Sunday, August 14, 2005

“Air Tsunami Asli”

Entah kapan isu tersebut mulai beredar. Beberapa waktu setelah laboratorium kami pindah ke lokasi kantor Dinas Kesehatan Aceh Barat, dan mulai dibuka untuk umum, orang-orang berdatangan membawa sampel-sampel air mereka untuk dianalisa. Ada juga yang mempunyai maksud lain. Sampel yang mereka bawa bukan untuk dianalisa, tetapi karena mereka ingin menjualnya. Mereka mendengar kabar bahwa laboratorium air milik CRS ingin mendapatkan air tsunami, yang asli, untuk dianalisa. Nilainya sangat tinggi, mencapai milyaran, kabar angin mengatakan, karena orang asing sangat ingin mengetahui kandungan apa yang ada dalam air tsunami, yang membuat mayat-mayat menghitam dan tanaman mati seperti terbakar. Ada yang membawa air dalam botol kecil, yang diperlakukan dengan sangat hati-hati, seperti memperlakukan benda yang sangat mahal harganya tetapi sangat mudah rusak. Orang tersebut mengatakan air tersebut diambilnya pada saat gelombang pasang pertama melanda Meulaboh, dan dia merasa beruntung karena terpikir untuk mengambil air tsunami pada waktu itu. Ada juga yang mengatakan air tsunami tersebut diambilnya dari lampu mobilnya, yang hancur terseret air pada waktu tsunami. Air tersebut asli air tsunami, katanya dengan meyakinkan. Dia berani bersumpah untuk itu.
Dengan geli kami menjelaskan bahwa hal tersebut tidak benar. Tidak ada orang asing ataupun NGO yang mau membeli sampel air tsunami sampai berharga milyaran. Tidak betul itu. Itu adalah kabar angin yang bohong. Tetapi orang-orang terus berdatangan, dengan sampel-sampel air yang mereka katakan sebagai air tsunami asli yang sempat mereka ambil pada saat bencana tersebut terjadi. Dengan susah payah kami menolak, berusaha sebaik-baiknya untuk tidak menyinggung perasaan mereka. Ada juga yang berani menjanjikan persentase tinggi untuk kami jika mereka bisa menjual sampel air tsunami tersebut. Seorang ibu guru, yang kami panggil dengan Ibu Cut, yang berasal dari Kampong Likot (sebagian orang menyebutnya Kampong Belakang) paling sering muncul ke lab kami. Awalnya membawa sampel air sumurnya untuk dianalisa, dan mengikuti saran kami, setiap beberapa waktu tertentu dia membawa kembali sampel air sumurnya untuk mengetahui perkembangan kebersihan sumurnya dari pencemaran air laut. Kemudian iapun ikut-ikutan membawa sampel air tsunami. Sudah tentu kami menolaknya. Menduga kami menolak karena sampel airnya tidak asli, beberapa waktu kemudia, dia muncul lagi dengan sampel air. “Ini betul-betul asli”, katanya. Seorang tetangganya sempat mengambil dan menyimpan air tsunami, tambahnya. Kami hanya bisa tersenyum geli mendengarnya. Perlu waktu lama untuk meyakinkan Ibu Cut bahwa kabar yang didengarnya adalah tidak benar.
Ikan "Keureulieng"


Ikan Keureulieng

Ada satu jenis ikan langka yang hanya didapati di sungai-sungai berbatu di daerah pegunungan di Aceh Barat, Nagan Raya dan Pidie: ikan keureulieng. Seumur-umur saya belum pernah mengetahui bagaimana bentuk ikan tersebut. Kalau memakannya sudah beberapa kali, di Tangse atau Geumpang, tetapi tidak pernah kalau di Meulaboh. Nasi ramas dengan sepotong ikan keureulieng dihargai belasan ribu di Tangse atau Geumpang. Di sekitar kota Meulaboh jauh lebih mahal. Kalau kepalanya bisa lebih mahal lagi. Di pasar, satu ekor ikan keureulieng segar dengan panjang sekitar 40 – 50 cm bisa dihargai puluhan hingga seratusan ribu. Bentuknya mirip arwana, dengan muka kejam dan sisik yang besar-besar. Sisik inipun tidak dibuang, digoreng atau dimasak. Rasanya mendekati emping melinjo, kenyal jika digulai dan renyah jika digoreng. Rasa ikan keureulieng sangat khas. Seperti campuran ikan lele, bandeng, kerapu dan patin.
Foto di atas saya ambil pas ada orang menawarkan ikan keureulieng kepada kami di depan kantor Bupati Aceh Barat.

Friday, August 12, 2005

Akhir-akhir ini sering diterima keluhan dari masyarakat mengenai air yang didistribusikan dengan truk tangki terasa sekali asinya. Muncul isu bahwa air tersebut langsung diambil dari sungai dengan menggunakan truk, bukan air dari PDAM (memang benar, ada truk yang mengambil air di sungai di daerah Samatiga. Ada yang melihat dan melaporkan pada meeting koordinasi Watsan, sehingga timbul kecurigaan bahwa hal tersebut adalah benar. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata air yang diambil tersebut adalah untuk keperluan pengecoran mesjid di daerah Cot Seulamat, Samatiga).
Pada saat petugas PDAM mengantar sampel air dari raw water intake mereka untuk kami analisa, kami memperoleh hasil bahwa konduktivitas air pada posisi raw water intake sangat besar: 19200 us/cm! Ya, 19.2 ms/cm, pada posisi pengambilan sample 4 meter di bawah permukaan (posisi rencana intake baru). Pantas saja air yang dikirim ke penduduk kadang kala asin rasanya, karena kadang-karang raw waternya sendiri konduktivitinya tinggi.

Thursday, August 11, 2005

Ross Tomlinson - Kristenisasi di Meulaboh

Pertengahan 2005, marak kabar beredar di Meulaboh bahwa ada NGO tertentu yang menjalankan misi Kristenisasi di Meulaboh. Modusnya beragam. Mulai dari pembagian makanan dan pakaian dengan logo salib, sampai bahan pendidikan yang mengarah ke agama Kristen. Juga melalui konseling anti trauma pasca bencana. Selebaran-selebaran beredar secara gelap, foto copy ataupun print out yang menggambarkan salib melindungi orang-orang dari amukan gelombang raksasa. Hal ini jelas dilarang, dan ada unit khusus polisi yang khusus untuk memastikan hal-hal seperti itu tidak terjadi. Sudah ada NGO yang diusir keluar dari Aceh pada saat masa-masa darurat (Januari – Februari 2005), karena menjalankan misi Kristenisasi secara terseubung.
Suatu sore saat kami pulang kerja, ibu kos kami dengan tampang hati-hati membisikkan ke saya, bahwa dia mendapatkan bukti nyata bahwa sebuah NGO asing menjalankan misi Kristenisasi terhadap anak-anak SD. Dia berbicara dengan bahasa Aceh, karena khawatir Juanto tersinggung (Juanto berbeda agama dengan saya). Setelah Juanto masuk kamar, ibu kos kami menunjukkan beberapa lembar kertas yang berisi cerita dan materi pelajaran untuk anak kelas satu SD. Isinya menggambarkan bagaimana salib melindungi anak-anak dari sebaga bencana di dunia, termasuk bencana amukan gelombang raksasa. Dia juga mengatakan, pegawai NGO tersebut, seorang perempuan muda, telah diusir dari Aceh karena ketahuan perbuatannya. Dia merupakan seorang guru, yang mengajar anak-anak SD untuk melupakan trauma akibat bencana. Penampilannya yang berjilbab membuat orang tidak mengetahui siapa dia sebenarnya. Anak-anak kelas satu dan kelas dua SD diajari cara berdoa yang berbeda dengan yang mereka pelajari selama ini di tempat pengajian, dan anak-anak tersebut ada yang mempraktekkannya di rumah. Orang tua mereka yang terkejut menanyakan kepada anaknya dari mana mereka mempelajari hal tersebut. Orang tua yang resah mengadu kepada guru-guru, dan begitulah sehingga kegiatan NGO tersebut terbongkar dan mereka terusir dari Aceh.
Beberapa waktu kemudian, saat saya, Ross dan Jamie dalam perjalanan pulang dari Arongan Lambalek, saya menunjukkan fotocopy pelajaran tersebut kepada mereka, dan menanyakan pendapat mereka tentang hal tersebut. Jamie tidak berkomentar, sementara Ross bercerita panjang lebar. Dia yakin, memang ada organisasi non profit yang misi dasarnya jelas untuk evangelis. Dia menunjukkan beberapa NGO yang misi dasarnya seperti itu: XXXX yang bergerak merehabilitasi dan membangun kembali sekolah-sekolah yang rusak, XXX, XXXXXXXXX XXXX dan beberapa lagi yang lainnya. Walaupun dibungkus dengan misi kemanusiaan, mereka tetap menyisipkan pendakwah-pendakwah mereka didalam pekerja-pekerja mereka untuk menjalankan misi mereka. Bagaimana dengan CRS sendiri, tanya saya. CRS, sepanjang pengetahuan dia, tidak seperti itu. CRS bekerja lintas agama, ras dan negara. Walaupun didirikan dan dimiliki oleh warga Khatolik Amerika Serikat, CRS bekerja bukan untuk misi Khatolik. Misinya adalah murni kemanusiaan, katanya. Pekerjanya, di Aceh dan di berbagai negara lainnya, terdiri dari beragam agama dan suku bangsa. Mereka bekerja murni untuk kemanusian, bukan untuk kemajuan agama Khatolik, tambahnya. Dia sendiri – karena dia Kristen – pada saat wawancara dengan personalia CRS, dia ditanyakan bagaimana hubungannya dengan Yesus. “Baik-baik saja”, katanya. Terakhir dia bertemu Yesus di bar sepulang pertandingan bola pada suatu akhir minggu beberapa waktu yang lalu. Yesus lagi minum di bar,dan Ross menepuk bahunya dan menanyakan kabarnya. “Tidak pernah sebaik ini semenjak saya disalib”, jawab Yesus. Saya dan Jamie ketawa mendengan cerita Ross.
Saya sendiri, pada saat wawancara dengan Croix Rouge Francaise (Palang Merah Perancis), ditanyai kenapa saya mau bekerja dengan CRS padahal saya seorang Muslim. Saya bekerja untuk kemanusian, jawab saya, bukan untuk misi Khatolik. “Kan sama saja, kamu bekerja untuk mereka ataupun kamu bekerja bersama mereka”, kata Frédéric Gros, orang yang mewawancara saya. Well, tidak seperti itu ...

Tuesday, August 09, 2005

Kamp Pengungsi Masyarakat Rundeng Lingkungan IV di Lapang

Suasana di Kamp Pengungsi Mayarakat Lingkungan IV Rundeng di Lapang


Hari ini kami melakukan analisa air ke Kamp Pengungsi di Lapang. Kamp tersebut didiami oleh masyarakat Lingkungan IV Rundeng, yang daerahnya mengalami kerusakan sangat parah. Mereka akan dipindahkan ke tempat mereka mengungsi sekarang. Ada sekitar 1000 jiwa yang tinggal di kamp pengungsi tersebut. Tidak ada barak sementara di sana, hanya tenda-tenda dengan logo CRS yang (nampaknya) sudah mulai lapuk. Sumber air tidak ada, selain beberapa sumur gali. Air minum diantar oleh truk-truk tangki dua kali sehari.

Warga Rundeng sedang membersihkan lokasi perumahan mereka yang baru. Latar depan: Jamie Ashe


Ada empat sumur gali yang akan kami analisa. Airnya sewaktu diambil tampak jernih, dengan kekeruhan yang rendah dan warna yang tidak terlalu menonjol. Hal ini mungkin disebabkan karena lokasi sumur-sumur tersebut di hutan karet, dengan kondisi tanah yang berawa-rawa.Masyarakat nampak sibuk membersihkan lokasi baru yang bakal menjadi lokasi perumahan baru nantinya (mereka melakukannya secara gotong royong, tetapi CRS membayar semua yang bekerja secara harian). Ada beberapa penduduk yang sedang menyiapkan septic tank untuk WC-WC umum yang sedang dibangun. Si Jamie langsung menyisingkan lengan baju dan menggulung celananya, membuka sandalnya dan langsung turun ke lubang. Sejurus kemudian dia sudah mencangkuli lubang bersama dengan penduduk lainnya. Keterbatasan komunikasi antara Jamie dan penduduk nampaknya tidak menjadi kendala, dengan bahasa Indonesia yang sangat minim ditambah dengan bahasa isyarat komunikasi bisa juga berlangsung. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, air dari keempat sumur tersebut mengandung kadar besi antara 4 – 5 ppm. Cukup besar. Beberapa waktu setelah diambil, air berubah menjadi coklat dan keruh sekali. Saya menyarankan kepada Jamie, supaya sistem distribusi air yang akan dibangun harus sistem aerasi sederhana dan harus mempunyai waktu kontak yang cukup supaya setidaknya kadar besinya dapat berkurang. Rencanaya, sistem air tersebut juga akan dilengkapi dengan filter pasir sederhana untuk menghasilkan air yang lebih bersih.

"Hei, don't just take picture! Get your ass down here and give us a hand!" Jamie protes saat saya mengambil fotonya di dalam lubang WC

Saturday, August 06, 2005

Test Arsen di Lapangan: Arongan Lambalek

Kemarin, saya bersama LSM Peacewinds Japan melakukan test asnenik di daerah Pasi Mali (Kecamatan Arongan Lambalek) dan barak pengungsi di Kubu, juga masuk wilayah kecamatan Arongan Lambalek. Dengan menggunakan kenderaan Ford Ranger milik Peacewinds, kami berempat dengan supir berangkat jam 09:00. Keluar dari kota Meulaboh, kondisi jalan sangat parah. Dengan kecepatan 10 - 20 km/jam, masih terasa guncangan dalam kenderaan. Di pinggir jalan nampak truk Fuso yang berisi muatan karet dalam posisi rebah kuda. Kayaknya, dua rodanya terperosok ke dalam tanah berpasir dipinggir jalan, dan terguling pada saat mereka mencoba untuk keluar.
Setengah jam kemudian, jalan berubah total: jalan aspal mulus. Supir kami ngebut, kayaknya dia sudah terbiasa dengan wilayah tersebut. Melewati kecamatan Samatiga, kami mulai menyusuri pantai. Jembatan-jembatan yang putus sewaktu bencana tsunami dulu, sudah dibangun secara darurat oleh Oxfam dan YKM, bekerja sama dengan masyarakat setempat secara gotong-royong (tidak sepenuhnya dibilang gotong-royong, karena masyarakat dibayar secara harian oleh Oxfam). Kadang kenderaan harus melewati pasir pantai, menembus genangan air laut yang disebabkan oleh pasang tinggi pada malam sebelumnya. Diperkampungan di sepanjang jalan, denyut kehidupan mulai terasa. Rumah-rumah mulai dibangun oleh LSM-LSM yang bekerja di wilayah tersebut. Orang-orang mulai ramai lalu lalang dengan kegiatannya masing-masing.
10 menit melewati daerah Samatiga, di ruas jalan yang sempit nampak kenderaan penumpang jenis L-300 terperosok di pinggir jalan, sedang berusaha ditarik dengan menggunakan bus. Usaha tersebut gagal karena talinya putus. Kenderaan kami berhenti dan kami meminjamkan sling untuk membantu. Rupanya, L300 tersebut dalam perjalanan dari Calang menuju Meulaboh. Di jalan yang sempit tersebut, kenderaan tersebut memberi jalan kepada Ford Ranger CRS yang ingin memotong. Akibatnya, L300 tersebut terperosok dan hampir terguling (kami menduga kenderaan yang menyebabkan masalah adalah mobil yang ditumpangi si Jamie dan si Ross yang juga sedang menuju ke Arongan).
Jam 11:05 kami sampai ke Pasi Mali. Rumah-rumah penduduk semuanya mengibarkan bendera merah putih. Di pintu-pintu rumah juga ada gambar bendera merah putih dan tulisan NKRI besar-besar. Kata supir mobil kami, penduduk sekarang berinisiatif sendiri memasang bendera menjelang 17 Agustus.
Setelah melakukan test arsen di sumber air Puskesmas Pasi Mali dan berbasa-basi sebentar dengan petugas medis di sana, kami melanjutkan perjalanan ke Arongan Lambalek, yang memakan waktu lebih kurang 1 jam. Sehaktu habis tsunami sampai kira-kira bulan Mei 2005, perjalanan ke Arongan Lambalek sangat berat. Melewati medan yang sangat berat dikarenakan kerusakan infrastruktur, dan kadang harus melewari air sungai, perjalanan bisa memakan waktu lebih dari empat jam, melalui jalan alternatif lewat Kuala Bhee. Sekarang, melewati jalan biasa, perjalanan ke Arongan hanya memakan waktu sekitar dua jam (kalau sebelum tsunami hanya sekitar 40 menit). Sampai di Arongan saya minta diturunkan di Mesjid Arongan, karena waktu Jumat sudah tiba. Yang lainnya melanjutkan perjalanan ke lokasi kerja.
L300 yang terperosok di wilayah Samatiga

Setelah shalat, ternyata mereka sudah menunggu: staff dari Peacewinds dan boss saya Ross Tomlinson dengan si Jamie Ashe. Rencana si Ross dan Jamie untuk mengadakan meeting dengan masyarakat gagal, karena orang yang mereka bawa dari Meulaboh (bagian Shelter CRS) ternyata tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka sudah bersiap-siap mau pulang ketika mereka berjumla dengan Peacewinds yang mengatakan saya ikut dengan mereka. Tugas saya bertambah: selain mengambil sample dan menganalisa arsen untuk Peacewinds, saya harus ikut Ross dan Jamie sebagai penerjemah.

Perjalanan diteruskan ke Barak Pengungsi Kubu. Setelah mengambil sampel dan melakukan analisa Arsen, saya berpisah dari rombongan Peacewinds dan bergabung dengan rombongan CRS. Banyak masalah yang ditemukan di Barak Kubu. Sarana air bersih yang layak untuk dijadikan air minum tidak ada. Pengungsi yang tinggal di Barak tersebut harus mengambil air ke Drien Rampak yang berjarak 3 km dari tempat tersebut, atau membayar Rp 1500 per jerigen air yang berisi 30 liter. Sumur bor yang ada airnya mengandung gas dan bisa terbakar. Lagipula, karena airnya asin (conductivitinya sekitar 1500) tidak ada warga yang mau minum air tersebut.

Di barak seberang jalan, kondisinya tidak jauh berbeda. Sumur bor yang dibangun terpaksa ditutup kembali karena dinilai berbahaya kandungan gasnya. Si Ross mengomel bahwa ada tujuh LSM internasional yang bekerja di Barak ini tetapi tidak ada yang memberikan hasil yang nyata.

Ada satu sumur milik penduduk yang nampaknya memberikan hasil yang lebih memuaskan. Untuk menghitung debit air sumur tersebut, si Jamie melakukan metode tradisional: dengan ember besar dia menguras sumur tersebut sampai kering, kemudian dihitungnya berapa cepat air kembali mengisi sumur. Setelah saya hitung, ternyata diperoleh angka 16 liter/menit. Cukup besar untuk sumur cincin dangkal. Nampaknya, sumur ini akan dipergunakan untuk sementara sebagai sumber air bagi warga di barak. Tinggal membereskan lantai sumur, menyediakan pompa dan tangki air beserta towernya.

Hard-working boy Jamie Ashe sedang menguras sumur

Pada pertemuan dengan Pak Adnan, Kepala Desa setempat, banyak hal-hal yang menjadi catatan Ross dan Jamie. Mulai kegiatan-kegiatan LSM asing di tempat tersebut sampai kepada illegal logging ditempat baru penduduk akan di relokasi. Juga mengenai LSM-LSM asing yang terlalu banyak menjanjikan ini dan itu, tetapi lambat atau bahkan hampir tidak ada realisasinya.

Jam 05 sore kami berangkat pulang. Sampai di Suak Seuke saya mengajak mereka singgah di 'kafe terapung b'medi' untuk minum.

Santai di 'cafe terapung b'medi' di Suak Seuke

Monday, August 01, 2005

Setelah beberapa waktu pantai-pantai sepi dikarenakan berbagai hal (terutama karena kerusakan oleh tsunami), kini pantai-pantai di kota Meulaboh sudah mulai ramai lagi. Kalau sore hari, biasanya tempat-tempat yang dulunya memang menjadi tujuan untuk tempat jalan-jalan sore, banyak orang-orang yang mungkin hanya sekedar melintas dengan keluarga, ataupun duduk-duduk di tepi pantai mengamati ombak besar (karena sekarang musim barat). Ada juga yang mencoba memancing. Sore Sabtu, keramaian sangat terasa. Banyak yang berpacaran di tepi pantai. Setelah magrib (malam Minggu), jangat ditanya lagi. Walaupun keadaan pantai gelap gulita tanpa penerangan (sarana listrik yang diperbaiki belum mencapai pantai) banyak pasangan yang mencari posisi tersamar. Kayaknya, sudah mulai kembali kearah kondisi sebelum tsunami (banyak informasi yang saya dengan dari masyarakat Meulaboh, kondisi Meulaboh sebelum tsunami adalah sangat bebas - dalam artian pergaulan pria dengan wanita). Pacaran ditepi pantai, menjadi hal yang sangat biasa (walaupun di bagian Aceh lainnya, ini merupakan sesuatu yang tabu dan hal yang memalukan bagi pelakunya).
Keramaia di Pantai Suak Ribee pada sore hari
Juanto di 'cafe terapung bang Medi', Suak Seuke, Samatiga