Thursday, July 21, 2005

Meulaboh, Mei 2005
Akhirnya pembangunan rumah di Meulaboh mulai dilaksanakan. Pertengahan Mei 2005, sudah ada beberapa rumah yang mulai tegak di daerah Kutapadang. Daerah tersebut sesuai dengan perjanjian dengan pemerintah ditangani oleh sebuah NGO. Awalnya, kami pikir, rumah-rumah tersebut merupakan rumah sementara yang dibangun sendiri oleh penduduk setempat. Setelah kami lihat ada plang nama di lokasi pembangunan tersebut, baru kami mengetahui siapa yang mempunyai proyek tersebut. Kualitas rumah-rumah tersebut menyedihkan, walaupun dibuat permanen tetapi terkesan asal jadi. Temboknya hanya sampai seketinggian dinding, sementara untuk menutup kekosongan antara dinding dengan atap dipergunakan tripleks. Tata ruangpun tidak diperhatikan. Arah muka rumah simpang siur dan tidak beraturan. Kualitas pintu dan kusen tidak standar. Belum lagi ditempati, pintu sudah ada yang mengkerut sehingga menjadi renggang. Kabarnya, karena kualitas rumah tersebut yang sangat tidak standar, pemilik tanah (otomatis menjadi pemilik rumah tersebut) menjadi tidak suka dan melakukan protes melalui kepala desa dan camat. Kepala desa setempat menjadi sangat terpukul dengan kasus ini dan dengar-dengar dia ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Isu lain yang beredar di kalangan NGO: rumah-rumah tersebut akan dibongkar dan dibangun ulang.

Rumah yang dibangun di daerah Kuta Padang

Rumah-rumah yang dibangun di daerah Suak Ribee jauh lebih baik. Dengan tipe sekitar 45-an, rumah-rumah tersebut dibangun mengikuti standar rumah tumbuh. Rumahnya terkesan mungil.

Sementara itu, CRS belum lagi mulai membangun.
*********
Tim kami bertambah lagi, seorang Inggris yang berasal dari lokasi Wales. Namanya Jamie Ashe, asli Irlandia dengan logat Wales kental yang sangat sulit dimengerti (bagi yang sudah menonton film “Devils Own” yang dibintangi Harrison Ford dan Brad Pitt mungkin mengetahui tentang logat Wales). Setiap hari dia selalu keringatan, tidak perduli kapanpun. Kayaknya dia masih sulit unutk menyesuaikan diri dengan cuaca panas Meulaboh. Orangnya cukup kocak, dengan joke-joke Irlandianya yang cukup lucu. Sekali saya mengawani dia sekaligus menjadi penerjemah di lapangan. Dia cepat akrab dengan penduduk, tidak sungkan untuk berbaur dengan mereka. Dalam hal pekerjaan, dia sangat teliti. Kami pernah berdiskusi seru mengenai pemasangan pompa kecil untuk lokasi barak pengungsi. Perdebatan merembet ke soal efisiensi pompa, titik operasi optimum pompa, konsumsi listrik yang paling hemat, dan ukuran pipa yang sesuai, segala hal yang kita kerjakan kalau ada pemasangan pompa baru di WTD. Dia mengeluarkan buku tentang pompa yang cukup tebal, saya mengeluarkan segala yang saya punya, termasuk segala macam rumus yang sengaja saya simpan di komputer saya. Dia mengatakan supaya flownya optimum, ukuran pipa harus diganti. Saya bertahan dengan pendapat saya, untuk mengatur flow tidak perlu mengganti pipa, cukup dengan memasang keran pada output pompa dan sebuah pressure gauge. Dengan mengatur keran dan mengamati tekanan, berdasarkan grafik performa pompa, kita bisa mendapatkan flow dan tekanan yang optimum. Sementara kami berdebat seru, dua orang kawan saya yang lain sudah selesai memasang pompanya dan menghidupkan pompa tersebut. Ternyata kemudian di lapangan tidak ada masalah apa-apa dengan ukuran pipa yang disarankan pada manual pompa tersebut, karena memang itulah titik optimum operasi pompa tersebut.
Sekali waktu saya bertanya padanya, kenapa dia mau ke Aceh jauh dari keluarganya untuk menjadi pekerja sosial, padahal dia bisa bekerja di Inggris dengan penghasilan yang jauh lebih baik (dia master hidro-geologi). Jawabannya bahwa di Inggris walaupun gajinya jauh lebih besar dibandingkan di sini, pengeluarannyapun sangat besar. Pajak menghabiskan sampai 40% gajinya. Belum lagi yang lain-lainnya. Di sini, semua CRS yang membayari, jadi penghasilannya tersimpan semua. Nah!

Jamie Ashe


Meeting-meeting internal CRS terkesan menggelikan. Ada sekali waktu diumumkan bahwa nanti sore ada meeting umum, dan semua yang bergabung dengan CRS harus ikut, tanpa kecuali. Tahunya, hanya seorang pembesar CRS datang dari Bangkok (direktur program Asia Tenggara) yang ingin menguncapkan Halo untuk semua staf. 5 menit, selesai. Cuma itu. Meeting departemen kami (Water and Sanitation) lebih konyol lagi. Meeting berlangsung dari jam delapan pagi, diketuai oleh manager department, Ross Tomlinson. Sampai jam dua belas belum ada tanda tanda-tanda bahwa meeting akan selesai, sementara kesimpulan meeting belum diketahui. Semua sudah pada gelisah karena lapar. Setelah sedikit protes, diputuskan bahwa meeting akan dilanjutkan besoknya pada jam yang sama untuk membahas apa-apa yang belum dibahas (padahal isi meeting cuma omong kosong tentang segala sesuatu yang tidak terkait dengan agenda meeting). 4 jam terbuang sia-sia tanpa ada hasil. Esoknya juga berlangsung hal yang sama. Cuma, kali ini kami lebih siap. Kami membawa segala macam makanan ringan yang bisa kami ambil dari dapur, dan bergelas-gelas minuman segar. Setelah selesai berpidato tentang proyek jangka panjang dan jangka pendek, dibukalah bagian tanya jawab. Pertanyaan dari anggota tim kebanyakan menjurus kepada protes kebijakan-kebijakan atasan kami tersebut. Tentang ketidak transparan mengenai anggaran, fleksibilitas kerja, segala keputusan harus melalui dia (pernah ada yang menanyakan jam berapa kepada kawan saya. Oleh kawan saya dijawab tanya si Ross saja, karena semua keputusan ada di tangan dia). Kawan saya dari tim Water Quality Monitoring protes keras: ceritanya CRS merekrut orang dari berbagai disiplin ilmu untuk menjadi sebuah tim. Tetapi kenapa kami diperlakukan seperti orang yang tidak tahu apa-apa? Kenapa kerja kami dari awal sampai selesai harus selalu harus begini, selalu harus begitu? Bukankan cukup kami dikasih tahu kerangka kerja saja, lalu biar kami yang menyelesaikannya? Terhadap protes seperti ini si Ross cuma bisa termenung dan memberi jawaban yang tidak memuaskan.
Saya sendiri, tidak keberatan dengan metode kerja seperti itu. Biarkan saja berjalan seperti adanya. Dibilang pasif juga tidak, karena sekali-sekali saya melakukan protes juga, tetapi tidak dalam meeting. Dulu, rencananya saya akan ditempatkan di lapangan, kenyataannya sekarang saya berkutat di ruangan 2.5 x 2.5 m melakukan analisa air. Tidak ada masalah, karena toh saya bisa menikmatinya. (Berada di lapangan lebih merdeka, dan bisa langsung merasakan kedekatan dan kebutuhan masyarakat). Bekerja juga tanpa beban apa-apa, toh saya disini karena semi-volunteer (karena walaupun kerja sosial, saya tetap dibayar). Lagian, saya bisa keluar kapan saja
.

Ross Tomlinson, bos Watsan CRS Meulaboh

Akhir Mei 2005 NGO Mercy Corps dan Dewan Kesenian Aceh Barat (DEKAB) melaksanakan pameran lukisan dan lomba lukisan anak-anak di Hotel Meuligoe di Meulaboh. Pembukaannya cukup meriah, dihadiri oleh kalangan pemerintah dan NGO-NGO yang berada di Aceh Barat. Tema pamerannya adalah “Meulaboh made famous by tsunami” atau Meulaboh terkenal oleh tsunami. Kebanyakan lukisan yang dipamerkan bercerita tentang kejadian tsunami tanggal 26 Desember 2004. Lukisan-lukisan tersebut membangkitkan kenangan buruk bagi mereka yang mengalami kejadian tersebut atau mereka yang kehilangan keluarga dalam kejadian tersebut. Walaupun saya tidak terlalu menyukainya, foto-foto lukisan tersebut saya ambil sehingga kawan-kawan di Perawang bisa turut menikmatinya. Lukisan termurah dijual seharga Rp 2000000, sedangkan yang termahal adalah Rp 20000000. Ternyata lukisan yang termahal tersebut milik istri camat setempat. Rencananya, 50% dari hasil penjulana lukisan tersebut akan didonorkan untuk korban tsunami. CRS sendiri membeli sebuah lukisan (saya tidak tahu harganya).

Bule di acara Maulud di Cot Seulamat


Kemasan makana untuk acara Maulud ("Idang")

Mesjid di Kecamatan Samatiga akhirnya selesai direhabilitasi oleh CRS. Masyarakat setempat mengadakan semacam syukuran atas selesainya perbaikan mesjid tersebut. CRS diundang, acaranya berlangsung sangat sederhana dan penuh keakraban. Staff CRS makan seperti musafir yang sudah berminggu-minggu tersesat di gurun, termasuk bule-bulenya. Makananbya memang enak-enak walaupun sederhana (bagi saya yang jarang makan kepiting jelas sekali!). Penduduk setempat Cuma tersenyum-senyum saja melihat polah mereka. Pulang dari syukuran perbaikan mesjid, kami singgah ke desa Cot Seulamat, dimana sedang berlangsung perayaan Maulid Nabi. Ditengah suasana keprihatinan, acara maulud nampaknya seperti biasa pada kondisi normal: hidangan makanan yang dikemas dalam tempat yang tingginya hampir dua meter sehingga untuk membawanya dari rumah harus digunakan pikup ataupun becak. Makanannya luar biasa, semua lauk berbahan daging ada (standar di Aceh, makan daging menjadi kewajiban beberapa kali dalam setahun: megang bulan puasa, megang hari raya aidil fitri, megang hari raya idul adha dan perayaan maulud Nabi). Nasinya adalah “bu kulah”, nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk piramid. Luar biasa, makan beramai-ramai. Ketika kami sampai kesana, dibawah tenda besar kelompok-kelompok desa yang diundang sedang menyanyikan zikir dan salawat Nabi. Semua kelompok berlomba-lomba dalam hal kekerasan suara dan dinamika gerak tubuh (seperti tari saman), sehingga hampir tidak terdengar lagi apa yang dinyanyikan. Yang terdengar hanya gemuruh suara manusia yang berirama. Ada beberapa bule perempuan yang ikut menonton. Mereka memakai jilbab dan baju kurung.

Syukuran Mesjid di Pucok Lueng, Samatiga


Pulang dari acara tersebut, kami langsung ke lapangan bola, untuk bertanding melawan Mercy Corps. Kekenyangan makan kepiting dan nasi mauludan, dengan mudah dikalahkan Mercy Corps 7-0, walaupun si Jamie yang katanya jago bola sampai terjulur lidahnya mengejar bola dimanapun bola berada (!). Mungkin kali yang akan datang kami akan seri kalau melawan IWAPI.

No comments: