Saturday, August 06, 2005

Test Arsen di Lapangan: Arongan Lambalek

Kemarin, saya bersama LSM Peacewinds Japan melakukan test asnenik di daerah Pasi Mali (Kecamatan Arongan Lambalek) dan barak pengungsi di Kubu, juga masuk wilayah kecamatan Arongan Lambalek. Dengan menggunakan kenderaan Ford Ranger milik Peacewinds, kami berempat dengan supir berangkat jam 09:00. Keluar dari kota Meulaboh, kondisi jalan sangat parah. Dengan kecepatan 10 - 20 km/jam, masih terasa guncangan dalam kenderaan. Di pinggir jalan nampak truk Fuso yang berisi muatan karet dalam posisi rebah kuda. Kayaknya, dua rodanya terperosok ke dalam tanah berpasir dipinggir jalan, dan terguling pada saat mereka mencoba untuk keluar.
Setengah jam kemudian, jalan berubah total: jalan aspal mulus. Supir kami ngebut, kayaknya dia sudah terbiasa dengan wilayah tersebut. Melewati kecamatan Samatiga, kami mulai menyusuri pantai. Jembatan-jembatan yang putus sewaktu bencana tsunami dulu, sudah dibangun secara darurat oleh Oxfam dan YKM, bekerja sama dengan masyarakat setempat secara gotong-royong (tidak sepenuhnya dibilang gotong-royong, karena masyarakat dibayar secara harian oleh Oxfam). Kadang kenderaan harus melewati pasir pantai, menembus genangan air laut yang disebabkan oleh pasang tinggi pada malam sebelumnya. Diperkampungan di sepanjang jalan, denyut kehidupan mulai terasa. Rumah-rumah mulai dibangun oleh LSM-LSM yang bekerja di wilayah tersebut. Orang-orang mulai ramai lalu lalang dengan kegiatannya masing-masing.
10 menit melewati daerah Samatiga, di ruas jalan yang sempit nampak kenderaan penumpang jenis L-300 terperosok di pinggir jalan, sedang berusaha ditarik dengan menggunakan bus. Usaha tersebut gagal karena talinya putus. Kenderaan kami berhenti dan kami meminjamkan sling untuk membantu. Rupanya, L300 tersebut dalam perjalanan dari Calang menuju Meulaboh. Di jalan yang sempit tersebut, kenderaan tersebut memberi jalan kepada Ford Ranger CRS yang ingin memotong. Akibatnya, L300 tersebut terperosok dan hampir terguling (kami menduga kenderaan yang menyebabkan masalah adalah mobil yang ditumpangi si Jamie dan si Ross yang juga sedang menuju ke Arongan).
Jam 11:05 kami sampai ke Pasi Mali. Rumah-rumah penduduk semuanya mengibarkan bendera merah putih. Di pintu-pintu rumah juga ada gambar bendera merah putih dan tulisan NKRI besar-besar. Kata supir mobil kami, penduduk sekarang berinisiatif sendiri memasang bendera menjelang 17 Agustus.
Setelah melakukan test arsen di sumber air Puskesmas Pasi Mali dan berbasa-basi sebentar dengan petugas medis di sana, kami melanjutkan perjalanan ke Arongan Lambalek, yang memakan waktu lebih kurang 1 jam. Sehaktu habis tsunami sampai kira-kira bulan Mei 2005, perjalanan ke Arongan Lambalek sangat berat. Melewati medan yang sangat berat dikarenakan kerusakan infrastruktur, dan kadang harus melewari air sungai, perjalanan bisa memakan waktu lebih dari empat jam, melalui jalan alternatif lewat Kuala Bhee. Sekarang, melewati jalan biasa, perjalanan ke Arongan hanya memakan waktu sekitar dua jam (kalau sebelum tsunami hanya sekitar 40 menit). Sampai di Arongan saya minta diturunkan di Mesjid Arongan, karena waktu Jumat sudah tiba. Yang lainnya melanjutkan perjalanan ke lokasi kerja.
L300 yang terperosok di wilayah Samatiga

Setelah shalat, ternyata mereka sudah menunggu: staff dari Peacewinds dan boss saya Ross Tomlinson dengan si Jamie Ashe. Rencana si Ross dan Jamie untuk mengadakan meeting dengan masyarakat gagal, karena orang yang mereka bawa dari Meulaboh (bagian Shelter CRS) ternyata tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka sudah bersiap-siap mau pulang ketika mereka berjumla dengan Peacewinds yang mengatakan saya ikut dengan mereka. Tugas saya bertambah: selain mengambil sample dan menganalisa arsen untuk Peacewinds, saya harus ikut Ross dan Jamie sebagai penerjemah.

Perjalanan diteruskan ke Barak Pengungsi Kubu. Setelah mengambil sampel dan melakukan analisa Arsen, saya berpisah dari rombongan Peacewinds dan bergabung dengan rombongan CRS. Banyak masalah yang ditemukan di Barak Kubu. Sarana air bersih yang layak untuk dijadikan air minum tidak ada. Pengungsi yang tinggal di Barak tersebut harus mengambil air ke Drien Rampak yang berjarak 3 km dari tempat tersebut, atau membayar Rp 1500 per jerigen air yang berisi 30 liter. Sumur bor yang ada airnya mengandung gas dan bisa terbakar. Lagipula, karena airnya asin (conductivitinya sekitar 1500) tidak ada warga yang mau minum air tersebut.

Di barak seberang jalan, kondisinya tidak jauh berbeda. Sumur bor yang dibangun terpaksa ditutup kembali karena dinilai berbahaya kandungan gasnya. Si Ross mengomel bahwa ada tujuh LSM internasional yang bekerja di Barak ini tetapi tidak ada yang memberikan hasil yang nyata.

Ada satu sumur milik penduduk yang nampaknya memberikan hasil yang lebih memuaskan. Untuk menghitung debit air sumur tersebut, si Jamie melakukan metode tradisional: dengan ember besar dia menguras sumur tersebut sampai kering, kemudian dihitungnya berapa cepat air kembali mengisi sumur. Setelah saya hitung, ternyata diperoleh angka 16 liter/menit. Cukup besar untuk sumur cincin dangkal. Nampaknya, sumur ini akan dipergunakan untuk sementara sebagai sumber air bagi warga di barak. Tinggal membereskan lantai sumur, menyediakan pompa dan tangki air beserta towernya.

Hard-working boy Jamie Ashe sedang menguras sumur

Pada pertemuan dengan Pak Adnan, Kepala Desa setempat, banyak hal-hal yang menjadi catatan Ross dan Jamie. Mulai kegiatan-kegiatan LSM asing di tempat tersebut sampai kepada illegal logging ditempat baru penduduk akan di relokasi. Juga mengenai LSM-LSM asing yang terlalu banyak menjanjikan ini dan itu, tetapi lambat atau bahkan hampir tidak ada realisasinya.

Jam 05 sore kami berangkat pulang. Sampai di Suak Seuke saya mengajak mereka singgah di 'kafe terapung b'medi' untuk minum.

Santai di 'cafe terapung b'medi' di Suak Seuke

No comments: