Saturday, September 10, 2005

Pisang goreng ...

Kami – saya dengan Juanto – sangat menyukai pisang goreng. Walaupun sama-sama pisang yang digoreng, pisang goreng Meulaboh khas sekali. Dibelah tipis-tipis membentuk kipas, keras setelah digoreng, dengan rasa tepung yang berbeda, khas sekali seperti halnya pisang goreng dari daerah Aceh lainnya. Hampir setiap sore seusai jam kerja kami ke pondok pisang goreng di ruas Jalan Meulaboh – Tutut. Pisang yang sudah digoreng ditumpuk membentuk gundukan tinggi dalam talam besar, terpisah antara pisang dan tempe. Tidak ada ubi, ketela ataupun lainnya. Hanya pisang dan tempe. Sebagai minumnya disediakan bandrek, dengan rasa pedas segar, enak sekali diminum panas-panas. Bagi lidah orang Medan seperti Juanto, pisang goreng dan bandrek Meulaboh merupakan sesuatu yang baru. Jarang di Medan kita bisa memenui pisang yang digoreng dengan gaya seperti di sini. Rata-rata lembek berminyak, yang akan menjadi semakin lembek setelah dingin. Berbeda dengan pisang goreng disini, tetap tinggal keras setelah dingin, dan tidak berminyak. Pengunjung pondok pisang goreng tersebut ramai, harus mengantri kadang-kadang, terlebih lagi pada saat hujan dan cuaca dingin. Setelah beberapa kali kesitu, kami sudah dianggap pengunjung tetap. Tempat duduknya hanya sepotong papan tebal yang diberi kaki, membentuk huruf L yang melingkari meja dimana semuanya terletak: pisang yang akan dibelah, yang sudah dibelah, yang sudah masak. Hanya tepung dan sambal yang diletakkan ditempat lain. Disitulah pengunjung duduk, makan dengan nikmat, tanpa memperdulikan pengunjung lain yang mengantri.
Ada tiga orang ibu-ibu yang melayani pembeli: satu orang membelah pisang dan mempersiapkan bumbu, satu orang menggoreng, satu lagi melayani pembeli. Perhiasan mereka menunjukkan kesuksesan dibidang bisnis pisang goreng: kalung emas sebesar kelingking Juanto yang melingkari leher, gaya berjalan yang miring karena sebelah tangan menanggung beban berat gelang emas dan cincin. Nampaknya perempuan-perempuan di Meulaboh sangat gemar memakai perhiasan, terutama yang terbuat dari emas.
Pisang gorengnya dimakan dengan sambal dengan rasa yang sangat khas, dan memperkuat rasa pisang gorengnya sendiri. Kami sudah mencoba makan pisang goreng di beberapa tempat lainnya di Meulaboh, tetapi selalu kami kembali ke pondok ini. Tidak ada rasa pisang goreng dan sambalnya yang menyamai di pondok goreng tersebut.
Kadang kami ajak kawan lain, paling sering Hidayat. Sekali saya bawa Jamie kesitu untuk minum bandrek dan makan pisang goreng. Rasa bandrek yang pedas dan panas membuat Jamie berdesis-desis kepedasan dengan mata berair. Ibu yang melayani pembeli memberi sejumput garam untuk ditaruh dibawah lidah, dan sekejap kemudian penderitaan Jamiepun berakhir. Pisang gorengnya enak sekali, katanya. Baru sekali ini ia makan pisang goreng sebaik ini.
Kalau hari hujan dan kami tidak bisa ke pondok goreng tersebut, sementara keinginan untuk makan pisang goreng semakin meningkat, biasanya kami menyusuh petugas security untuk ke tempat tersebut. Sepuluh ribu rupiah sudah cukup untuk membuat beberapa orang kekenyangan dengan pisang goreng.
Setelah bulan puasa, pondok tersebut lama tutup. Tukang-tukang bekerja merenovasi tempat tersebut menjadi lebih bagus. Setelah dibuka kembali lebih kurang sebulan kemudian, pada saat pertama kembali ke tempat tersebut, kami merasa ada yang kurang. Makan pisang goreng di tempat tersebut tidak lagi semenarik dulu pada perasaan kami. Mungkin kami lebih menginginkan makan disamping kompor yang menderu-deru, berdesak-desak pada bangku yang sempit, sambil hati-hati memegang gelas berisi bandrek yang panas mendidih karena takut tersenggol dan tumpah. Ataupun tempat yang sekarang sudah jauh lebih bagus dan lapang, dengan kursi-kursi yang jauh lebih nyaman dibandingkan dengan sepotong papan yang diberi kaki, membuat suasana yang asing bagi kami. Pada akhirnya, kunjungan kami ke situ semakin jarang, sampai akhirnya terhenti sama sekali, terlebih lagi karena kami sudah menemukan pondok goreng baru dengan rasa pisang goreng dan sambal yang lebih enak bagi lidah kami di Jalan Nasional.

No comments: