kelihatan oleh pihak yang mengurus keberangkatan ke Lamno, saya duduk di kursi ujung belakang. Beberapa detik saat pesawat akan mengudara, Chesy masuk ke dalam pesawat dan langsung duduk belakang pilot dekat pintu pesawat.
Sesaat sudah di udara untuk menuju perjalanan ke Lamno, akhirnya dia melihat saya. Saat itu akhirnya kami saling bersitatap. Saya segera melambaikan tangan kanan. Orang WFP ini membalasnya, sambil tersenyum, entah kesal atau bisa menerimanya.
Pesawat heli inilah yang akhirnya sampai ke Lamno. Dari udara terlihat jelas, bahwa kota itu telah hancur. Hanya beberapa desa yang kelihatan masih utuh, yaitu di pusat kotanya. Turun dari pesawat, langsung menuju ke arah pengungsian untuk mencari jejak si "mata biru". Sedangkan rombongan wartawan asing, berkunjung bersama dari WFP juga ke pengungsian, namun lokasinya berbeda.
Sempat beberapa kali menanyakan tentang keberadaan si bule kepada warga sekitar. Jawabannya beragam. Ada yang mengatakan bahwa daerah yang selama ini dihuni mereka, yaitu Kuala Daya dan Lamso sudah rata dengan tanah karena lokasinya dekat dengan pantai. Akan sulit untuk bisa menemukan orang-orang keturunan Portugis itu. Kuala Daya dan Lamso adalah desa yang paling hancur. "Kemungkinan besar keturunan Portugis sudah banyak yang meninggal," kata Sulaeman, penduduk Lamno.
Berkat informasi seorang guru sekolah dasar, akhirnya saya bisa menemukan beberapa orang bule di daerah pengungsian. Di belakang pasar Lamno, ada keturunan Portugis yang memang namanya adalah Bule (80). Sebelum tsunami, dia tinggal di Kuala Daya. Ketika ditemui, ternyata wajah ibu dua anak ini mirip dengan orang bule. Hidungnya mancung, kulit putih, dan badannya tinggi kira-kira lebih 170 cm.
Menurut Bule, keturunan Portugis di Kuala Daya sebagian besar telah meninggal disapu tsunami. Ia juga sempat digulung ombak, tapi akhirnya selamat. Ia sendiri tidak bisa memastikan, berapa orang lagi keturunan langsung dari darah Portugis yang kini masih tersisa. "Saya tidak bisa menyebut jumlahnya, tapi jelas sangat sedikit," katanya.
Di pengungsian itu, saya juga bertemu dengan keturunan Portugis lainnya seperti dua gadis bernama Dahlia (26) dan Marlina (20). Satunya lagi ibu beranak satu bernama Maulizar (27). Di SMU Lamno, juga ada tiga orang gadis yang keturunan Portugis, di antaranya Tina. Menurut Marlina, gadis-gadis keturunan Portugis yang ada saat ini kira-kira di bawah sepuluh orang karena sudah banyak yang menjadi korban tsunami.
Di antara para pengungsi, keberadaan gadis ini memang terlihat lain yaitu tetap cantik. Namun sifatnya pemalu. Mereka jarang berkomunikasi dengan orang luar, kecuali yang dikenalnya. Menurut Tina, dia sebenarnya sama dengan warga Aceh atau Lamno lainnya. Kalaupun ciri fisik yang berbeda, itu karena ibu dan bapaknya adalah keturunan Portugis. Kadang ia sendiri merasa malu, karena ciri fisik yang berbeda. Namun ia tidak tahu, siapa nenek moyangnya yang asal Portugis itu. "Kita yang seperti orang barat ini karena ada keturunan asing. Ayah saya saja tidak tahu siapa orang Portugis yang datang ke Lamno ini," jelasnya.
Dalam keseharian, kata Dahlia, tak ada perbedaan antara mereka yang keturunan Portugis dengan lainnya. Baik di sekolah maupun di pergaulan sehari-hari, tetap tampil seperti biasa tanpa mendapat perlakuan khusus. Bahkan, sebelumnya di antara mereka tidak mengetahui kalau mereka keturunan Portugis.
Nenek Bule juga mengemukakan hal sama. Dalam kehidupan sehari-hari, antara dirinya dengan warga Lamno lainnya tidak ada yang berbeda. Mata pencaharian juga sama yaitu nelayan atau bertani. Seperti di Kuala Daya, keluarga keturunan Portugis seperti Sehrani pekerjaannya nelayan. Keluarga Agam Lambeso, juga nelayan. Teungku M. Amin adalah seorang nelayan dan Basyah Peti adalah petani. Anggota keluarga mereka banyak juga yang hilang akibat tsunami.
Selama ini, kata Marlina, tidak ada gadis keturunan Lamno Portugis yang menjadi artis. Biasanya mereka menikah dengan warga setempat. Jika suaminya sama berasal dari keturunan Portugis, biasanya ciri Portugis pada anak-anak mereka tampak kuat. Anak mereka benar-benar seperti bule, berhidung mancung, bermata biru, dan kulit putih.
Sebaliknya, kalau perempuannya yang keturunan Portugis menikah dengan laki-laki asli setempat, ciri fisik seperti orang Eropa mulai pudar. Bola matanya, juga jadi kecokelat-cokelatan, tidak biru lagi. Namun biasanya hidungnya mancung, dan warna kulitnya menjadi sawo matang.
Kini gadis-gadis cantik keturunan Portugis yang ada di pengungsian, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, sepertinya akan tetap menjadi penerus jejak Portugis yang pernah masuk ke Lamno. Di antara mereka ada yang bercita-cita jadi perawat, dan juga menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tapi, yang jelas mereka sendiri bingung dengan masa depannya karena orang tua atau keluarga mereka telah tiada.
Termasuk untuk pulang pun bingung karena rumahnya sudah rata dengan tanah. "Sekarang bersabar dan berdoa. Semoga Allah menunjukkan jalan yang baik bagi kami yang selamat," kata Maulizar. Tentu semua berharap ”mutiara Lamno” itu harus tetap tegar untuk menjalani kehidupan yang akan datang. Agar Lamno kembali bersinar. (Undang Sudrajat/"Pikiran Rakyat")

Artikel Kompas Sabtu, 6 Oktober 2001 tentang keberadaan warga Lamno yang bermata biru dan berkulit putih.

Pesona Mata Biru di Lamno

Kompas/basri daham
ACEH di ujung utara Pulau Sumatera identik dengan Aceh sebagai Serambi Mekah. Wilayah itu merupakan tanah bekas kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dengan perdagangan yang maju serta angkatan perangnya yang jaya pada abad-abad ke-8 sampai ke-19. Daerah ini juga dikaruniai Tuhan dengan kekayaan dan keindahan alam serta budayanya yang maju. Profil dan letak geografis daerahnya menguntungkan karena terapit di antara Samudera Indonesia dan Selat Sumatera sehingga menjadikan pantainya seperti untaian zamrud.
Keindahan alamnya yang mempesona hampir dijumpai di setiap jengkal tanah, gunung, dan pantainya. Aceh sebagaimana daerah lainnya, sudah sejak lama dikenal sebagai daerah tujuan wisata (DTW) karena menyimpan banyak kekayaan budaya dan keindahan alamnya yang belum banyak tersingkap atau diketahui umum.
Misalnya, potensi wisata yang masih terpendam ini terletak di kawasan sepanjang 600 km bagian pantai barat Aceh. Mulai dari atas Geureutee (daerah pegunungan) pantai barat ini sampai ke bawah yang atau dari Desa Daya/Unga sampai Kuala Dhou Legeun (sekitar 85 km dari Banda Aceh arah ke Meulaboh), sekarang dikenal sebagai Kecamatan Lamno. Terhampar pantai berpasir putih yang indah berkilauan dan di kaki Geureutee ini, terdapat sebuah kawasan indah bekas Kerajaan Islam Daya, yang pernah jaya dan kuat.
Yang menarik sekarang dibekas Kerajaan Daya ini terdapat beberapa desa dengan penduduk bermata biru, berkulit putih, berambut pirang dengan tubuh profil Eropa. Mereka adalah warga asli Lamno yang menurut sejarah adalah turunan Portugis. Sebuah kapal perang Portugis yang kalah perang dengan Belanda di Melaka/Singapura. Dalam perjalannya dari Singapura ke negaranya mengalami kerusakan dan terdampar di daratan Kerajaan Daya, pada abad ke-15.
Raja Daya tidak membiarkan begitu saja kapal perang Portugis yang lari dari Perang Malaka dan Singapura itu bersembunyi di daratan Daya. Tentara Daya menembaki kapal itu dengan meriam-meriam besar hingga kapalnya tenggelam. Semua awak kapal dan tentara Portugis menyerah dan minta perlindungan dari Raja Daya, sambil menunggu datangnya kapal Portugis datang menjemput mereka.
Seluruh awak dan tentara Angkatan Laut Portugis tersebut kemudian ditawan oleh Raja Daya dan dikurung dalam suatu kawasan yang berpagar tinggi. Mereka menunggu bantuan, tetapi komunikasi sulit dan bantuan tak pernah datang. Akhirnya mereka menyerah kepada Raja Daya dan menyatakan masuk agama Islam. Setelah itu mereka pun dibebaskan dari tempat tawanannya. Mereka kemudian diajar bertani, diajar bahasa, adat istiadat dan kebudayaan Aceh, dan belajar menjadi orang Aceh. Dan jadilah mereka penduduk Aceh hingga sekarang.
Kalau melihat warga Lamno yang bermata biru atau coklat dan berprofil Eropa ini, tak salah kalau pakar sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Muhammad Gade, mengatakan ejaan lama kata "ATJEH" mempunyai makna, Arab (A), Tjina (Tj), Eropa (E), dan Hindustan/India (H). Maka orang Aceh yang sekarang, sebagian besar adalah keturunan Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan.
Kerajaan Islam pertama adalah Pasai (Pase) berdiri pada abad ke- 9. Pase yang sekarang tepatnya berada di kawasan pantai Samudera Gedong, sekitar 25 km dari Lhok Seumawe arah ke Medan. Di sini masih dapat disaksikan bekas-bekas bandar besar dan sebuah kompleks makam besar keluarga Sultan Pase (Sultan Malikussaleh). Tanah sekitar Bandar Pase ini hingga sekarang banyak mengandung pecahan keramik kuno Cina yang diperkirakan dibawa oleh kapal-kapal Cina yang kemudian juga terlibat perang dengan Kerajaan Pase.
Kerajaan Pase, Daya dan Pedir (Pidie), dan Lamuri kemudian bersatu menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1513 di bawah Raja Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Lamuri. Ketika Kerajaan Pase diperintah Sultan Zainal Abidin (tahun 1511), tentara Portugal sebelum berperang melawan Kerajaan Melaka, sempat menyerang Kerajaan Pase.
Menurut Ali Akbar, Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Cabang Kabupaten Aceh Utara, semua peristiwa itu masih dapat dibaca tertulis dalam aksara Babilonia, Arab, dan Turki kuno pada beberapa batu nisan besar Kompleks Makam Sultan Malikussaleh, Raja Pasai (Pase).
***
TIDAK heran kalau orang yang pernah datang ke kawasan Daya Lamno ini akan bertemu dengan banyak sekali wajah-wajah cantik pria dan wanitanya. Mereka bermata biru atau coklat, berkulit putih, berambut pirang, hidung mancung dengan profil jangkung tubuh Eropa. Membuat mereka berbeda dengan orang Aceh lainnya.
Perbedaan menyolok ini membuat warga turunan Portugis di Lamno Aceh Barat, terutama wanitanya menjadi pemalu. Padahal mereka adalah orang Aceh juga, menggunakan bahasa Aceh yang pasih, dan juga pemeluk Islam yang taat beribadat. Namun, mereka bukanlah warga yang sombong, sikap malu hanya muncul jika mereka didatangi oleh orang asing yang belum mereka kenal saja.
Oleh karena itu, adalah sulit sekali mengajak mereka berbicara, kalau tidak didampingi oleh salah seorang tokoh desanya. Jarang sekali bisa mendapat kesempatan untuk memotret wajah-wajah gadis Lamno yang cantik itu. Mereka selalu lari menghindar jika ada yang hendak mengambil foto dirinya.
Menurut cerita begitu pemalunya warga Lamno bermata biru turunan Portugis ini hingga mereka hanya bergaul dalam kelompok mereka atau dengan orang desa yang mereka kenal saja. Perkawinan pun hanya terjadi sesama turunan Portugis. Tetapi, belakangan ini karakter malu itu mulai berobah karena akhirnya mereka menyadari bahwa mereka adalah orang Aceh juga.
Hingga ada juga satu atau dua gadisnya yang mau menikah dengan warga Lamno lainnya, dan bahkan banyak juga yang berhasil diboyong orang Aceh lainnya. Memang hingga sekarang sulit sekali mempersunting gadis Lamno ini dan mereka memang wanita-wanita berwajah cantik yang taat sekali beribadat, dan kebanyakan mereka belajar di sekolah-sekolah Agama Islam atau Pesantren dan kemudian melanjutkan kuliahnya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Banda Aceh.
Adat istiadat warga Lamno bermata biru ini tak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Bahasa Aceh mereka, logat, maupun aksen, serta pengucapannya sama dengan bahasa Aceh biasa dan berlogat Aceh Barat. Menu makanan, dan makanan khasnya adalah makanan khas Aceh, seperti kari, dan masakan Aceh lainnya. Dan nasi merupakan makanan utamanya.
Seorang pemilik rumah penginapan di Lamno menceritakan pada hari-hari pasar mingguan, wanita dan pria bermata biru ini datang ke Pasar Lamno untuk belanja. "Kalau mau melihat mereka, saat itulah," kata pemilik Losmen Lamno. Tapi jarang yang mau difoto. Maka untuk mendekati pria atau gadis Lamno bermata biru sebaiknya melalui kepala desa atau tokoh-tokoh Desa Daya yang biasanya lebih terbuka dengan masyarakat luar.
Di Desa Daya juga terdapat sebuah bukit kompleks Makam Marhum Daya. Di batu-batu Nisannya terdapat catatan-catatan sejarah yang tertulis dalam aksara Babilonia dan Arab. Kompleks Makam Marhum Daya ini terpelihara dengan baik dan selalu ada yang berziarah dan membaca ayat-ayat suci Al Quran. Juga banyak yang datang karena tertarik pada sejarah kebesaran Kerajaan Daya.
***
ADA tradisi yang cukup menarik dalam masyarakat Daya yang juga diikuti oleh warganya yang bermata biru, yaitu perayaan adat Seumeulueng (suguhan makanan) untuk raja dan juga semua rakyat Daya. Perayaan Seumeulueng ini berlangsung pada setiap Hari Raya kedua Idul Adha.
Pada hari tersebut, seluruh rakyat Daya dengan dikawal oleh 17 pengawal yang berpakaian unik yakni, jubah hitam dengan kepala dan wajah tertutup oleh kerudung hitam sampai ke dada bagian atas, hanya berlubang pada bagian mata untuk melihat. Jubah itu bergaris-garis merah, dan pasukan pengawal kerajaan itu semuanya mengenakan pedang.
Rakyat yang berjalan dibelakangnya membawa hidangan makanan untuk raja. Tempat upacaranya berada di atas sebuah bukit tak jauh dari kompleks Makam Marhum Daya. Karena Raja Daya tidak ada lagi, maka yang menerima hidangan itu adalah salah seorang dari tokoh masyarakat Daya atau bisa juga salah seorang pejabat Kabupaten Aceh Barat yang dihormati rakyatnya.
Hari itu semua warga Daya keluar dari rumahnya dan mereka mengenakan pakaian yang baru yang indah-indah sebagai tanda ikut merayakan hari Seumeulueng. Upacara ini selalu ramai karena masyarakat Lamno, Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, dan juga dari Banda Aceh, datang untuk menyaksikan acara langka dan unik itu.
Semua kegiatan adat Seumeulueng itu jika dikemas dalam satu paket wisata, ditambah dengan situs Kerajaan Daya yang masih tersisa, termasuk Kompleks Makam Marhum Daya yang penuh relief beraksara Babylonia, Turki, dan Arab kuno, akan menjadi daya tarik tersendiri.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Aceh Ramli Dahlan, setiap tahun ada turis dari Eropa, di antaranya banyak dari Portugal yang datang ke Lamno sebagai turis. Mereka datang ke bekas Kerajaan Daya itu untuk menyaksikan orang-orang Aceh bermata biru di sana. Di antaranya terdapat peneliti sejarah yang telah mendapat izin dari Pemda Aceh untuk mengadakan penelitian.
Pemda Aceh Barat memang berupaya menghidupkan daerah Lamno sampai Lageun menjadi daerah tujuan wisata (DTW) Aceh Barat. Di Lageun bahkan telah dibangun rumah-rumah panggung bergaya Aceh untuk disewakan kepada wisatawan mancanegara. Selain rumah-rumah panggung yang dilengkapi dengan ruang tidur, ruang tamu, dan dapur, juga di kompleks pantai Lageun itu telah dibangun sebuah restoran besar bergaya Aceh. Pemda Aceh Barat juga berniat mencari investor membangun sebuah hotel berbintang di kawasan pantai antara Kuala Daya sampai Lageun.
Menurut catatan sejarah yang ada di Pusat Dokumentasi Induk Aceh (PDIA), Marco Polo dalam petualangan pelayaran keliling dunianya tahun 1292-1295 pernah singgah di Kerajaan Daya. Marco Polo kemudian menuliskan kebesaran Kerajaan Daya itu dalam bukunya Far East yang menceritakan tentang kebudayaan bangsa Indo Cina, Lamno Aceh, dan orang-orang Banda Maluku Tengah. (Basri Daham)