Wednesday, October 05, 2005

Marhaban, ya Ramadhan ...

Bulan Ramadhan kali ini terasa berbeda. Puasa dijalani dalam suasana berduka, dalam ketidakhadiran sanak saudara yang menjadi korban dalam musibah beberapa bulan yang lalu. Sekaligus juga dalam suasana gembira dikarenakan akan pengharapan perdamaian tercipta pasca perjanjian Helsinki. Bagi saya, inilah bulan puasa pertama dalam sepuluh tahun terakhir ini yang dijalani di Aceh. Suasana berbeda sekali dibandingkan dengan masa-masa awal saya kembali ke Aceh. Tidak ada lagi pemeriksaan KTP di pos-pos militer, beragam pertanyaan yang harus dijawab dikarenakan KTP saya bukan merah-putih.
Seperti biasanya, masyarakat Aceh mengawali puasa dengan hari meugang, yang dimulai dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Setiap keluarga pada hari meugang mengupayakan ada daging di rumahnya. Di mana-mana orang menyembelih sapi dan kerbau. Harga daging yang membumbung tinggi (kesempatan!) tidak mengurangi minat masyarakat untuk membawa pulang sekilo dua kilo daging untuk keluarganya. Yang lebih mampu membawa lebih: tungkai sapi atau kerbau, kadang-kadang kepala kerbau (lengkap dengan tanduknya!). Kesibukan di dapur rumah-rumah luar biasa.
Malamnya menjalani salat taraweh di meunasah-meunasah atau di mesjid-mesjid. Suasana bulan puasa sangat terasa. Tidak ada orang yang berkeliaran (terutama di kampung). Yang tidak ikut shalat taraweh berdiam diri di rumah menunggu taraweh selesai, baru keluar untuk berkumpul rame-rame di pos jaga (di kampung-kampung di Pidie, pos jaga dari dulu sudah menjadi tempat publik untuk berkumpul dan berinteraksi) atau diwarung-warung kopi yang buka sampai subuh. Mereka mengobrol ngalor ngidul atau menonton televisi (di kebanyakan rumah tangga di kampung-kampung, televisi masih merupakan barang mahal. Warung-warung kopi memasang televisi dan antena parabola untuk menarik pengunjung). Yang lebih taat melaksanakan tadarus Quran di Mesjid atau di meunasah.
Ada kebiasaan yang terus berlangsung baik di kampung atau di kota: acara buka puasa bersama. Dikampung saya, penganan untuk berbuka disediakan oleh setiap rumah tangga secara bergilir. Hari ini lima rumah menyediakan kue-kue berbuka, besok lima rumah yang lain. Kalau semua sudah dapat giliran, putaran dimulai lagi dari awal. Minuman berbuka puasa disiapkan tiap hari di meunasah, dengan dana gotong royong dari masyarakat. "Ie bu lada", merupakan sejenis minuman dengan komposisi rempah-rempah dan daun-daunan dengan rasa pedas menyegarkan. Setiap sore, mulai sekitar jam tiga, seorang petugas yang ditunjuk sudah mulai melakukan persiapan untuk memasak. Karena harus cukup untuk memenuhi kebutuhan orang sekampung, memasak dilakukan dalam kancah besar. Sekitar jam lima, anak-anak mulai berdatangan dengan membawa teko ataupun tempat lainnya untuk mengambil "ie bu" untuk dibawa pulang (untuk kebutuhan kaum perempuan dan mereka yang tidak berbuka puasa di meunasah). Mereka yang kena giliran menyediakan penganan berbuka juga sudah datang dan mengantarkan kue-kue ke meunasah.
Sekitar jam enam sore, warga laki-laki mulai berdatangan ke meunasah untuk berbuka bersama. Makanan dibagikan dalam lembaran-lembaran daun pisang, jumlahnya harus cukup untuk semua orang yang hadir (pengalaman saya sewaktu masih dikampung, tidak pernah kurang, malah sering lebih dan tertinggal). "Ie bu" disediakan dalam berbagai wadah, tetapi yang paling disukai dalah dalam terpurung kelapa (yang sudah dibersihkan tentunya). Rasanya lebih "keluar".
Jenis minuman lainnya yang disiapkan di meunasah adalah "ie bu kanji" atau sering juga disebut dengan "kanji rumbi". Ini jarang, paling dua tiga kali saja dikarenakan membutuhkan biaya yang lebih mahal (walaupun ada juga desa yang tiap hari menyiapkan "ie bu kanji" untuk warganya). Rasanya seperti kari yang encer, dengan komposisi daging (ayam, itik, kambing, sapi atau lembu) yang dicacah sangat halus, rempah-rempah, beras dan lain-lainnya. Saya sendiri tidak suka dengan "ie bu kanji" ini.
Pada hari-hari tertentu di bulan Ramadhan, seperti tanggal 17, 21, 27 acara berbuka puasa tidak dengan makanan kecil, tetapi dengan nasi dan lauk-pauknya. Semua rumah tangga akan mengantar nasi dalam baskom besar, lauk-pauk disiapkan dalam rantang susun tiga atau empat (tergantung kemampuan). Penduduk kampung yang laki-laki akan memenuhi meunasah untuk berbuka puasa bersama.
Begitu juga malam hari. Setiap tamat Quran, petugas ("Peutua Meunasah") akan meminta beberapa keluarga (yang kena giliran) untuk menyiapkan nasi dan lauk-pauknya untuk dimakan bersama oleh penduduk kampung yang laki-laki di meunasah (biasanya acara makannya sekitar jam 10 - 11 malam). Acara ini berlangsung beberapa kali di bulan Ramadhan, setiap tamat Quran. Biasanya, kami dulu sehabis acara tamat Quran ini langsung tidur (bulan puasa kebanyakan yang lajang tidur di Meunasah) dan bangun pas subuh. Sahur sudah dicukupi dengan makanan dari acara tamat Quran semalam.
Penduduk yang di rantau bisanya menyempatkan diri pulang di bulan Ramadhan, terutama di awal bulan (istilahnya "tueng puasa"). Ini merupakan kesempatan untuk bersilaturrahmi dengan warga kampung yang kadang sudah bertahun-tahun tidak saling berjumpa. Suasana kampung menjadi ramai dan meriah, sore-sore sudah ramai warga di meunasah ataupun pos jaga, saling berinteraksi.
Di Banda Aceh, perjual makanan berbuka puasa sangat banyak. Mereka memasang lapak-lapak darurat, bahkan kadang-kadang hanya meja tanpa atap di pinggir-pinggir jalan utama. Tidak heran jika jalanan menjadi macet setiap sore hari. Kue-kue ataupun makanan tradisional yang jarang ditemui di hari-hari biasa, bermunculan di bulan puasa. Favorit kami adalah "mie caluek", mi lidi dengan kuah kacang (seperti kuah gado-gado). Banyak yang menjual "mie caluek" ini (di hari-hari biasa, sangat jarang, kecuali di kampung - terutama di Pidie yang banyak peminatnya. Di daerah lain, saya kurang tahu).

Selamat menjalankan Ibadah Puasa untuk semuanya.

No comments: