Friday, October 14, 2005

Kegiatan-kegiatan menjadi rutin sekarang. Day in, day out. Manusia-manusia baru berdatangan, berseliweran sebentar, menghilang. Atau petinggi-petinggi organisasi yang datang dari berbagai penjuru, mengumpulkan orang-orang (ada rapat penting!), mendesingkan fatwa dan nasehat tentang pentingnya apa yang sedang dilakukan sekarang. Bla-bla-bla. Keluar dari ruangan sehabis meeting, kayaknya semua orang melupakan apa yang barusan didengarnya
Selama bulan puasa, kegiatan tetap berjalan sebagaimana semula. Semua sektor berjalan pada kecepatan yang tertinggi, mempersiapkan semuanya agar beres sebelum liburan massal selama 10 hari dimulai. Kami tetap kelapangan mengambil dan menganalisa sampel-sampel air. Hari ini di kamp pengungsi ini, besok di barak pengungsi sana. Lusa di desa anu. Begitu seterusnya.
Liburan massal akan dimulai pada tanggal 28 Oktober 2005, sampai dengan tanggal 7 November 2005. Bisa dipastikan, semua manusia lokal yang beragama Islam akan menghilang dari tempat pekerjaan. Bahkan yang berasal dari pulau Jawa mulai sekarang sudah mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi cuti. Mengurus cuti dengan bagian personalia, mengurus transportasi dan lain sebagainya. Saya sendiri tidak ambil pusing, toh dekat saja. Kapan saja saya bisa menghilang ke kampung halaman.
Hari ini kembali kami menuju ke Arongan Lambalek, untuk mengambil sampel air dari beberapa lokasi pengungsi. Tujuan kami adalah ke Cot Buloh, Seuneubok Teungon, Kubu dan lokasi pengungsi lainnya di Arongan. Perjalanan terasa lebih mudah sekarang, walaupun ada beberapa tempat di daerah Samatiga yang tetap harus melewati pasir pantai dan medan lumpur.
xxxxxxxx
Medan berat di daerah Suak Seuke, Samatiga
xxxxx
Disuatu lokasi pembangunan perumahan, kami amati proses pembongkaran batu-bata yang dilakukan dengan sepenuh hati: secara serampangan. Biasanya dimana-mana (termasuk di Aceh, juga di Aceh Barat) pembongkaran batu batu dilakukan dengan hati-hati, batunya disusun rapi, mengingat kondisi batu bata yang gampang patah. Tetapi yang ini agak berbeda. Membongkar batu-bata sama seperti membongkar pasir, atau batu koral. Mungkin maksudnya supaya cepat selesai, tanpa mempertimbangkan banyak batu-bata yang pecah dan hancur karena dilemparkan. Atau dikarenakan ada orang lain yang mendanai? Coba kalau uang sendiri. Pasti pemilik atau bertengger di samping truk untuk memastikan setiap keping bata yang dia beli dibongkar dalam keadaan tidak kurang sesuatu apapun. Pemilik rumah yang dibangunpun tidak banyak mulut, cukup tau diri, karena bukan dia yang membayar semua ini. Kalaupun dia protes, paling jawabannya sangat memuaskan, "Ah, ditempat lain juga begini cara membongkarnya! Tidak ada yang ribut!". Supervisor proyekpun hanya berkeliaran saja, tanpa protes apa-apa, kelihatannya. Ketiga salah satu dari kami berteriak supaya batu-batanya dibongkar dengan cara lebih baik dan disusun rapi, mereka hanya menengok saja, saling pandang sebentar, dan meneruskan pekerjaannya seperti biasa (lokasi tersebut adalah lokasi kerja CRS). Mungkin pada pendengaran mereka apa yang diteriakkan kami adalah dalam bahasa asing yang tidak dipahami mereka? Atau mereka berpendapat, walaupun sama-sama satu organisasi, supervisor mereka saja tidak protes tentang apa yang mereka lakukan.

Proses pembongkaran batu-bata di salah satu lokasi perumahan

--------------
Sikap masyarakat akhir-akhir ini mulai berbeda tentang kehadiran NGO, baik lokal ataupun internasional. Saaangat berbeda dibandingkan masa-masa bulan Maret - Juni. Apa yang kami amati pada saat kami mengambil sampel air di salah satu lokasi pengungsi, kami diteriaki (dalam bahasa Aceh) -- "Ini dia datang lagi! Apa lagi yang kalian perlukan?" --- dimasa-masa awal --"Apa yang kalian tawarkan untuk membantu kami?" --- kira-kira seperti itu. Atau seperti ini "Mudah-mudahan ini yang terakhir! Capek aku memberikan data ini itu, tanpa hasil! Bikin sibuk orang saja!". Ada juga yang tidak terlalu kejam, "Sudah dua puluh lima proposal kami buat ke organisasi ini, organisasi anu. Setiap kami mencoba memohon sesuatu, manusia yang kami temui selalu berpesan untuk menyiapkan proposal! Proposal! Jangan-jangan proposal kami digunakan untuk kepentingan dia sendiri!". Setelah kami tanyai, ternyata yang mereka coba minta adalah sebuah genset kecil untuk menghidupkan pompa air pada saat listrik tidak nyala pada siang hari, sehingga air bersih tetap tersedia setiap saat.
Kedengarannya agak berlebihan, tetapi memang berlebihan.
Waktu saya kebetulan ke Lhok Nga (sekitar Banda Aceh), penduduk pengungsi setempat mengungkapkan kegeramannya kepada staff NGO, terutama yang lokal. Berkeliaran di kalangan warga pengungsi dengan gaya luar biasa, alat-alat canggih bergantungan di badan (rata-rata mempunyai kalung gantungan USB flash disk). Apa yang dia keluhkan lebih-lebih terhadap kenderaan dan gaya mengemudi pengemudi NGO-NGO. Dengan kenderaan 'mewah'nya, mereka ngebut melewati lokasi penduduk dengan kecepatan yang tidak berkurang - menimbulkan debu dan kekhawatiran akan terjadinya kecelakaan. "Makanya sekarang kami pasang kayu-kayu ini, sehingga kenderaan yang lewat terpaksa mengurangi kecepatannya", ungkapnya. Ide bagus juga.
Kami juga pernah mengamati dua kenderaan yang berpapasan di lorong sempit yang saling tidak mau mengalah. Truk besar (mirip reo) masuk dari jalan besar, dan tidak mungkin mundur lagi, karena lalulintas agak padat. Double cabin, karena merasa dia sudah di ujung jalan, dia yang berhak lewat duluan, jadi dia merasa benar dalam perselisihan ini. Double cabin itu mendesak terus untuk maju, sementara di belakang dia ada tempat kosong untuk mundur. Truk jelas-jelas tidak bisa mundur, karena langsung masuk ke jalan besar yang ramai. Setelah diteriaki (dan digoblok-gobloki) oleh orang-orang di warung, baru dia bersedia mundur dan memberi jalan kepada truk tersebut untuk lewat. Dengan muka ketat dan kejam, tentu saja. Yang menjadi catatan saya di sini, truk tersebut milik suatu organisasi besar yang bekerja di Meulaboh (truknya juga besar -- tidak ada hubungannya). Tetapi yang membuat supir double cabin tersebut sangat percaya diri, dia bekerja pada organisasi yang LEBIH BESAR, bahkan SANGAT BESAR di planet bumi ini. Jadi, dengan nama SANGAT BESAR di belakangnya, dia merasa berkuasa untuk bertindak lebih. Itulah orang kita (orang ACEH!---eh, saya juga orang Aceh).
Tidak semua NGO seperti itu, memang, sekaligus mudah-mudahan.
Janji-janji juga bikin masalah. Bertemu dengan satu-dua-atau sekelompok masyarakat, tanya-tanya-tanya, catat-catat-catat, foto-foto-foto. Dan janji. Janji-janji memang akan terpenuhi, mudah-mudahan. Setelah sekian lama, janji belum terselesaikan juga. Masyarakat menagih ke kantor. "ooo, tolong dibikin proposalnya ..."
Tidak semua NGO seperti itu, memang, sekaligus mudah-mudahan.

No comments: