Thursday, August 11, 2005

Ross Tomlinson - Kristenisasi di Meulaboh

Pertengahan 2005, marak kabar beredar di Meulaboh bahwa ada NGO tertentu yang menjalankan misi Kristenisasi di Meulaboh. Modusnya beragam. Mulai dari pembagian makanan dan pakaian dengan logo salib, sampai bahan pendidikan yang mengarah ke agama Kristen. Juga melalui konseling anti trauma pasca bencana. Selebaran-selebaran beredar secara gelap, foto copy ataupun print out yang menggambarkan salib melindungi orang-orang dari amukan gelombang raksasa. Hal ini jelas dilarang, dan ada unit khusus polisi yang khusus untuk memastikan hal-hal seperti itu tidak terjadi. Sudah ada NGO yang diusir keluar dari Aceh pada saat masa-masa darurat (Januari – Februari 2005), karena menjalankan misi Kristenisasi secara terseubung.
Suatu sore saat kami pulang kerja, ibu kos kami dengan tampang hati-hati membisikkan ke saya, bahwa dia mendapatkan bukti nyata bahwa sebuah NGO asing menjalankan misi Kristenisasi terhadap anak-anak SD. Dia berbicara dengan bahasa Aceh, karena khawatir Juanto tersinggung (Juanto berbeda agama dengan saya). Setelah Juanto masuk kamar, ibu kos kami menunjukkan beberapa lembar kertas yang berisi cerita dan materi pelajaran untuk anak kelas satu SD. Isinya menggambarkan bagaimana salib melindungi anak-anak dari sebaga bencana di dunia, termasuk bencana amukan gelombang raksasa. Dia juga mengatakan, pegawai NGO tersebut, seorang perempuan muda, telah diusir dari Aceh karena ketahuan perbuatannya. Dia merupakan seorang guru, yang mengajar anak-anak SD untuk melupakan trauma akibat bencana. Penampilannya yang berjilbab membuat orang tidak mengetahui siapa dia sebenarnya. Anak-anak kelas satu dan kelas dua SD diajari cara berdoa yang berbeda dengan yang mereka pelajari selama ini di tempat pengajian, dan anak-anak tersebut ada yang mempraktekkannya di rumah. Orang tua mereka yang terkejut menanyakan kepada anaknya dari mana mereka mempelajari hal tersebut. Orang tua yang resah mengadu kepada guru-guru, dan begitulah sehingga kegiatan NGO tersebut terbongkar dan mereka terusir dari Aceh.
Beberapa waktu kemudian, saat saya, Ross dan Jamie dalam perjalanan pulang dari Arongan Lambalek, saya menunjukkan fotocopy pelajaran tersebut kepada mereka, dan menanyakan pendapat mereka tentang hal tersebut. Jamie tidak berkomentar, sementara Ross bercerita panjang lebar. Dia yakin, memang ada organisasi non profit yang misi dasarnya jelas untuk evangelis. Dia menunjukkan beberapa NGO yang misi dasarnya seperti itu: XXXX yang bergerak merehabilitasi dan membangun kembali sekolah-sekolah yang rusak, XXX, XXXXXXXXX XXXX dan beberapa lagi yang lainnya. Walaupun dibungkus dengan misi kemanusiaan, mereka tetap menyisipkan pendakwah-pendakwah mereka didalam pekerja-pekerja mereka untuk menjalankan misi mereka. Bagaimana dengan CRS sendiri, tanya saya. CRS, sepanjang pengetahuan dia, tidak seperti itu. CRS bekerja lintas agama, ras dan negara. Walaupun didirikan dan dimiliki oleh warga Khatolik Amerika Serikat, CRS bekerja bukan untuk misi Khatolik. Misinya adalah murni kemanusiaan, katanya. Pekerjanya, di Aceh dan di berbagai negara lainnya, terdiri dari beragam agama dan suku bangsa. Mereka bekerja murni untuk kemanusian, bukan untuk kemajuan agama Khatolik, tambahnya. Dia sendiri – karena dia Kristen – pada saat wawancara dengan personalia CRS, dia ditanyakan bagaimana hubungannya dengan Yesus. “Baik-baik saja”, katanya. Terakhir dia bertemu Yesus di bar sepulang pertandingan bola pada suatu akhir minggu beberapa waktu yang lalu. Yesus lagi minum di bar,dan Ross menepuk bahunya dan menanyakan kabarnya. “Tidak pernah sebaik ini semenjak saya disalib”, jawab Yesus. Saya dan Jamie ketawa mendengan cerita Ross.
Saya sendiri, pada saat wawancara dengan Croix Rouge Francaise (Palang Merah Perancis), ditanyai kenapa saya mau bekerja dengan CRS padahal saya seorang Muslim. Saya bekerja untuk kemanusian, jawab saya, bukan untuk misi Khatolik. “Kan sama saja, kamu bekerja untuk mereka ataupun kamu bekerja bersama mereka”, kata Frédéric Gros, orang yang mewawancara saya. Well, tidak seperti itu ...

No comments: