Thursday, July 21, 2005

Meulaboh, Mei 2005
9 Mei 2005. 12:30 malam. Angin kencang disertai hujan deras kembali melanda kota Meulaboh. Suara angin yang menderu-deru, disertai dengan hantaman butiran hujan ditambah dengan suasana gelap karena PLN mati membuat suasana menjadi mencekam. Kami yang tinggal di Guest House CRS no 4 dibangunkan oleh sekuriti supaya berhati-hati. Ini adalah yang kedua kalinya semenjak tsunami badai melanda kota Meulaboh. Kami berkumpul diteras rumah, mengamati suasana. Suara mesin pembangkit listrik yang dihidupkan oleh salah seorang sekuriti mengalahkan deru angin (suara mesinnya sangat bising). Terdengar bunyi yang keras, dan dalam cahaya senter kami menengok parabola di rumah tetangga depan terputar oleh angin yang kencang, sebelum akhirnya terkulai. Saya terpikir akan mereka yang harus melewati hari-harinya di tenda-tenda, dalam suasana badai yang seperti sekarang ini. Apalagi ada kekhawatiran akan datangnya air laut, karena sekarang ombaknya lagi besar (tadi sore saya ke pantai di Kuta Padang, dan mengamati ombak-ombak yang tingginya kadang mencapai ketinggian sampai satu setengah meter).





Kantor CRS Meulaboh

CRS Meulaboh Field Office merekrut orang dari berbagai bangsa. Semuanya kebanyakan berlatar belakang pekerja social yang sudah malang melintang di dunia LSM. Direktur kantor, Berhe Twelodeberhan, berasal dari Sudan, seorang pria setengah baya yang botak (tetapi saya tetap yakin bahwa rambutnya adalah keriting, seandainya ada). Wakilnya, seorang wanita beranak tiga yang berasal dari El Salvador yang kini menetap dan sudah menjadi warga Negara Amerika Serikat. Dia sangat peka dengan keadaan. Saya sudah dua kali mendampingi dia mengunjungi lokasi kerja CRS dan ke kamp-kamp pengungsi, sebagai penerjemah tidak resmi. Menengok anak kecil, dia langsung mencoba untuk menyentuh. Banyak pertanyaan yang diajukan langsung (melalui saya atau orang lainnya) mengenai segala hal. Keluarga tersebut sudah mendapat bantuan apa saja, apa yang masih kurang, anak-anak sekolah dimana, dan seterusnya. Atasan saya langsung, manajer Water and Sanitation Department, Ross Tomlinson, berasal dari Inggris. Dia adalah seorang pria kurus berkacamata berumur tiga puluhan, yang alergi dengan segala hal. Sebentar-sebentar dia mengeluarkan saputangannya yang nyaris kayak handuk untuk menyapu hidungnya. Dengan dia, saya seperti bicara dengan James Bond 007. Logat Inggrisnya sangat kental, walaupun dia sudah bertahun-tahun menghabiskan waktu di luar negaranya. Dalam hal kerja, menurut saya dia agak otoriter. Sudah hampir dua bulan saya bekerja sama dengan dia (dan tim lainnya), hampir tidak pernah dia meminta pendapat anggota tim. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya mengenai pengadaan alat-alat laboratorium yang memicu perdebatan sengit (karena saya dang kawan dari tim Water Quality Monitoring mencoba mengajukan pengadaan spektrofotometer yang lebih bagus dari yang dia pilih, dengan harga yang lebih murah).
Ada juga staff perempuan yang berasal dari Vietnam, yang mengungsi keAmerika Serikat sewaktu masih bocah dikarenakan perang. Sekarang dia dan adik laki-lakinya sudah menjadi warga Negara USA. Berdasarkan pengalaman masa kecilnya yang sangat memprihatinkan, dia memutuskan menjadi pekerja social membantu mereka yang membutuhkan dikarenakan bencana, baik karena alam ataupun karena manusia. Dia sudah menjalankan banyak misi di banyak Negara (kebanyakan Negara berkembang yang miskin).


Ada juga staff yang berasal dari Australia, dari New Zealand, dari Afrika Selatan, dari India, dari Filippina dan juga dari Amerika Serikat. Saya sering berkomunikasi dengan mereka, selain untuk mencoba mempelajari bahasa Inggris dalam berbagai logat dan dialek, juga mendalami hal-hal lainnya yang mereka ahli di dalamnya.

Tim kami, Water and Sanitation juga terdiri dari berbagai suku. Tiga orang berasal dari suku Batak, bermarga Tarigan, Sebayang dan Haloho. Si Tarigan setelah sebulan bergabung memutuskan untuk berhenti. Yang saya dengar, ada ketidak cocokan antara dia dengan manajemen CRS Indonesia. Empat orang lainnya berasal dari Jawa. Hanya saya seorang yang berasal dari Aceh. Satu orang beragama Khatolik, tiga orang beragama Kristen, tiga orang beragama Islam dan satu orang beragama Budha.


The Watsan Boys, Mei 2005

Sekali waktu saya berbincang-bincang dengan Carolina Castrillo, wakil direktur CRS Meulaboh yang berasal dari El Salvador. Negara dia adalah Negara berkembang yang miskin. Dengan sekitar 40% penduduk miskin, dan pertikaian politik yang terus berlangsung, banyak warga Negara tersebut yang beremigrasi ke Negara-negara lain. Favorit mereka adalah Amerika Serikat. Banyak yang berhasil di rantau, menjadi warga Negara di tempat yang baru, dan tidak pernah kembali ke negaranya lagi. Perang saudara terus berlangsung, rata-rata setiap hari sembilan orang mati terbunuh. “Aneh rasanya. Saya merasa tidak aman di negeri saya sendiri. Di Aceh ini, yang juga tengah bergolak, saya justru merasa aman”, katanya. Saya juga bercerita mengenai kondisi Aceh yang kondisinya carut marut berkelanjutan, ditambah dengan bencana dahsyat yang lalu.

Mulai tanggal 9 Mei 2005 acara makan siang di kantor ditiadakan. Selama ini, semua staff mendapat jatah makan siang di kantor. Bagi mereka yang tidak sempat pulang pada jam makan siang dikarenakan lokasi kerjanya yang jauh, diganti dengan uang makan. Setiap makan siang terjadi hukum-semi-rimba. Siapa cepat datang dan duluan memegang piring, dia akan mendapat jatah yang paling baik. Yang terlambat, harus berpuas diri dengan sisa-sisa makanan yang tertinggal dan beberapa lembar sayur yang berenang-renang dalam kuah. Kadang jatah makan untuk para bulepun dikipas juga oleh makhluk-makhuk kelaparan yang buas-buas (makan untuk bule/orang asing ditempatkan di meja terpisah, walaupun tidak ada yang melarang untuk makan di situ). Saya sendiri juga tidak jauh berbeda dengan mereka. Setelah beberapa hari pada masa awal mencoba bersikap sopan sambil mengintai situasi, setelah itu saya selalu berusaha datang cepat pada saat jam makan siang. Setelah memenuhi piring dengan segala hal yang saya perlukan untuk memenuhi perut lapar, mengisi gelas dengan air dingin yang tersedia, kami menuju pojokan yang aman dikantor untuk menikmati makan. Dari jauh kami bisa mengamati gerombolan yang berebut saling duluan mengambil makanan di meja makan di dapur.

Akhirnya alat-alat laboratorium air kami tiba. Terbungkus dalam satu kotak karton luar biasa besar, alat itu datang dari Medan dengan truk. Rencananya, alat tersebut akan ditempatkan di Dinas Kesehatan Meulaboh, yang nantinya akan kami operasikan untuk kepentingan siapapun yang membutuhkan, sambil melatih pegawai Dinas Kesehatan untuk mengoperasikan alat tersebut. Seperti saya duga sebelumnya, alat tersebut hanya bisa menganalisa parameter-parameter kimia dalam air dalam data persentase transmitansi (bukan dalam bentuk angka pasti seperti yang kita kenal). Misalnya, kandungan besi dalam air bacaannya adalah 68% Untuk mengetahui angkanya harus lihat tabel dulu. Entah boss kami sudah lupa dengan apa yang dia ucapkan sebelumnya, dia menanyakan tentang alat yang bisa menganalisa parameter tersebut dalam bentuk angka pasti. Kami tunjukkan kembali gambar spektro Hach DR 2400 yang kata dia kurang bermutu. “Never mind”, katanya dengan muka merah dan meninggalkan kami.

Setiap Jumat sore Unicef mengadakan meeting koordinasi dengan semua NGO dan lembaga pemerintah yang terkait dengan masalah air dan sanitasi. Saya sudah dua kali menjadi penerjemah di meeting tersebut karena atasan saya yang memimpin meeting. Namanya juga meeting rutin (ingat saja meeting Water Saving Program di tempat kita setiap Rabu pagi), hanya beberapa minggu pertamanya saja suasananya serius.

Masalah yang paling hangat saat ini adalah masalah sumur bor. Hampir semua NGO yang punya sektor Water and Sanitation pasti punya proyek pengadaan sumur bor untuk masyarakat. Mercy Corps misalnya, sudah melubangi 25 tempat di wilayah Aceh Barat dan akan terus bertambah. CRS sendiri seharusnya juga sudah membuat banyak lubang, tetapi karena terlalu banyak berpikir sebelum memutuskan, area kerjanya dibor NGO lain, sehingga sampai sekarang baru tiga sumur bor yang sukses dilaksanakan. NCA dan CWS (dari Norwegia) juga sudah banyak membikin sumur bor. Karena masalah-masalah bor tersebut (menurut pemerintah, itu pengeboran liar), pemerintah akhirnya melakukan penertiban. Semua proyek pengeboran harus mendapat izin (tetapi isi suratnya adalah rekomendasi) dari Bupati Aceh Barat melalui Dinas Pertambangan. Surat permohonannya bagi orang asing isinya lucu: “Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama ______, tempat/tanggal lahir ______, pekerjaan _______, alamat_________,dengan ini memohon izin untuk melakukan pengeboran sumur di ____ dan seterusnya”. Kira-kira seperti itulah.

Dikantor CRS, fasilitas komunikasi telepon melalui Telkom fleksi dan telepon satelit. Akses internet melalui saluran sendiri dan wireless dengan bandwidth yanng sangat besar (saya pernah mendownload file dengan kecepatan 1024 kbps!). Rata-rata setiap staff mencapat fasilitas notebook yang cukup lumayan. Saya mendapat notebook HP DV1032AP, dengan spesifikasi yang bagus: intel mobile centrino, DVD drive dengan CD RW, card reader untuk SD, XD, MMC dan CF card, USB, WiFi, dsb. Akses internet tersedia untuk setiap komputer. Yang terjadi dikantor selain pekerja serius yang betul-betul bekerja adalah ini: jam 10:00 pagi sekali waktu pada saat semua sibuk dibelakang meja dengan komputer menyala, iseng-iseng saya mengintip kerja orang-orang. Kawan saya satu Tim (water quality monitoring) sedang mengirimkan lamaran kerja melalui e-mail ke salah satu perusahaan di Jakarta. Atasan kami, Ross, sedang mengirim e-mail pribadi ke kawannya entah di mana. Kawan lainnya sedang berusaha mengakses situs porno. Yang lainnya sedang chatting dengan kawan maya. Seorang Staff Department Relief sedang melakukan internet banking. Direktur kantor nampaknya sedang merenungi sesuatu yang sangat serius, tetapi siapa yang tahu entah apa yang sebenarnya yang sedang dipelototinya. Saya sendiri? Seperti biasanya. Mengakses situs-situs yang berhubungan dengan hobi saya di internet: fotografi dan audio, buku gratis, mengedit foto-foto yang saya ambil, dan juga mengirim e-mail ini. Just another day. Sama saja seperti biasanya dalam hari-hari kerja. Sekitar dua jam melakukan pekerjaan yang sebenarnya, sisanya untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kerja.
Begitu juga dengan telepon. Mulanya, setiap orang setiap saat (termasuk saya) minta voucher isi ulang (simpati dan mentari) ke bagian keuangan. Padahal, kalau di kantor pakai telepon kantor. Kemudian, setiap dua minggu minta voucher. Karena keadaan menjadi agak liar, keluarlah keputusan dari Bagian Keuangan: setiap orang hanya boleh meminta voucher isi ulang sebanyak Rp 100000 setiap bulan. Itupun hanya untuk orang lapangan. Orang kantor silahkan pakai telepon kantor untuk keperluan dinas. Di kantorpun, kalau ada yang memakai telepon pasti dibatasi untuk keperluan dinas. Tetapi, kawan saya selalu punya cara untuk mengatasinya. Dia menelepon ke kantor dengan HPnya dan minta bicara dengan dia sendiri. Petugas administrasi membawa telepon ke ruangan laboratorium kami, dan kawan itupun menelepon kemana-mana dengan nyaman.

Laboratorium sederhana kami pindah lagi. Kalau sebelumnya ditempatkan di ruangan server di kantor utama (yang spesial, karena ruangan itu adalah satu-satunya ruangan yang menggunakan AC) sekarang pindah ke semacam rumah petak di bagian belakang kantor utama. Karena posisinya terjepit di antara petak-petak lainnya, otomatis ruangan kami tidak punya jendela. Ruangan 2 ½ m x 2 ½ m kami jejali dengan segala hal: alat-alat laboratorium, sebuah filing kabinet berukuran sedang, dua buah meja untuk tempat analisa, sebuah meja kecil untuk kami pakai berdua, plus dua orang manusia. Di salah satu pojokan kami onggokkan autoclave (alat stelilisasi instrumen laboratorium) yang cukup menyita ruangan. Jaringan air bersih, tidak ada. Kami membawa air (untuk cuci-cuci) ke lab kami dengan menggunakan ember. Untuk keperluan pure water, kami buat sebdiri dengan deionizer-water bag. Alatnya berupa segenggam resin kation dan anion yang dimasukkan ke dalam kantong plastik, yang diisi dengan air biasa, kemudian diguncang selama beberapa menit. Hasilnya adalah air dengan conductivity sekitar 10 us/cm. Padahal airnya kami ambil dari sumur bor yang conductivitynya sangat rendah, hanya sekitar 50 us/cm.
Akhirnya lab kami beroperasi juga. Di tengah sesaknya ruangan, kami melakukan analisa perdana untuk air sumur bor dari daerah Kecamatan Meureubo. Airnya keluar sendiri dari tanah dalam jumlah yang cukup besar, tidak perlu dipompa. Padahal daerah tersebut adalah daerah dataran yang berjarak hanya sekitar 2 km dari laut. Kedalaman sumur hanya sekitar 40 m. Hasil analisa cukup bagus, parameter-parameter dasar semuanya masih dalam standar kualitas air minum. Kandungan arsen tidak ada sama sekali. Untuk analisa mikrobiologi kami belum bisa melakukannya karena keterbatasan daya listrik. Sekali kami hidupkan autoclave yang butuh power 2000 wat, listrik langsung mati. Kami tes lagi, padam lagi. Semua orang protes diluar lab kami. Akhirnya diambil kesimpulan, daya ke tempat tersebut akan diperbesar, rencananya selesai dalam dua hari mendatang.

Laboratorium analisa air sementara Watsan CRS


Sekali waktu kami diluar, pemilik toko pecah belah menawarkan souvenir ke pada kami: rekaman video waktu kejadian tsunami di Meulaboh. Saya bilang saya tidak mau, karena saya belum sanggup untuk menyaksikannya. (saya sudah pernah menonton video serupa di komputer di kantor CRS selama tiga menit, selama tiga hari saya masih terasa beratnya). Terus dia bilang yang ini seru. “Sudah pernah lihat mayat yang tercampak ke kabel listrik dan pohon?” katanya. Kawan saya bilang dia tidak ingin melihat mayat orang Meulaboh, yang ingin dia lihat adalah orang-orang Meulaboh yang hidup. “Ini bagus Pak, untuk kenang-kenangan kepada keluarga”, tambah penjual tersebut. Kawan saya mengatakan dengan keras, bahwa kenangan yang akan sangat berarti bagi dia adalah senyum terimakasih orang Meulaboh yang bisa dia bantu. Penjual tersebut kehabisan kata dan langsung terdiam.

Mendorong kenderaan di tanjakan Glee Kuburan Aneuk Miet

Perjalanan Sigli – Meulaboh sangat melelahkan. Butuh 6 jam dengan menggunakan minibus L-300, dengan ongkos bervariasi. Kadang harga tiket Rp. 110.000, tetapi sering saya membayar Rp. 80.000 atau Rp. 90.000. Waktu tempuh bisa lebih lama jika hari hujan, karena ada sekitar 20 km jalan berlumpur dengan tanjakan-tanjakan curam yang menjadi licin dan susah dilalui kenderaan. Kemarin kami terjebak di lokasi tersebut. Untuk mobil yang saya tumpangi sebenarnya tidak menjadi masalah, karena posisi kami menuruni bukit. Tetapi banyak mobil yang antri untuk mendaki, dan harus satu persatu karena takut selip. Tanjakan yang paling tinggi adalah Gle Jeurat Aneuk Miet (bahasa Aceh untuk Bukit Kuburan Anak Kecil), tempat yang dianggap orang-orang sebagai tempat keramat. Sering orang bersedekah di situ, ataupun berdoa memohon sesuatu. Ada-ada saja. Satu versi cerita yang saya dengar mengenai tempat tersebut adalah kisah tentang keluarga yang berakhir tragis. Suatu ketika jaman dahulu (tidak disebutkan kapan), seorang suami meninggalkan istrinya yang sedang hamil (tidak disebutkan daerahnya, tetapi saya perkirakan sekitar Kabupaten Pidie) untuk merantau mengadu nasib ke Meulaboh. Berbulan-bulan suaminya tidak memberi kabar ataupun mengirim belanja sampai akhirnya anaknya lahir. Setelah anaknya berumur 6 bulan, istrinya menyusul ke kota Meulaboh melalui gunung tersebut. Dia sampai di Meulaboh dan mendapati suaminya sudah kawin lagi. Mereka bertengkar (sudah pasti) dan suaminya memaksa dia untuk pulang kembali ke asalnya, dan akan diantar suaminya. Sesampai di gunung tadi, suaminya berubah pikiran. Entah setan apa yang melintas, dia membunuh istri dan anaknya dan dikuburkan di tempat tersebut, kemudian dia kembali ke istri mudanya di Meulaboh. Saudara istri tuanya bermimpi mengenai kejadian tersebut dan mereka ke Meulaboh untuk mencari suami tersebut. Bersama-sama mereka kegunung tersebut, dan kuburan tersebut dibongkar karena mayatnya mau dibawa ke kampung. Mereka mendapati mayat anak tersebut sudah raib, padahal kuburannya masih utuh tidak terganggu. Sedangkan mayat ibunya dalam keadaan utuh, tidak ada lagi bekas-bekas luka pada saat dia dibunuh suaminya. Akhir cerita, suaminya mendapat ganjarannya dan menjadi gila, cerita berkembang dan hal itu dianggap sebagai kejadian yang luar biasa. Cerita semakin berkembang sehingga tempat tersebut sekarang dianggap sebagai tempat keramat. Kebenaran ceritanya, wallahualam bissawab.


Kenderaan di Glee Kuburan Aneuk Miet

1 comment:

Anonymous said...

dodietzambesi@yahoo.com wrote:

Thanks Pak Yusra mau mengelola CRS_Aceh@yahoogroup s kami senang sebab kita bisa berkomunikasi kapan saja kita mau meski terkendala jarak lokasi dan waktu. Tidak ada nilai minusnya saya kira sebab kita bisa bertukar info dengan masing2 member.

Saya ada kenangan tentang tahun 2005 di CRS Meulaboh salah satunya diceritakan oleh Fauzi ex Watsan er, ybs banyak bercerita tentang situasi kerja dan keadaan di Meulaboh antara Maret s/d Juni 2005. Rupanya Fauzi ini menulis kan kisah waktu itu di suatu Blog/website (silahkan buka web ini) di http://fauziikpp. blogspot. com/2005/ 07/meulaboh- mei-2005- 9-mei-2005. html saya tidak menyangka Fauzi ini sudah kenal dengan Web creation pada th 2005 ( bayangkan saya baru tahu membuat home page/web dan menjadi webmaster sejak Januari 2007, alangkah terlambatnya saya bekerja yeh). Kemana si Fauzi ini kata mas Salim ybs sudah out dari CRS MBO seperti saya sejak 2006. OK deh selamat menikmati celotehnya si Fauzi.

Salam,

Dodiet S
ex Dukun di Relief/CFW CRS Mbo