Thursday, July 21, 2005


Meulaboh, Maret - April 2005. Tak terasa sudah lebih sebulan saya meninggalkan Perawang. Cuti selama setahun memang menyenangkan, menemukan suasana baru, lingkungan baru dan juga kawan-kawan baru. Tetapi, dibalik itu juga ada kepiluan setiap kali mengunjungi kamp-kamp ataupun barak-barak pengungsi korban tsunami.Hari libur ataupun hari Minggu, saya isi dengan keliling Aceh Barat untuk sekedar mengenal lingkungan. Biasanya saya bersama dengan kawan sekerja dengan mengendarai sepeda motor yang kami pinjam secara paksa dari kantor CRS.
Ini adalah salah satu sudut kota Meulaboh, Jalan Nasional. Sudah mulai nampak orang-orang yang berjualan. Dulu pada masa-masa awal sehabis tsunami, lingkungan ini penuh dengan sampah dan timbunan lumpur yang nampaknya perlu waktu yang sangat lama untuk membersihkannya. Kenyataannya, hanya beberapa bulan sehabis tsunami, lingkungan tersebut sudah kembali bersih dan (hamper) seperti sedia kala (kecuali bangunan-bangunan yang hancur dan belum dibangun). Kebanyakan yang dijual dipinggir jalan ini adalah perlengkapan lapangan praktis seperti topi, tas, sandal gunung, kacamata dsb untuk bule-bule dan orang-orang lokal yang sok bergaya bule.
Harga-harga bukan main gilanya di Meulaboh. Yang terasa sekali harga makanan dan harga minumam. Jika dulu makan nasi dengan lauk kari bebek khas Aceh cukup dengan Rp. 3500-4000 (kata orang), sekarang dijual dengan harga Rp 7000-8000. Minum teh es harus keluar duit Rp 3000 (di Perawang saja paling Rp. 1500). Makan mi aceh yang dulu cuma Rp 3000, sekarang dengan sombongnya pedagang minta Rp. 5000. Mau makan silahkan, tidak mau ya nggak apa-apa. Toh nantinya akan ada yang beli juga. Bukan sekali dua kali kami berselisih paham (lebih tepatnya bertengkar) soal harga ini. Soalnya, misalnya dua hari yang lalu makan nasi goreng dengan teh es cuma keluar duit Rp 6000, hari ini menjadi Rp. 8000. Diprotes begitu, pedagangnya cuma cengar-cengir saja sambil mengembalikan Rp 500.Minggu kemarin, kami diundang ke pesta turun mandi bayi salah seorang relawan CRS di Kecamatan Meureubo. Agak kontras juga, pestanya berlangsung secara sederhana ditengah keprihatinan, karenan lingkungan tersebut parah keadaanya karena dekat dengan laut. Rumah yang mengadakan pesta hancur total dihajar tsunami, dan nampaknya baru dibangun kembali secara tergesa-gesa. Anaknya adalah perempuan, pada saat tsunami tanggal 26 Desember 2004 baru berumur 7 hari dan terpaksa menjalani beratnya hidup dalam pengungsian. Dibelakang rumah tersebut ada sungai yang dipisahkan oleh semacam daratan lainnya, baru kemudian laut lepas. Lokasinya cantik juga (walaupun luluh lantak dilanda tsunami pada tanggal 26 Desember 2004), seperti yang nampak pada foto.

Walaupun hari Minggu, LSM Mercy Corps tetap mengadakan kegiatan untuk melakukan semacam kerja bakti (gotong royong), yang dibayar tentunya. Kali ini yang kami temui adalah ibu-ibu yang kehilangan tempat tinggal karena tsunami dan sekarang tinggal di barak-barak penampungan sementara. Mereka kerja berpindah-pindah, sesuai dengan program kerja Mercy Corps. Foto ini kami ambil pas dibelakang rumah tempat pesta turun mandi bayi tadi. Yang laki-laki adalah karyawan CRS yang numpang nampang. Yang bertopi hijau adalah coordinator Mercy Corps yang mengawasi pelaksanaan kegiatan tersebut.
-------------------------
Pantai-pantai di Meulaboh sangat indah (kata orang Meulaboh) dulunya. Saya sendiri belum pernah ke Meulaboh sebelumnya, tetapi kayaknya kabar tersebut memang benar. Saya mengambil beberapa gambar di pantai Ujung Kalak, yang kondisinya hampir tidak adah rumah yang tersisa. Foto berikut adalah dulunya kawasan pemukiman yang padat di kawasan Ujung Kalak. Sekarang kosong melompong, hanya tersisa bekas-bekas puing runtuhan bangunan yang sudah dibersihkan, dan plang-plang nama yang menunjukkan tanah di situ kepunyaan siapa.

Kebiasaan lama susah dirubah. Kalau sudah merasa suntuk dengan rutinitas kegiatan (karena seharian tidak kelapangan misalnya), kami kadang-kadang ‘melarikan diri’ juga, mencari jalan untuk menghilang dari kantor. Seringkali kami keluar dengan menggunakan sepeda motor (kalau mau pakai mobil harus jelas tujuannya) dan keliling mencari tempat yang nyaman untuk santai. Sesekali kepantai, tetapi lebih sering kesungai yang berpasir (kira-kira 20 menit dari Meulaboh kearah Tutut). Suasananya nyaman, dengan angin yang cukup terasa sejuk (Meulaboh lebih panas dari Perawang). Kebetulan, kawan saya satu tim (saya ditempatkan di bagian Water and Sanitation, dengan sub tim Water Quality Monitoring) mirip-mirip dengan kawan-kawan di Perawang yang setiap saat siap diajak ke warung Centang di Pelabuhan 1. Ini adalah suasana keseharian kami. Sehari-hari saya kerja dengan menggunakan kaos dan sandal jepit, atau sesekali sandal gunung. Jarang sekali saya menggunakan sepatu, kecuali kalau ada rencana ke kantor pemerintah.
Kawan saya satu tim ini bernama Juanto Haloho, berasal dari Pematang Siantar. Dia tamatan MIPA Mikrobiologi dari USU. Sebelumnya dia memang pernah bekerja di NGO lain sebelum bergabung dengan CRS.

Pekerjaan kami saat ini adalah sedang mengadakan laboratorium pengawasan kualitas air, yang nantinya akan diserahkan ke pemerintah (Dinas Kesehatan). Kualitas air yang dipantau mencakup mikrobiologi dan kimia. Alatnya sederhana dan portable, dibuat oleh Wagtech (Inggris). Merek tersebut kurang terkenal dan kayaknya hanya dipakai di kalangan terbatas, misalnya NGO-NGO yang bergerak di bidang sosial. Untuk analisa kimia, alat tersebut menggunakan perbandingan visual yang harus diamati dengan menggunakan mata, yang tingkat kesalahannya relative besar. Sebenarnya, saya sudah menyarankan bule yang menjadi atasan saya untuk membeli spektro Hach seperti yang kita punya (Hach 2010) yang cukup portable. Tetapi dia mungkin cukup bandal untuk menerima saran orang lokal, jadi dia mengemukakan alasan kenapa dia memilih alat tersebut. Katanya di Indonesia tidak ada alat analisa air yang cukup lengkap dan tidak ada yang sebaik yang dia pilih tersebut. Kenyataannya, di Medan banyak dijual spektro merek Hach atau yang lainnya, yang kualitasnya jauh diatas alat Wagtech tersebut, lengkap dengan semua reagen yang diperlukan. Sementara alat tersebut (Wagtech) belum ada suppliernya di Indonesia. Kami sempat berdebat sengit juga mengenai hal tersebut, tetapi katanya keputusannya sudah dibuat dan pembelian sudah berlangsung. Nampaknya sekarang ada persaingan yang tidak nampak antar NGO yang bekerja di Meulaboh. Mereka saling berebut lahan kerja. Bahkan ada juga yang langsung memasang plang nama ditempat-tempat tertentu supaya tidak diserobot pihak lain. Entah sampai kapan hal ini bisa bertahan, karena diantara pekerjanya pasti ada ego juga untuk menonjolkan diri dan organisasinya. Tindakan NGO berebut lahan ditengahi pemerintah dengan membagi lahan kerja bagi NGO-NGO tersebut. Kejadian ini berlangsung di wilayah Aceh Barat sampai berulang kali masuk berita surat kabar. Saya tidak tahu apakah hal ini juga terjadi di wilayah Aceh yang lain.




-------------------
Ada yang mengherankan di sini dan tidak tahu apakan hal tersebut ada hubungannya dengan tsunami. Di pantai Meulaboh dan sekitarnya gampang sekali ditemukan kepiting (ketam) yang ukurannya besar-besar. Hampir setiap saat di pasar ada kepiting, yang kalau digolongkan mungkin masuk ke golongan besar (2 sampai tiga ekor per kilonya). Kamipun seringkali makan kepiting di guest house, dibawa pulang kawan-kawan yang kebetulan wilayah kerjanya banyak ditemui kepiting. Kadang dikasih gratis oleh penduduk yang tidak mau menerima uang bayawan, atau bisa juga di beli. Beli dari penduduk cuma lima ribu sampai sepuluh ribu per kilogramnya (kondisi normal bisa tiga puluh ribu sampai lima puluh ribu sekilonya). Beli di pasar paling lima belas ribu sekilonya. Waktu kami ke Suak Seuke beberapa hari yang lalu, kami juga ditawari penduduk kepiting yang ukurannya cukup besar.
--------------------
Ini adalah foto pantai Suak Ribee. Sekitar 1 km dari posisi ini terletak rumah mertua adik perempuan saya, yang sekarang sudah hancur total. Dulu, pantai ini sangat indah, setiap sore hari ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin menyaksikan matahari terbenam. Sekarangpun, dengan jejak kehancuran yang luar biasa yang disebabkan oleh tsunami, keindahan pantai ini kayaknya tidak berubah. Tidak banyak yang hilang, kecuali jalan raya Banda Aceh Meulaboh yang rusak total di beberapa tempat dan juga perumahan-perumahan penduduk. Pohon-pohon kelapa masih tetap di tempatnya, tidak tumbang tersapu gelombang dahsyat tsunami.
Sore Minggu saya juga ikut kawan-kawan ke Pantai Suak Ribee. Mereka bermain bola dengan bule-bule kurang kerjaan, atau sekedar mandi ombak. Ramai juga, apalagi sudah beredar kabar dari mulut kemulut tentang keindahan pantai ini.
Foto di bawah ini adalah kondisi jalan Banda Aceh - Meulaboh yang hancur total di sebagian besar tempat.
----------------
Suak Seuke, Suak Pandan, Lhok Bubon, Kuala Bubon, Suak Pante Breueh, Gampong Cot adalah beberapa desa di Kecamatan Samatiga. Desa-desa tersebut terletak sepanjang pantai, dilewati oleh jalan raya Banda Aceh – Meulaboh. Kondisi pasca tsunami di tempat-tempat tersebut sungguh memprihatinkan.Tidak ada bangunan tersisa di daerah tersebut, keculai mesjid-mesjid yang masih tegak dengan gagahnya. Di Suak Pante Breuh, bahkan mesjidpun ikut hancur. Penduduk desa tersebut tidak punya jalan untuk menyelamatkan diri sewaktu tsunami datang. Jalan yang ada adalah mengikuti pantai, sedangkan untuk menjauhi pantai mereka harus melewati rawa dan hutan karet. Bisalah dibayangkan, bahwa mereka hanya bisa berserah diri kepadaYang Maha Kuasa pada saat bencana tersebut datang. Seperti diungkapkan oleh Syafril Maidi, seorang penduduk Suak Seuke, bahwa pada saat gelompang laut datang dengan ketinggian melebihi pohon kelapa, penduduk hanya bisa berharap dapat perlindungan di mesjid. Air menghempas, sampah pohon-pohon menerjang mesjid sehingga runtuh dan menghanyutkan penduduk ke hutan karet. Tanpa bisa berbuat apa-apa melawan gelora air, Syafril Maidi membiarkan dirinya dihempaskan dan digulung air. “Hanya kuasa Allahlah yang menyebabkan beberapa dari kami selamat”. Akhirnya dia tersangkut dipohon karet, yang secara reflek dipegangnya erat-erat. Itulah yang menyelamatkan dia dari air. Rata-rata, lebih dari setengah penduduk dari desa-desa tersebut menjadi korban. Sampai saat ini, desa Suak Seuke, Suak Pante Breuh dan lain-lainya masih terisolir. Beberapa jembatan di jalan raya B. Aceh – Meulaboh putus di kawasan tersebut. Jembatan darurat belum dibuat, hanya rakit dari bambu yang diikat menjadi satu yang dikerjakan secara gotong-royong oleh penduduk.
Desa Kuala Bubon mengalami nasib yang paling parah. Selain kehilangan penduduknya yang menjadi korban, desa ini bahkan kehilangan wilayahnya. Daerah yang dulu menjadi wilayah desa tersebut kini tidak ada lagi, sudah tersapu gelombang menjadi bagian dari laut.
Ada juga kisah unik terjadi di Suak Seuke. Ada seorang penduduk yang kehilangan istrinya pada saat tsunami. Karena dia termasuk golongan yang berkecukupan, oleh mertuanya dia dikawinkan dengan adik istrinya (ganti lapik). Akhir Maret lalu, datanglah sepucuk surat dari Malaysia. Surat tersebut ternyata berasal dari istrinya, yang entah bagaimana caranya terhanyut kelaut dan diselamatkan kapal Malaysia. Istrinya memberitahu suaminya bahwa dia selamat dan akan segera pulang ke kampung. Sekarang si suami bingung, ayah mertua bingung, adik si istripun bingung. Entah bagaimana penyelesaiannya sekarang ini.Foto dibawah ini adalah rakit penyeberangan menuju ke Desa Suak Seuke yang terisolir karena jembatan yang menuju kesana terputus.

1 comment:

Anonymous said...

fauziikpp.blogspot.com is very informative. The article is very professionally written. I enjoy reading fauziikpp.blogspot.com every day.
fast cash
online payday loans canada