Saturday, July 23, 2005

Perayaan Maulid Nabi

Rata-rata, kebanyakan penduduk Aceh di Pidie makan daging beberapa kali dalam setahun: “meugang” sebanyak tiga kali, yaitu memasuki bulan suci Ramadhan, sehari sebelum hari raya Idul Fitri, sehari sebelum hari raya Idul Adha. Kemudian daging hewan kurban (biasanya yang ini tidak semuanya mendapat bagian) dan pada saat perayaan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid di Aceh hampir selamanya meriah. Di Pidie, di desa-desa biasanya persiapan sudah dilakukan menjelang bulan Rabiulawal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Rapat digelar di Meunasah, mendata penduduk yang akan ikut mengadakan kenduri Maulid, “Kanduri Meulod”, kata orang Aceh, berapa “idang” – pasangan nasi dan lauk-pauknya – untuk setiap rumah, sesuai dengan kemampuan. Hal ini adalah sukarela, tidak ditentukan jumlahnya. Biasanya, hampir setiap warga akan ikut melaksanakan. Si anu menyanggupi dua “idang”, yang lainnya lima “idang”. “Idang” disini adalah dua talam besar, yang satu berisi nasi bungkus “bu kulah” dan talam lainnya berisi lauk-pauk. Dari data yang ada, diputuskan apakan akan memotong kerbau atau sapi, atau masing-masing membeli daging sendiri. Sepanjang ingatan saya, selamanya memotong hewan. Pemotongannya dilakukan pada waktu pagi, biasanya sehabis shalat subuh, dan dikerjakan secara bergotong royong oleh penduduk desa. Sekitar jam tujuh atau jam delapan semuanya selesai. Dagingnya dibagi menjadi tumpukan-tumpukan – jumlahnya sesuai dengan kesepakatan pada saat rapat – kemudian dibagikan sesuai dengan data yang ada. Satu tumpuk daging – yang tercampur dengan jeroan dan tulang serta kulit, semuanya dibagi rata – dihargai sesuai dengan harga sapi dibagi dengan jumlah tumpuknya. Biasanya jauh lebih murah dibandingkan dengan membeli di pasar daging.
Di dapur, kaum ibu sibuk memasak, dibantu oleh saudara dan kerabat yang diundang. Kaum laki-laki, setelah mengantar daging pulang kerumah, biasanya menghilang lagi ke meunasah, melakukan persiapan untuk menerima tamu-tamu yang diundang. Suasana ramai, penduduk laki-laki berkumpul di meunasah dan pos jaga. Orang-orang desa ini yang tinggalnya ditempat lain yang berdekatan juga pulang kampung.
Tamu-tamu yang diundang adalah desa-desa yang berdekatan, biasanya tamu abadi yang sudah menjadi langganan. Desa kami memiliki hubungan “undangan maulid” dengan beberapa desa yang berdekatan, yang setiap tahun mengundang dan diundang. Seluruh penduduk desa tersebut yang laki-laki, tua dan muda, bahkan akan-anak kecil, yang tidak berhalangan, akan datang memenuhi undangan. Jumlahnya sampai puluhan. Undangan utama, dari sebuah desa yang sudah ditentukan, akan melantunkan Dalain Khairat sebagai acara pembuka. Undangan lainnya biasanya tokoh-tokoh masyarakat, unsur pimpinan pemerintahan daerah kemukiman dan kecamatan, juga santri dari pondok pesantren yang ada di lingkungan desa kami.
Di rumah, acara persiapan makanan mencapai puncaknya. Nasi yang mengepul-ngepul dibungkus dengan daun pisang yang sudah diasapi, membentuk piramid, “bu kulah”, begitu orang Aceh menyebutnya. Setelah dibungkus, disusun dalam talam dan ditutup dengan “sange”, semacam tudung saji dengan hiasan berwarna-warni. Isinya beberapa puluh bungkus nasi setiap talamnya. Kemudian dibungkus lagi dengan kain, biasanya kain batik panjang. Lauknya, berupa gulai daging, gulai ayam, bebek, ikan (biasanya tongkol, bandeng udang) disiapkan dalam piring-piring kecil dan kemudian disusun dalam talam sebagaimana halnya nasi “kulah” tadi. Setelah ditutup dengan “sange” dan dibungkus dengan kain batik panjang, makanan tersebut siap untuk diantarkan ke meunasah. Satu rumah mengantarkan satu atau beberapa pasang “idang” tersebut ke meunasah, sesuai dengan kemampuannya. Menjelang jam sebelas siang, kaum laki-laki pulang kerumah untuk menjemput “idang” dan membawanya ke meunasah. Iring-iringan pembawa “idang” memasuki meunasah memberikan pemandangan yang unik.
Sekitar jam sebelas, tamu mulai berdatangan. Yang pertama sekali datang adalah undangan utama yang akan melantunkan Dalail Khairat. Mereka disamput Keuchik dan pemuka masyarakat lannya, dan langsung diantarkan ketempat yang disediakan. Jumlah mereka beberapa puluh orang, tua dan muda. Mereke membentuk kelompok yang berkeliling. Buku-buku Dalail Khairat dibagikan, dan merekapun bersiap untuk melantunkannya.
Dalail Khairat dilagukan orang di Aceh pada kesempatan maulid nabi dan pada hari ketujuh orang meninggal. Iramanya khas, mulai dari pelan, semakin lama semakin cepat, hingga mencapai puncaknya secara gegap gempita, dan kemudian berakhir secara tiba-tiba. Isinya adalah Nama-nama Allah SWT, Asmaul Husna dan salawat Nabi Muhammad SAW. Hampir semua penduduk desa yang laki-laki – termasuk anak-anak – bisa melagukan Dalail Khairat. Di meunasah-meunasah, secara berkala Dalail Khairat dipelajari oleh kaum laki-laki.
Selesai Dalail Khairat dilagukan, “idang” diangkat ke tengah kelompok tadi. Beberapa “idang” diatur, kemudian tuan rumah mempersilahkan tamunya untuk membuka “idang”. Beberapa orang dewasa bertindak sebagai jurubagi bergegas membuka “idang”. Nasi kulah dibagikan, seorang bisa mendapat dua atau tiga bungkus. Anak-anak duduk dengan tertib, khawatir dan segan kepada yang lebih dewasa. Nasi kulah dibuka, nasinya digemburkan untuk menunggu pembagian lauk. Sementara itu, jurubagi selesai membuka “idang” lauk pauk. Sebuah piring kecil berisi gulai daging, dibagikan sepotong seorang. Pembagiannya tidak menggunakan sendok, langsung dengan tangan. Karena tidak mencukupi, disambung dengan gulai ayam, yang karena jumlahnya juga terbatas terpaksa dicabik menjadi potongan kecil. Kemudian menyusul sambal goreng, kerupuk, dan lain-lainnya. Kadang ada juga yang menyisipkan gado-gado sebagai tambahan dalam “idang” lauk. Anak-anak saling mengintip dan membandingkan siapa saja yang mendapat cabikan gulai ayam yang lebih besar.
Setelah semua makanan yang ada dalam “idang” dibagi merata – biasanya jurubagi mendapat porsi yang lebih istimewa – merekapun makan dengan nikmat. Nasi menggunung, ditutupi lauk yang juga menggunung, tidak akan sanggup dihabiskan sekaligus. Jadi, setelah makan beberapa suap, nasipun dibungkus kembali dan dimasukkan kedalam kantong plastik yang sengaja sudah disiapkan dari rumah. “Bu meulod” begitu orang Aceh menyebutnya, akan dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga. Tempat yang kosong yang ditinggalkan rombongan pertama dengan segera diisi oleh rombongan dari desa lain yang sudah menunggu.
Ada yang istimewa dengan “bu meulod” ini. Walaupun dibagi dengan tangan – yang pasti sudah tercemari dengan berbagai bakteri pembusuk – nasi campur aduk itu rasanya sungguh enak dan tahan lama. Tidak akan basi walaupun disimpan berjam-jam. Seringkali kami waktu kecil dulu, jatah “bu meulod” yang tidak habis kami makan kami simpan lagi untuk makan malam, dan tidak akan basi.
Menjelang lohor biasanya semua tamu sudah habis. Sejumlah “idang” sengaja disisihkan untuk penduduk desa. Jadi yang ikut melaksanakan “kanduri meulod” ataupun tidak melaksanakannya karena tidak mampu pada saat itu bisa bersama-sama menikmati makan enak. Semua warga desa yang laki-laki, tua dan muda masuk ke dalam meunasah dan duduk dengan tertib. Nasi dibagikan, diikuti dengan lauknya. Kemudian semuanya makan. Sama juga halnya seperti tamu-tamu dari desa lain, tradisi membawa pulang bungkusan “bu meulod” juga dilakukan oleh penduduk desa yang melaksanakan acara Maulid tersebut. Jadi kami tidak menghabiskan semua makanan, melainkan membungkusnya dan membawa pulang ke rumah masing-masing. Walaupun di rumah sudah ada nasi dan lauk pauknya – yang disiapkan untuk perayaan Maulid – nasi campur aduk itu tetap lebih enak rasanya bagi kami.
Sudah disepakati oleh semua penduduk desa, bahwa perayaan Maulid Nabi kali ini dilanjutkan pada malam hari, yaitu memanggil Teungku untuk melakukan dakwah Islamiah. Selama konflik bersenjata di Aceh, hal-hal seperti ini sudah terlupakan. Tidak ada yang berani melaksanakan keramaian di malam hari, karena resikonya sangat besar. Teungku – yang namanya terkenal sebagai juru dakwah ulung - sudah diundang dan bersedia memenuhi undangan kami. Acaranya akan dimuali selepas isya dan akan berakhir tengah malam. Jadi, sehabis shalat lohor yang dilakukan berjamaah di meunasah, kegiatan dilanjutkan lagi di meunasah. Remaja-remaja menghias meunasah dengan berbagai macam hiasan, kebanyakan yang berwarna dan bermotif norak. Yang lebih tua melakukan apa saja, mulai dari membersihkan halaman meunasah, memasang lampu-lampu untuk penerangan, dan menyiapkan panggung tempat sang Teungku akan berpidato nanti malam, mengangkati balok-balok kayu yang akan dipakai sebagai tempat duduk pengunjung nanti malam. Tidak ada kaum hawa yang ikut dalam kegiatan ini. Sementara itu pengeras rsuara yang dipasang dipuncak menara meunasah mengeluarkan berbagai bunyi-bunyian yang berisik: pengumuman-pengumunan, lagu-lagu arab dan nasyid. Anak-anak berlarian ke sana kemari, ditingkahi hardikan orang-orang dewasa yang merasa terganggu oleh keributan yang mereka timbulkan.
Menjelang asar, persiapan sudah selesai. Sebuah pikup sudah disiapkan untuk membuat pengumuman ke desa-desa sekitar desa kami dengan pengeras suara. Anak-anak berebut mengisi bak belakang pikup. Supir pikup sudah duduk dibelakang setir, disebelahnya juga sudah siap orang dengan mikropon di tangannya. Pelan-pelan pikup bergerak keluar dari pekarangan meunasah, ditimpali dengan sorak anak-anak yang tidak kebagian tempat di bak pelakang pikup.
Sehabis magrib, warga desa kembali menuju ke meunasah. Meunasah terang benderang oleh cahaya lampu listrik. Sama seperti kegiatan tadi pagi, kaum ibu tidak ada yang terlibat langsung. Anak-anak berlarian kesana kemari, dalam kelompok-kelompok kecil.
Orang-orang berdatangan. Kaum perempuan, ibu-ibu dan anak-anak kecil mengambil tempat duduk di pekarangan meunasah, di atas balok-balok kayu yang disusun bernaris-baris untuk tempat duduk. Gadis-gadis lebih suka mengambil tempat yang terpisah. Yang laki-laki lebih suka bergerombol di luar pekarangan meunasah. Pedagang-pedagang mulai menggelar dagangan dibawah cahaya temaram lampu minyak, pedagang jagung rebus dan jagung bakar, kacang goreng dan kacang rebus, buah-buahan, kue-kue, es dan lain-lain. Pedagang asongan bergerak diantara pengunjung sambil meneriakkan dagangan yang dibawanya. Pemuda-pemuda desa setempat berkeliling untuk menjaga keamanan.
Sementara itu, tamu-tamu kehormatan sedang menikmati makan malam – dengan menu yang sama dengan tadi siang – di atas meunasah. Mereka makan pelan-pelan, menikmati setiap suap nasi yang dihidangkan – tetap “bu kulah” dan lauk-pauknya. Minumnya beragam, dan yang paling mewah menurut ukuran kami di desa – ceret-ceret yang berisi susu yang sedang dituangkan ke dalam gelas-gelas yang tersusun rapi.
Selepas shalat Isya, acara dimulai. Seorang warga desa yang bertindak sebagai pembawa acara berjalan menuju podium dengan langkah pelan dan pasti, ditangannya selembar kertas yang berisi susunan acara. Dengan mantap dia mengetukkan mikropon beberapa kali, memastikan semuanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kemudian, dengan suara pelan dia mengucapkan salam kepada semua pengunjung yang hadir.
Bergantian ketua panitia, Keuchik, unsur pimpinan kecamatan memberikan kata sambutan. Hampir semuanya menekankan pada pentingnya berlaku tertib dan menjaga keamanan selama acara berlangsung untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah itu, acara hiburan. Santri-santri perempuan yang berasal dari pondok pengajian, “dayah” kami menyebutnya, akan membawakan nasyid, tanpa iringan musik.
Acar puncak, ceramah agama dilakukan sekitar jam sembilan malam. Selama hampir tiga jam, sang Teungku akan berpidato dengan penuh semangat, menyiarkan syiar Islam. Pengunjung mendengarkan dengan khidmat – untuk itulah mereka datang kesini malam ini. Kadang kadang Teungku menyisipkan humor yang disambut penonton dengan tawa yang gemuruh. Pengunjung hanyut dalam cerita yang dibawakan Teungku – cerita kelahiran Sang Rasul ratusan tahun yang lalu di daerah yang berjarak ribuan kilometer dari desa kami – manusia utama di jagad raya ini.
Tengah malam acara berakhir. Pengunjung beranjak pulang. Pedagang-pedagang menutup dagangannya. Anak-anak kecil yang tertidur digendong orang-tuanya. Di desa-desa seperti desa kami di mana hiburan merupakan suatu kemewahan, acara-acara seperti ini merupakan sesuatu yang sangat dinantikan, apalagi setelah terhenti sekian lama karena konflik bersenjata yang melanda Aceh. Jadi, semuanya kembali pulang dengan rasa puas di hati, sambil saling bercerita tentang isi ceramah Sang Teungku, sambil menanam harapan, sampai jumpa lagi pada acara yang sama di desa lain ...

No comments: